Asal Nama Sungai Jingah yang Dikenal Kampung Saudagar di Zaman Hindia Belanda

Asal Nama Sungai Jingah yang Dikenal Kampung Saudagar di Zaman Hindia Belanda
Rumah saudagar H.A Ganikamar di Sungai Jingah tahun 1930 an (Sumber foto: arsip Mansyur)

Lebih lanjut, kata Mansyur dari pemaparan Wajidi yang diketahuinya, kenapa kampung tersebut disebut dengan kampung saudagar. Dikarenakan kawasan itu dulunya berdomisili beberapa saudagar kaya.

“Satu diantaranya H. Muhammad Said Nafis. Rumah beliau di Sungai Jingah berada dekat Kubah Surgi Mufti. Tepatnya di arah sisi barat kubah tersebut. Namun sayangnya, satu diantara rumah beliau berarsitektur Eropa sudah dirobohkan ahli warisnya,” ungkapnya lagi.

H Muhammad Said Nafis, cerita Mansyur, mempunyai armada kapal dan beraktivitas melakukan perdagangan antar pulau. Diantaranya yang utama diperdagangkannya adalah tembakau (timbako).

“H Muhammad Said Nafis juga mempunyai rumah di Ampenan Pulau Lombok, dan dikenal saudagar paling kaya di sana,” tuturnya.

Selain dikenal dengan memiliki rumah yang besar dan mewah, H Muhammad Said Nafis biasanya dipanggil dengan gelar Thaib Nafis.

Rumah Nafis bertipe rumah panggung tingginya sekitar satu meter, terbuat dari bahan ulin. Sebagai orang kaya, Nafis memiliki banyak peralatan memasak yang berukuran besar seperti tempat memasak daging dan ceper dari bahan kuningan yang kala itu sering dipinjamkan ke masyarakat untuk acara hajatan atau pernikahan.

Selain saudagar H. Muhammad Said Nafis, juga terdapat rumah megah bertipe Bangun Gudang di Sungai Jingah, milik H.A. Gani Kamar atau Haji Abdul Gani Kamar.

“Dia adalah seorang saudagar dengan mata pencaharian sebagai pedagang antar pulau. Dia berdagang tembakau dan Bawang dari Bima dan Surabaya,” tuturnya.

Baca Juga : Membuka Sejarah Wilayah Liang Anggang dan Asal Muasal Namanya

Selain itu, terdapat pengusaha lain yang terkenal berasal dari Sungai Jingah yakni Hadji Koetoei atau Haji Kutui yang dikenal memiliki usaha dok tempat pembuatan kapal di wilayah Sungai Jingah.

“Dok tempat pembuatan kapal sungai telah lama menjadi tradisi masyarakat di Kota Banjarmasin,” tuturnya.

Ditinjau dari kurun waktu pembangunan rumah-rumah yang ada di kawasan tersebut, rupayan dibangun sekitar awal hingga pertengahan Abad 19.

Bangunan arsitektur rumah panggung dengan bahan bangunan didominasi kayu ulin. Lalu lintas jalur sungai dan pelayaran antar daerah hingga saat ini masih bisa dilakukan. Namun seiring perkembangan zaman hanya untuk kapal tertentu yang menyesuaikan dengan kondisi jembatan saat ini.

“Kampung Sungai Jingah, juga tertulis dalam register Pemerintah Hindia Belanda tentang kampung-kampung yang terletak di sepanjang Sungai Martapura ke Sungai Barito,” jelasnya.

“Khususnya di wilayah Bandjermasin en Ommelanden. Pendataan ini dilakukan G. Stemler pada akhir bulan Desember 1886 dan dibukukan dalam buku Jaarboek van het mijnwezen in Nederlandsch Oost-Indie, volume 22, tahun 1893,” sambungnya.

Lebih lanjut, kata Mansyur Nama Kampung Sungai Jingah ditulis dengan Soengei Djingga. Kemudian dalam laporan South Coast of Kalimantan From Tanjung Puting To Selat Laut, Sailing Directions for Celebes, Southeast Borneo, Java (except from Java Head to Batavia), and Islands East of Java yang dirilis Hydrographic Office, 1935, juga memberikan beberapa informasi tentang Sungai Jingah.

“Pada laporan yang diterbitkan tahun 1935 tersebut, dituliskan bahwa telah dibangun suar (lampu petunjuk) untuk kapal kapal yang berlayar di Sungai Martapura,” ujarnya.