Syekh Jamaluddin (Surgi Mufti) Penerus Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary dan Karomahnya

Potret Syekh Jamaluddin Al Banjari (internet)

Karomah dan Wafatnya Surgi Mufti Serta Pendirian Kubah

Sebagai ulama dan pendakwah, kekuatan ilmunya sudah mencapai titik tertinggi dengan berbagai karomah yang dimiliki.

Adapun karomah Syekh Jamaluddin bisa mengeluarkan ikan dari dalam buah kelapa. Hal itu terungkap saat dia berkata ‘Jika ada air, disitu ada ikan’

“Hal itu dibenarkan oleh seorang zuriah Tuan Guru Surgi Mufti, Yusmani,” ujar Mansyur.

Berawal dari ceramah di hadapan murid-muridnya, Syekh Jamaluddin Al-Banjari mengatakan bahwa di setiap ada air pasti ada ikannya.

Ternyata pernyataan itu terdengar petinggi Belanda dan memanggilnya untuk melakukan tes kebenaran ucapan tersebut.

“Karena kalau ada air ada ikan, maka apakah mungkin di dalam air kelapa juga ada ikannya, kata petinggi Belanda. Tuan Guru Surgi Mufti pun mengambil sebuah kelapa dan membelahnya. Alhasil, keluar seekor ikan Papuyu,” terang Mansyur.

Sejak kejadian itu, petinggi Belanda semakin menaruh hormat kepada Syekh Jamaluddin. Karena menurutnya, Syekh Jamaluddin memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang biasa.

Meski beraliran moderat dalam menjaga hubungan dengan Pemerintah Belanda, Surgi Mufti tidak mengincar dunia. Beliau menempatkan diri sebagai pembimbing umat.

Seandainya Syekh Jamaluddin ikut berkonfrontasi dengan Belanda, siapa yang akan membimbing umat di masanya. Dengan keberadaan Syekh Jamaluddin di Pemerintahan, dakwah bisa terus berjalan, meski di sisi lain saudara seagamanya juga melakukan perjuangan dengan jalan kekerasan (konfrontasi).

Lebih lanjut lagi, Karomah Syekh Jamaluddin Al-Banjary yang lain adalah saat dia melakukan perjalanan dari Sungai Jingah Banjarmasin menuju Desa Dalam Pagar Martapura.

Dalam perjalanan itu salah satu warga melapor perhiasan emas mereka terjatuh dan hilang di sungai.

“Dengan merentangkan salah satu tangannya ke sungai, perhiasan yang tenggelam itu tiba-tiba ada di tangannya,” imbuhnya.

Pada kesempatan lain, Syekh Jamaluddin melakukan perjalanan dari Sungai Jingah menuju Desa Dalam Pagar dengan menaiki perahu bocor.

Namun anehnya meski sudah menempuh jarak yang begitu jauh dan berhari-hari, perahu yang ditumpanginya itu tidak tenggelam.

“Perahunya justru tenggelam setelah tiba di Desa Dalam Pagar,” sebutnya.

Baca Juga : Sejarah Sejumlah Peristiwa Besar di Bulan Ramadhan Hingga Perang Banjar

Setelah sekian lama berkiprah sebagai tuan guru dalam mengemban misi dakwah islamiyah, maka pada hari Sabtu 8 Muharam 1348 kira-kira jam 3 menjelang ashar, Syekh Jamaluddin berpulang ke Rahmatullah.

“Syekh Jamaluddin dimakamkan di depan rumahnya di kawasan Jalan Masjid Jami, Kelurahan Surgi Mufti, Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin pada hari Ahad 9 Muharam 1348 H (17 Juni 1929) jam 2 siang,” sebutnya.

Makam Syekh Jamaluddin terkenal sampai sekarang dengan nama Kubah Sungai Jingah atau Makam Datu Surgi Mufti Jamaludin.

Jenazah Surgi Mufti kemudian dimakamkan di kubah yang dibangunnya di halaman rumah, jauh sebelum Syekh Jamaluddin meninggal dunia. Kubah itu dulunya dijadikan tempat menerima murid-muridnya.

Selain makan Syekh Jamaluddin, di dalam kubah juga terdapat 3 makam lainnya, yakni makam isteri Syekh Jamaludin, makam H.M. Thoha bin H.M. Asad (menantu Syekh Jamaludin), dan makam Muhamad Arsyad bin Syekh Jamaludin, sehingga keseluruhan terdapat 4 makam.

Setiap hari kubahnya selalu dikunjungi peziarah. Makam Syekh Surgi Mufti diselimuti kain kuning. Makam ini berada di dalam bangunan berupa kubah, letaknya di halaman sebuah rumah tradisional Banjar.

Dalam rumah ini bak museum mini yang bisa dikunjungi peziarah. Pada bagian dindingnya ada beberapa dokumen dan foto penting tentang Syekh Surgi Mufti beserta keluarganya.

“Dahulu, di rumah itulah Syekh Jamaluddin tinggal bersama istri dan anak-anaknya. Sepeninggalnya tahun 1927, rumah tetap dihuni keturunannya dan dibuka untuk umum, agar memudahkan peziarah. Kubah ini dipelihara dan dijaga oleh menantunya, Hajjah Khadijah istri dari Haji Muhammad Arsyad Jamaluddin,” ceritanya.

Dengan usia yang sudah mencapai 95 tahun, Nenek Khadijah masih mampu mengaji dan membaca huruf Arab gundul sambil menerima tamu yang datang untuk berziarah ke makam atau Kubah.

“Bahkan Ulama kharismatik Martapura Tuan Guru Sekumpul (Sheikh Muhammad Zaini Bin Abdul Ghani Al Banjary) sering berziarah ke Kubah Surgi Mufti, sejak masih muda sampai menjadi Ulama Besar,” imbuhnya.

Dari beberapa sumber, kata Mansyur terdapat peninggalan Syekh Jamaluddin yakni tongkat cemeti ali lilitan Kuningan, sebagai alat pertahanan diri, berat 2 kilogram, asal barang lokal.

“Tongkat cemeti ali lilitan kuningan panjangnya sekitar 110 centimeter, peninggalan Syekh Jamaluddin. Peninggalan lainnya berupa benda benda seperti lemari, meja marmer kecil serta beberapa benda lain yang terletak pada rumah beliau di area belakang kubah,” pungkasnya. (airlangga)

Editor: Abadi