Selain Kampung Saudagar, Sungai Jingah Juga Pernah disebut Sebagai Kampung Qadi

Kampung Sungai Jingah di Jalan Sungai Jingah Kecamatan Banjarmasin Utara

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Kampung Sungai Jingah pada zaman Hindia Belanda dikenal sebagai kampung para Saudagar atau Juragan. Namun, hingga akhir pendudukan kolonial tahun 1942 dengan masuknya Jepang kampung tersebut juga mendapat predikat sebagai Kampung Qadi atau religi.

Hal itu, dikatakan Dosen Sejarah Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Mansyur lantaran dalam kurun waktu tersebut, terdapat beberapa tokoh masyarakat di Sungai Jingah yang pernah menjabat sebagai qadi.

“Diantaranya H. Busra Kasim dan H. Asnawi,” ujarnya, Minggu (5/6/2022).

Para Qadi ini, jelas Masnyur, mereka melaksanakan aktivitasnya di bagian depan Masjid Jami Sungai Jingah. Dimana terdapat situs Makam Syekh Jamaluddin (Kubah Surgi Mufti).

Makam tersebut menjadi objek wisata ziarah yang dikelola oleh pemerintah dan ditetapkan sebagai benda cagar budaya yang dilindungi oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992.

“Dalam kajian historis, Sebelumnya pada akhir abad ke-18, pemerintah Kesultanan Banjarmasin menempatkan Mahkamah Syariah sebagai birokrasi peradilan, yang berperan mengembangkan jaringan Islamisasi ke berbagai pelosok Banjarmasin melalui peran Mufti, Qadhi, Khalifah, Khatib, Penghulu, dan Bilal,” jelasnya.

“Jaringan Mahkamah Syariah dengan islamisasi dilakukan oleh Bubuhan (kelompok) Tuan Surgi Sheikh Muhammad Arsyad Al-Banjary. Pada periode ini, Kampung Sungai Jingah yang terletak di tepi Sungai Martapura berkembang,” sambungnya.

Karena itu, nama sebagai Kampung Qadi atau Religi disematkan, karena keberadaan Kampung Sungai Jingah tidak terlepas dari keberadaan Syekh Jamaludin Al Banjari yang merupakan cucu dari Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary.

Baca Juga : Asal Nama Sungai Jingah yang Dikenal Kampung Saudagar di Zaman Hindia Belanda

Baca Juga : KIB Tandatangani Kerja Sama, Golkar Sambut Sahabat PAN dan PPP

“Syekh Jamaludin Al Banjari itu menuntut ilmu ke Mekah, singkat cerita setelah kembali dari Mekah pada tahun 1894, Syekh Jamaludin memutuskan untuk berdakwah dan pada tahun 1899 dianugerahi gelar Surgi Mufti yang berarti pemimpin suci oleh Belanda,” ceritanya.

Menurut riwayat, Syekh Jamaludin meninggal pada 8 Muharram 1348 H, dimakamkan di kubah yang berlokasi di Kampung Sungai Jingah.

“Ditinjau dari kurun waktu pembangunan, rumah-rumah yang ada di kawasan ini dibangun sekitar awal hingga pertengahan Abad 19. Pada era kolonial tahun 1919, menjadi bagian wilayah Gemente Banjarmasin, kawasan ini berkembang menjadi permukiman bagi masyarakat bumiputera (masyarakat asli),” tuturnya.

“Selain dihuni oleh masyarakat biasa, kawasan ini juga terdapat beberapa pegawai (ambtenar) pemerintahan yang berasal dari masyarakat asli serta beberapa rumah Saudagar Banjarmasin berbentuk kluster dan dapat dikenali hingga kini,” lanjutnya.

Menurut penuturan juru kunci makam, Siti Armiziah Arsyad, Syekh Jamaluddin merupakan cicit (buyut) Datu Kalampayan (Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari).

“Syekh Jamaluddin menimba ilmu dan bermukim cukup lama di Mekkah, sekitar 40 tahun. Guru-gurunya sewaktu di Mekkah adalah Alimul Allamah Syekh Athaillah,” ungkapnya.

Setelah pulang ke kampung halaman, kata Masnyur, Syekh Jamaluddin berkiprah sebagai ulama dan generasi penerus datunya yaitu Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.

Hingga kemudian, pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tahun 1314. H Syekh Jamaluddin diangkat menjadi Mufti yang berkedudukan di Banjarmasin. (airlangga)

Editor: Abadi