Syekh Jamaluddin (Surgi Mufti) Penerus Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary dan Karomahnya

Potret Syekh Jamaluddin Al Banjari (internet)

Pada pertengahan hingga akhir abad ke-19, keturunan Syekh Arsyad yang pernah belajar di Haramain adalah Muhammad Thayyib al-Banjari, Ali bin Abdullah Al Banjari (wafat 1951), Qadhi Abdussamad Bakumpai, Mufti Jamaluddin Sungai Jingah, Salman Al-Farisi atau Datu Gadung (wafat 1932), Abdurrahman Shiddiq al Banjary (Datu Sapat), Husin bin Nashir (Tuan Husin Kedah),

“Ismail Khatib dan Qadhi Muhammad Thaha, mereka ini belajar di Haramain sampai awal abad ke-20,” jelasnya.

Kemudian, kata Mansyur dalam history-nya pada abad ke-20, terdapat sejumlah ulama keturunan Syekh Arsyad al-Banjary yang melakukan rihlah ilmiyyah ke Haramain.

“Diantaranya Syarwani Abdan (wafat 1989), Syarani Arif (wafat 1969), Abdurrahman Ismail, Abdullah Shiddiq (Qadhi Tuha Kandangan, wafat 1976), Muhammad Gadung, Abdul Karim al-Banjary (wafat 2002), Nikmatullah Ahmad (wafat 1977), Salman Jalil, dan Seman Mulya,” terangnya.

Hingga memasuki periode 1860-1950 sejumlah keturunan Syekh Arsyad Al-Banjari menjadi ulama terkemuka dan menjadi aktor jaringan di wilayahnya masing-masing, mereka di antaranya Muhammad Thayyib Al Banjari, Husin Kedah, Abdurrahman Shiddiq, Ali bin Abdullah al-Banjari, Qadhi Abdussamad Bakumpai, Muhammad Thasin, Qadhi Muhammad Jafri, Salman al-Farisi, Mufti Jamaluddin Sungai Jingah, Muhammad Said Wali, Qadhi Muhammad Thaha, Ismail Khatib dan Zainal Ilmi.

Syekh Jamaluddin, diceritakan pulang ke kampung halaman sekitar tahun 1898 M. Dia mulai berkiprah sebagai ulama generasi penerus Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary.

Di zamannya, Syekh Jamaluddin terkenal sebagai ulama yang amilin, zahid, masyhur sebagai ulama yang pemurah dan ramah tamah kepada siapa pun sehingga disegani dan dihormati oleh segenap lapisan masyarakat.

“Syekh Jamaluddin memiliki empat orang anak yakni, anak pertama Hj Mariam, kedua H Arsyad, ketiga H Taher dan keempat H Berlian,” ungkapnya.

Baca Juga : Sejarah Stadion 17 Mei, Dibangun di Atas Tanah Lapang Bekas Sungai

Saat itu, Kalimantan Selatan berada dalam kekuasaan kolonial Hindia Belanda. Syekh Jamaluddin pun dihadapkan dengan dua pilihan dalam dakwahnya, bekerjasama atau kontra dengan pemerintah kolonial.

“Syekh Jamaluddin akhirnya memutuskan menjalankan dakwah moderat di bawah administratif pemerintah kolonial. Dia menyetujui diangkat pemerintah Hindia Belanda sebagai Mufti,” jelasnya.

Syekh Jamaluddin dalam register pemerintah Hindia Belanda dikenal dengan nama Hadji Djamaloedin, dan jabatan Moefti van Bandjermasin en Ommelanden (Mufti Banjarmasin dan Sekitarnya).

Dia diangkat berdasarkan Besluit 30 Mei 1898 nomor 3, berdasarkan Lembaran Negara atau Staatblad nomot 178.

“Hadji Djamaloedin yang menjabat Moefti van Bandjermasin en Ommelanden, diberikan gaji sebesar f 438 (empat ratus tiga puluh delapan gulden) per tahun,” tulisnya.

Gajinya lebih tinggi dibandingkan pejabat lainnya pada tahun yang sama yakni Hadji Abdoe Samad, districts penghoeloe van Margasari atau penghulu distrik Margasari yang mendapatkan gaji sebesar f 174 per tahun.

Selanjutnya, Juga di ceritakan pada 6 Januari 1914, terjadi mutasi, Syekh Jamaluddin, Mufti Banjarmasin dan sekitarnya, secara administratif di bawah Landraad Banjarmasin.

Sementara itu dalam data Zuider- en Oosterafdeeling van Borneo, Inlandsche rechtbanken tahun 1922, terjadi perubahan pejabat di Landraad te Bandjermasin.