Mengupas Rajah dan Wafak Pada Kultur Masyarakat Banjar yang Terkenal Hingga Manca Negara

Koleksi Wafak yang disimpan oleh Museum Wasaka Banjarmasin. (Istimewa)

MARTAPURA, klikkalsel.com – Rajah dan wafak adalah kultur masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan yang konon dipercaya bisa manjadi perantara untuk menjadi penjaga, pengobatan, pengasih, memanggil rezeki hingga untuk kewibawaan bagi penggunanya.

Wafak dan rajah juga banyak ditemukan dengan berbagai bentuk dan jenis yang berbeda, serta dengan fungsi yang beragam.

Dijelaskan oleh Muhammad Andrie Iskandar, Pengurus Daerah (Pengda) Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) Kalimantan Selatan (Kalsel), kemunculan wafak di Kalimantan Selatan dimulai pada saat zaman Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari atau yang akrab disapa Datuk Kelampayan.

“Memang rata-rata wafak dari hasil penelitian kami, masuknya pada zaman Datuk Kelampayan atau saat Sultan Tahmidullah II yang saat itu memimpin Kesultanan Banjar sebelum kemerdekaan,” ucapnya saat ditemui klikkaslel.com di kediamannya, Sabtu (27/04/2024) malam.

Andrie menuturkan, dari penelitian yang dilakukannya, para pembuat wafak dan rajah yang ada di Kalsel mendapatkan ilmu dari Martapura dan sekitarnya.

“Hampir seluruh wafak yang kami telusuri asalnya pasti dari Martapura, karena penyebarannya salah satunya dari para santri yang belajar di Martapura dan membawanya kembali ke kampung halaman. Atau ada juga yang memang keturunan dari Datu di Martapura,” terangnya.

Dalam penelitian pihaknya di Kalimatan Selatan, rujukan para praktisi pembuat wafak dan rajah kepada kitab-kitab, Al Aufak, Kitab Syamsul Ma’arif, Kitab Abu Ma’syar Al Falaki, Kitab Mambaul Ushul Hikmah, Kitab Taj Al Mulk dan Kitab Mujarobat Day Robbi.

Kitab-kitab yang menjadi rujukan para praktisi pembuat wafak ini merupakan karangan para ulama-ulama besar, seperti Kitab Al Aufaq karangan Imam Al Ghazali (1058-1111 M), Kitab Syamsul Ma’arif Qubra dan Manb’ Ushul Al Hikmah karya Syekh Ahmad Ali bin Yusuf Al Bani (wafat 1225 M), serta Kitab Mujarobat Al Kubra merupakan karya Ahmad Ad Dairobi (1615-1738 M).

Rajah dan wafak memiliki bentuk yang hampir serupa, namun AAI Kalsel mengkategorikan jika wafak memiliki bentuk fisik, sedangkan rajah bisa dilakukan dengan napas, atau dengan pulpen tanpa tinta, serta media lainnya baik ke tubuh seseorang atau ke suatu benda.

“Tidak semua rajah adalah wafak, tapi wafak adalah salah satu jenis rajah, karna rajah bisa berbentuk tato dengan tulisan Sangsekerta, Cacak Burung, tidak harus dengan aksara arab, simbol serta aksara lain. Bisa juga tidak terlihat, dengan dilakukan menggunakan napas,” terangnya.

Selain itu, berdasarkan dari KBBI, rajah artinya merupakan gambar, tanda-tanda, serta lain sebagainya yang dipakai untuk azimat, atau cacahan (coretan pada tubuh) dengan benda tajam atau lain sebagainya.

Tidak hanya itu, dari penelitia juga didapati, seseorang pembuat wafak terkenal, kemasyhurannya terkenal hingga keluar negeri, yakni Nini Imai Dalam Pagar.

“Nah biasanya, ada khusus orang yang mengolah dan orang yang melampah (mengisi, red), kalau yang mengolah itu biasanya Nini Imai, karena beliau dianggap orang yang bersih karena sudah tidak ada urusan dunia lagi. Jadi semua yang dibuat sidin (beliau, red), baik wafak yang ditulis pada kertas, atau media lainnya dibawa ke tuan guru, jadi ketika orang datang, tuan guru ini memberikan wafak itu kepada orang yang membutuhkan,” jelasnya,

Selain itu, ada istilah dalam pengguna wafak yang biasanya disebut “Memboser” atau menambahkan isi dari Wafak tersebut. Atau biasanya ditaruh ditempat makam yang sering diziarahi oleh orang oleh para Saller wafak.

Guru Anang Maturidi, salah satu praktisi Rajah di Desa Dalam Pagar, Martapura Timur, Kabupaten Banjar ditemui klikkalsel.com saat memberikan rajah pada air untuk masyarakt yang datang ke rumahnya. (Mada Al Madani)

“Untuk yang menambahkan isinya oleh para Saller Wafak, bisanya dengan Guru Apip, Guru Anang Maturidi, atau ke tempat Guru Syairoji dan beberapa guru lain, atau ditempatkan di makam yang sering diziarahi orang, ” bebernya.

Media wafak di Kalsel sangat beragam, meminjam data dari buku ‘Ragam Wafak di Kalimantan Selatan’ hasil penelitian AAI Kalsel bersama Seksi Cagar Budaya dan Museum Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalsel, diantaranya: Wafak yang dikonversi dalam angka, Wafak media kain, Wafak media besi, Wafak media kulit hewan, Wafak media daun, Wafak media kayu, Wafak media keramik, Wafak media batok kelapa, Wafak di kopiah dan Talaung [penutup kepala khas banjar], Wafak di hulu senjata, hingga Wafak pada gelang besi

Selain itu, jenis wafak juga beragam dengan fungsi yang berbeba, seperti Wafak Pancar Merah untuk penjagaan rumah, Picis, Wafak Nubuah untuk penjagaan, Baju Kaos Barajah, Piring Keramik Berajah untuk pengobatan, Daun Bawafak, Tampurug (batok kelapa), Hulu pisau, Camati, Batsal, Haikal, Rompi, Laung, pelor, hingga Al-quran kecil yang biasanya dijadikan kalung.

Mengupas tentang wafak dan rajah, klikkaslel.com melakukan penelusuran ke Desa Dalam Pagar, Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar untuk mencari para praktisi rajah dan wafak, salah satunya adalah Guru Anang Maturidi (54) yang biasanya sering didatangi oleh masyarakat sekitar dan luar daerah untuk meminta air doa, serta rajah dan wafak.

Dalam pengakuannya, Guru Anang Maturidi mengaku saat ini hampir tidak pernah lagi membuat wafak. Namun ia mengatakan, mendapatkan wafak tersebut dari pembuat langsung, seperti Nini Imai yang merupakan keluarganya.

Baca Juga Ajang Memperkenalkan Kebudayaan dan Sejarah, Kongres VI JKPI Bakal Digelar di Banjarmasin

Baca Juga Sejarah Syekh Muhammad Afif Mendapat Gelar Datu Landak

“Kalo aku di sini menyambung-kan (menyalurkan, red) jika ada orang mencari wafak, karena proses mengolahnya beliau itu (Nini Imai, red), kalo aku hampir jarang membuat, karena tidak ada waktu,” ucapnya, Minggu (28/04/2024) sore.

Namun, Guru Anang Maturidi masih aktif memberikan rajah kepada masyarakat yang datang kepadanya.

Ia mengatakan, rajah yang diberikan kepada orang yang meminta tersebut juga sesuai dengan permintaan yang bersangkutan. Rajah yang diberikan oleh Guru Anang Maturidi seperti yang disaksikan oleh klikkalsel.com menggunakan media pulpen tanpa tinta yang dituliskan ke tubuh.

Nini Imai salah satu praktisi Wafak di Desa Dalam Pagar Ulun, Martapura Timur, Kabupateb Banjar saat ditemui klikkalse.com di kediamannya. (Mada Al Madani)

“Untuk rajah ini biasanya yang saya tuliskan sesuai dengan kitab yang ada, adalah Rajah [Buduh] yang difungsikan untuk keselamatan atau pengasih. Seperti cincin yang dibuat oleh Guru Sekumpul (KH. Muhammad Zaini Bin Abdul Ghani, red) dengan pola kalo dihitung serba 15,” bebernya.

Guru Maturidi membeberkan, untuk rajah dalam momen tertentu juga sering diminta oleh orang, seperti saat memasuki Pemilihan Umum (Pemilu) atau Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) hingga Pemilihan Gubernur (Pilgub).

Dalam momen tersebut, ia biasanya memberikan rajah ke badan para Calon Legislatif (Caleg) berupa Rajah Buduh. Namun tidak sedikit juga ucapnya Caleg yang meminta tambahan untuk Salat Hajat.

“Untuk Salat Hajat ini biasanya paling banyak 41 orang jika berjemaah,” tuturnya.

Ia mengaku 20 tahun lebih aktif membantu masyarakat dalam memberikan rajah. Hal itu dijalaninya selepas paman-nya KH. Nuzhan wafat.

“Tapi aku tidak seperti almarhum, cuman sekadar yang diajarkan. Kalau beliau memang mumpuni, dari segi Amaliah dan juga ibadahnya serta lampah-lampahnya. Kalo aku seadanya saja, namun apa yang disampaikan tidak lepas dari apa yang di dalam Al Quran juga,” bebernya.

Lebih jauh, ia menjelaskan, jika ilmu mewafak dan merajah pada saat ini sudah tidak ada lagi yang diajarkan untuk orang banyak, namun hanya turun temurun saja.

“Kalo dulu masih banyak guru tuha (sepuh, red), seperti Guru Ali Zunai Braw, Qadi Amin, dan Kakek Abdurahman Siddiq, itu masih diajarkan. Memang ada mata pelajarannya. Tapi sekarang tidak ada lagi yang melanjutkan, dan gantinya dengan kitab saja karena ditakutkan wafak dan rajah ini jika pembuat dan pengguna kurang kuat keimanan bisa menuhankan benda tersebut,” ucapnya.

Tata cara dalam mewafak juga menurut Guru Anang Maturidi harus sesuai dengan anjuran yang ada di dalam kitab, seperti tatacara duduk, menulis, waktu dan hari pembuatan, hingga tempatnya.

“Cara mewafak itu banyak, seperti duduknya menghadap kiblat, tidak boleh batal wudhu, saat menulis tidak boleh bernapas, hingga waktu dan harinya, jika menulisnya itu hari Jumat, dan tidak selesai, tidak boleh disambung pada hari Sabtu. Selain itu tempat pembuatannya juga harus khusus, ada kamar khususnya,” terangnya.

Selain Guru Anang Maturidi, klikkalsel.com juga berhasil menemui pembuat wafak terkenal di Indonesia bahkan hingga keluar negeri. Pembuat wafak tersebut bernama Nini Imai, yang tinggal di Gang Datu Landak, Desa Dalam Pagar Ulu, Martapura Timur, Kabupaten Banjar.

Nini Imai menjadi pembuat Wafak sejak masih belia, hingga saat ini sudah berumur 66 tahun dengan kondisi pendengaran yang telah menurun, namun matanya masih tetap tajam.

“Aku mewafak ini mengganti nenekku, dari kanak-kanak aku belajar sampai sekarang,” terangnya.

Nenek Imai mengakui pembuatan wafak tersebut berdasarkan kitab yang turun temurun diberikan dari Datu Landak, hingga Datu Najir sampai kepada dirinya.

Nenek Imai sering kebanjiran permintaan saat bulan Ramadan.

“Ramadan tadi banyak sekali yang minta buat kan, dari Baju Barajah sampai Pancar Merah dan wafak lainnya,” ucapnya.

Yang datang memesan wafak di tempat Nenek Imai tidak main-main, tidak hanya dari Kalimantan Selatan saja, namun hingga luar negeri, seperti Singapura, Malaysia hingga Yaman.

“Kemarin ada datang orang India yang tinggal di Malaysia, juga sempat datang,” bebernya.

Ditanya tentang kemujaraban wafak yang dibuat olehnya, Nini Imai menceritakan kebakaran yang terjadi di dekat rumah ponakannya yang berada di Kota Martapura. Namun di rumah tersebut dipasang Wafak Pancar Merah, api yang seharusnya mengarah ke rumah milik ponakannya menjadi berpaling hingga padam.

Selain menjadi pembuat wafak, Nini Imai juga sering memandikan orang yang ingin mendapatkan pengasih dan penghalat (penangkal, red) untuk menjaga diri.

“Saya juga biasanya diminta untuk memandikan orang untuk pengasih, ada juga untuk penghalat, dan juga untuk penjaga diri,” pungkasnya. (Mada Al Madani)

Editor: Abadi