Membuka Sejarah Wilayah Liang Anggang dan Asal Muasal Namanya

Penambangan intan di Borneo bagian selatan 1897-1898.sumber foto KITLV.

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Sebagian penduduk asli Kalimantan Selatan (Kalsel) sudah tak asing lagi mendengar sebutan Liang Anggang, yang mana adalah sebuah kecamatan terletak di Kota Banjarbaru.

Menurut data, Kecamatan Liang Anggang merupakan satu diantara 4 kecamatan di wilayah administratif Kota Banjarbaru yang membawahi 4 kelurahan, yaitu Landasan Ulin Tengah, Landasan Ulin Utara, Landasan Ulin Barat, dan Landasan Ulin Selatan.

Bahkan, sebutan atau nama Liang Anggang juga menjadi nama desa di Kecamatan Bati-bati, Kabupaten Tanah Laut.

Umumnya yang paling dikenal masyarakat adalah simpang empat Liang Anggang, titik jalan utama menghubungkan Kota Banjarmasin dengan Kota Banjarbaru ke arah Hulu Sungai hingga Kalimantan Timur.

Juga akses menuju wilayah Kabupaten Tanah Laut sampai Kotabaru dan akses menuju pelabuhan utama Banjarmasin yaitu Trisakti.

Simpang empat Liang Anggang, juga merupakan keberadaan makam Pahlawan Nasional kebanggaan warga Kalsel yaitu Brigjen (Purn) H. Hasan Basry di tengah-tengah simpang empat Liang Anggang.

Namun tahukah kalian, asal muasal nama Liang Anggang tersebut ?

Yuk kita cari tahu asal muasal nama itu, klikkalsel.com mencoba mencari tahunya ke seorang Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat (ULM) bernama Mansyur, S.Pd., M.Hum yang juga mendapat gelar Cendekia dari Kesultanan Banjar.

“Cerita lisan yang beredar di masyarakat, Liang Anggang berasal dari kata liang (lubang) dan anggang (ranggang atau berjarak) yang bermakna lubang yang besar, karena daerah Liang Anggang terdapat beberapa dataran rendah berair. Dari versi lainnya Liang Anggang berasal dari kata liang yang berarti lubang sarang binatang,” kata Mansyur kepada klikkalsel.com Minggu (8/5/2022).

Baca Juga : Lestarikan Budaya Banjar, Alfaprav dan HIMA Arsitektur ULM Tampilkan Madihin dan Mensketsa di Atas Klotok

Baca Juga : Catatan Sejarah Panjang Jembatan Dewi (Coen) Menurut Sejarawan ULM

Kemudian, kata dia, anggang yang menunjukkan nama burung enggang atau rangkong (buceros). Pada wilayah Liang Anggang menurut cerita lisan di masyarakat, dahulu terdapat banyak habitat burung anggang, namun sekarang seiring berjalannya waktu burung anggang tersebut punah.

Menurut Mansyur, menelusuri catatan sejarah wilayah Liang Anggang memang sulit, karena minimnya data yang menjelaskan keberadaan daerah tersebut.

“Liang Anggang mulai tercatat dalam kontrak Sultan Banjar (Sultan Sulaiman) dengan Kolonial Belanda, yang ditandatangani 1 Januari 1817 dan diperbaharui 13 September 1823,” ungkapnya.

Dalam perjanjian itu, disebutkan wilayah konsesi Distrik Maluka dan sekitarnya yang sebelumnya dikuasai perwakilan Inggris di Borneo bagian selatan dan timur oleh Alexander Hare pada tahun 1811-1816, yang kemudian diambil alih pihak kolonial Hindia Belanda.

“Daerah tersebut yaitu Maluka, Liang Anggang, Kurau, hingga Pulau Lampai (Poeloe Lampej atau Pulu-Lampei) atau Pulau Sari, serta daerah lainnya,” jelasnya.

Pernyataan ini diperkuat Hasan Bondan dalam Suluh Sejarah Kalimantan (1952), bahwa memang terdapat tanah eigendom (konsesi) Maluka yang meliputi beberapa wilayah, satu diantaranya Liang Anggang.

Setelah hengkangnya Inggris dari Borneo tahun 1816, wilayah konsensi Maluka yang dikuasai Alexander Hare menjadi bagian Distrik Maluka, Onderafdeeling Tanah Laut dalam pemerintahan Hindia Belanda.

“Pada Kontrak Sultan Banjar (Sultan Sulaiman Saidullah) dengan Pemerintah Hindia Belanda tanggal 4 Mei 1826 pasal 4 dituliskan bahwa Sri Paduka Sultan Adam menyerahkan beberapa wilayah kepada Raja Belanda,” jelasnya.

“Diantaranya dari Taboniou (Tabanio), Tandjung Silatan (Tanjung Silat) dan ke timur sampai atas dengan Pagatan dan ke utara sampai di Kuala Maluka mudik Sungai Maluka, Selingsing, Liang Anggang, Banju Irang serta daerah lainnya,” sambungnya.

Selain itu, kata Manayur, dalam kontrak juga Sri Paduka Sultan memerintahkan penduduk dari desa Banyu Irang, Liang Anggang, Selingsing Oedjoeng, Taluk Pulantan dan Maluka agar taat pada kebijakan Geburmin (Pemerintah Hindia Belanda) untuk berkebun lada dan kopi.

Hal itu, tidak jauh berbeda dengan isi dari Kontrak Sultan Adam pada tanggal 18 Maret 1845 yang menuliskan tentang wilayah Hindia Belanda yang bernama Kampong Liang Angan (Liang Anggang).

“Diperkirakan kampung ini ada di sekitar wilayah Desa Liang Anggang Kecamatan Bati Bati sekarang,” tuturnya.

Dibuktikan dengan Peta dari Hooze tahun 1893, yang melukiskan bahwa Liang Anggang termasuk Distrik Maluka. Terletak di selatan Sungai Banjoe Irang. Sementara di wilayah Banjoe Irang, terletak di utara sebagai lokasi Tambang Batu Bara Julia Hermina yang ditambang oleh Pemerintah Hindia Belanda.

“Muncul dugaan bahwa Desa Liang Anggang yang di Kecamatan Bati Bati lebih dahulu ada daripada penamaan Kecamatan Liang Anggang di wilayah Banjarbaru. Desa Liang Anggang sekarang bertetangga dengan Desa Banyu Irang di Kecamatan Bati Bati, Tanah Laut,” tuturnya.

Lebih lanjut, pada masa berkecamuknya Perang Banjar pada tahun 1859-1865, tentara Belanda yang kemudian membukukan catatannya tentang Perang Banjar, W.A. van Rees (1867) menuliskan adanya Kampung Liang Anggang.

“Ditulis dengan ejaan Kampoeng Liang Angan di sekitar Sungai Banyu Irang. Pada bagian lain dalam laporannya menuliskan Kampung Liang Anggang dengan ejaan Kampong Liangar,” jelasnya.

Dari catatan sejarah, kata Mansyur, wilayah Liang Anggang banyak mengandung hasil alam. Karena itulah pada tahun 1883-1885, Pemerintah Hindia Belanda mulai mengadakan eksplorasi (penyelidikan) tentang tanah yang mengandung intan.

“Dimulai tepatnya pada bulan Juni 1883 di pinggiran Kampung Liang Anggang, Bentok dan Banjoe Irang,” ucapnya.

Dimana waktu itu, beberapa pengusaha Eropa secara peroranganpun meminta izin untuk ekstraksi intan, emas, platina, dan lain lain di wilayah Afdeeling Martapoera (Borneo bagian Selatan dan Timur), diantaranya Mr. G.H. Denninghoff Sterling di Amsterdam.

Kemudian usulan perizinan juga telah dibuat J.H. Mensen. Usulan eksplorasi dan eksploitasi mereka berbeda lokasi. Satu terletak di daerah Banjoe Irang dan yang lainnya di Liang Anggang.

“Pada bulan Mei 1883, pemohon terakhir (J.H. Mensen) memperoleh persetujuan Departemen Koloni Belanda untuk diteruskan ke pemerintah Hindia Belanda,” imbuhnya.

Sayangnya dari sekitar 200 sumur digali dan dilakukan proses, hasilnya tidak menguntungkan. Hanya 61 berlian yang diperoleh, beratnya sekitar 6 karat.

Laporan pemerintah Kolonial Belanda, mengutip dari The Mining Engineer volume 8 yang diterbitkan tahun 1895. Dituliskan terdapat temuan kandungan Intan (ladang intan) di wilayah Liang Anggang dan Bentok.

Dari lokasi itu, ditemukan intan berukuran besar yang disebut masyarakat kala itu Intan laki. Intan itu berbentuk kristal yang sangat berkilau dan berwarna putih bersih.

“Ditemukan di Liang Anggang, sebelah selatan Sungai Banjoe Irang, di tepi rawa besar,” jelasnya lagi.

Masih kata Mansyur, dilaporkan Jaarboek van het mijnwezen in Nederlandsch-Indie, terbitan tahun 1922. Selain dikelola pemerintah, terdapat penambangan intan tradisional yang dilakukan penduduk kampung Liang Anggang dan Banjoe Irang.

“Berbeda dengan sumber Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie tahun 1917-1939, tertulis malah terdapat tanaman karet di Kampung Banjoe-Irang, Kampoeng Bentok, Liang Anggang, Oedjoeng dan Bati-bati yang sampai saat ini masih dalam pengkajian,” pungkasnya.(airlangga)

Editor : Amran