Syekh Jamaluddin (Surgi Mufti) Penerus Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary dan Karomahnya

Potret Syekh Jamaluddin Al Banjari (internet)

Gelar Syekh Surgi Mufti

Mengenai gelar, toponim Surgi Mufti, kata Mansyur diambil dari 2 kata, Istilah Surgi itu berarti suci, Mufti artinya pemimpin.

Gelar Surgi juga mengacu pada gelar tokoh ulama Kharismatik Kesultanan Banjar yakni Syekh Jamaluddin dan kata Mufti dilatarbelakangi penamaan jabatan yang disandangnya sebagai Mufti pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

“Oleh Belanda tempo dulu jalan Sungai Jingah yang menjadi tempat kediaman Mufti Jamaluddin disebut: Mufti Straat,” imbuhnya.

Julukan ini diberikan oleh Belanda karena sikap istiqamahnya yang memiliki kesucian hati dan tekun beribadah.

Meski hidup dan tumbuh di lingkungan Pemerintah Belanda, namun kehidupan sehari-hari Tuan Surgi Mufti tetap bergaya ulama.

“Pada era itu di wilayah Banjarmasin dalam administratif pemerintahan Hindia Belanda, jabatan mufti di bawah Kolonel Residen, tiap afdeling dipimpin oleh seorang komandan militer yang merangkap jabatan sebagai Assistent Resident,” jelasnya.

“Dalam menjalankan tugasnya, komandan militer ini dibantu pejabat sipil,” sambungnya.

Sebagai mufti beliau merupakan hakim tertinggi, mengawasi pengadilan umum di bidang syariah.

Jabatan mufti berasal dari lembaga Mahkamah Syariah yang eksis sejak masa Kesultanan Banjar.

Pembentukannya digagas Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Pada Mahkamah Syariah terdapat jabatan Mufti sebagai Ketua Hakim Tertinggi, yang berfungsi pula mengawasi pengadilan umum.

Baca Juga : Konsep Zakat Syekh Arsyad Al Banjary untuk Pemberdayaan Ekonomi Fakir Miskin

Mufti didampingi Qadhi ialah pelaksana hukum dan mengatur jalannya pengadilan, agar hukum Islam berlaku wajar.

“Pembentukan lembaga ini adalah dimaksudkan sebagai usaha melaksanakan ketentuan hukum Islam dalam masyarakat,” terantnya.

Hal ini menunjukkan bahwa baru atas inisatif dari Syekh Muhammad Arsyad lah lembaga peradilan yang mandiri dalam kerajaan Banjar diadakan yang berarti pada masa sebelumnya belum mengenal adanya lembaga peradilan agama yang berdiri sendiri.

Lembaga inilah yang kemudian menjadi cikal bakal bagi pemerintah Belanda untuk membentuk suatu lembaga peradilan agama secara khusus untuk daerah Kalimantan Selatan pada tahun 1937 dengan nama Kerapatan Kadhi dan Kerapatan Kadhi Besar, yang berlaku terus sampai sekarang.

Selain itu, tugas mufti termasuk ke dalam Undang Undang Sultan Adam (UUSA), diantaranya berhubungan Hukum Perkawinan. Para pejabat yang berwenang untuk masalah yang menyangkut perkawinan agama, yaitu Mufti sebagai Hakim tertinggi pengawas pengadilan umum, dan Penghulu, sebagai Hakim yang lebih rendah yang mendapat piagam atau cap dari Sultan.

Disamping hakim ada lagi jabatan yang disebut Qadi, yang bertugas sebagai pelaksana hukum dan pengatur jalannya pengadilan agar hukum berlaku wajar.

Perbedaan Qadhi dengan Penghulu adalah, bahwa Qadi, menetapkan hukum bila terjadi sengketa yang kemudian berkembang menjadi pelaksana peradilan Islam.

Mufti adalah hakim tertinggi selaku pengawas peradilan umum. Meskipun demikian dia dilarang untuk memberikan fatwa perkara atau orang yang sedang berperkara begitu pula bagi orang yang sedang berperkara dilarang meminta fatwa kepada mufti dan hanya hakim yang dibolehkan untuk meminta fatwa kepada mufti.