MARABAHAN, klikkalsel.com – Setiap daerah memiliki sejarah atau latar belakang baik dari tradisi, penduduk hingga penamaan suatu wilayah tersebut.
Salah satunya di Kalimantan Selatan (Kalsel), terdapat sebuah kabupaten yang pusat pemerintahanya berada di tepian perairan Barito dan dikenal sebagai Kota Marabahan, Kabupaten Barito Kuala (Batola).
Mencari tahu, asal mula nama Marabahan tersebut, klikkalsel.com mencoba menanyakannya kepada Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat, Mansyur yang juga akademisi di kampus tersebut.
“Nama Marabahan memiliki latar belakang sejarah panjang. Berasal dari nama Bandar Niaga Muara Bahan yang terletak di wilayah Rantauan Bakumpai,” ujarnya, Senin (11/3/2024) kepada klikkalsel.com
Kala itu, kemajuan Bandar Niaga Muara Bahan seirama dengan kemajuan perdagangan Islam di Nusantara pada abad ke- 15 yang tidak terlepas dari perhubungan melalui sungai di Kalimantan (Borneo) seperti pada Sungai Barito.
Sebelum munculnya Bandar Muara Bahan sudah ada Bandar Niaga Muara Rampiau (Margasari) dan Muara Hulak (Daha Selatan) yang telah dikunjungi para pedagang berbagai bangsa pada masa Kerajaan Negara Dipa, Amuntai abad ke-12.
Baca Juga Sejarah Syekh Muhammad Afif Mendapat Gelar Datu Landak
Baca Juga Golkar Inginkan Sejarah Baru dengan Meraih 10 Kursi di DPRD Banjarmasin
Para pedagang itu, diantaranya berasal dari Cina, Melayu, Johor, Aceh, Melaka, Minangkabau, Patani, Mangkasar, Bugis, Sumbawa, Bali, Jawa, Bentan, Palembang, Jambi, Tuban, Madura, Walanda (Belanda), Makkau, serta orang Keling.
“Namun, seiring waktu dan geomorfologi kedua bandar niaga itu menurun aktivitasnya hingga kemudian aktivitas perdagangan berpindah dari Bandar Muara Rampiau ke Muara Bahan,” jelasnya.
Pada sisi lain, kata Mansyur, perpindahan itu menjelaskan strategisnya Sungai Barito.
Karena sepanjang kurun niaga fase kerajaan Hindu-Budha abad ke-8 hingga abad ke-15, Sungai Barito dan sungai di hulu sungai telah dilewati pedagang-pedagang dari luar Kalimantan Selatan dan Tengah.
Berdasarkan Hikayat Banjar sejak abad ke-13 bandar Muara Bahan sebagai bandar niaga yang sangat ramai dikunjungi pedagang dari berbagai bangsa.
“Itu sejak perdagangan Islam mengalami kemajuan pesat di laut Nusantara, maka kawasan Bandar Niaga Muara Bahan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari jalur pelayaran pedagang-pedagang Muslim, baik dari Jawa, Sumatera, Johor, Persia, Gujarat dan dari China,” jelasnya.
Disamping itu, ramainya bandar niaga Muara Bahan juga tidak bisa dilepaskan dari interaksi etnis Bakumpai dengan pedagang-pedagang muslim yang datang dari luar.
Etnis Bakumpai kemudian melakukan perdagangan dengan komunitas lainnya. Terutama etnis Melayu, Jawa dan Bugis. Terlebih lagi etnis Dayak lainnya, yakni Ma’anyan, Biaju (Ngaju), Bukit dan Lawangan.
“Mobilitas dinamis perdagangan komunitas Bakumpai yang mendayung perahunya sampai ke sungai-sungai di pedalaman hulu sungai,” ujarnya.
Seiring dengan intensifnya komunitas-komunitas Dayak lainnya menerima pedagang-pedagang Bakumpai, berpengaruh terhadap perubahan keyakinan (religiositas) saudara-saudara Dayak-nya, yakni Dayak Ma’anyan, Bukit dan Lawangan.
Perubahan yang nyata ditandai dengan munculnya pemukiman-pemukiman Dayak Islam di hampir sebagian wilayah kawasan sungai di pedalaman hulu sungai hingga Tabalong Kiwa dan Tabalong Kanan.
Adapun, lokasi Bandar Muara Bahan terletak di Rantauan Bakumpai yang merupakan sebuah perkampungan terletak di tepi lintasan Sungai Bahan menuju kawasan Kuripan dimana Muara Sungai Bahan langsung terhubung dengan Sungai Barito.
Kota Muara Bahan, sekarang disebut Marabahan berada di tepian Sungai Barito. Secara geografis sangat strategis, karena menghubungkan Muara Banjar dengan kawasan hulu Sungai dan hulu Barito.
“Komunitas yang mendiami Rantauan Bakumpai adalah etnis Ngaju atau Biaju. Dalam berita Dinasti Ming (1368-1643), buku 323, dijelaskan bahwa orang Be-oa-jiu adalah suku besar orang Dayak di pedalaman,” tuturnya.
“Orang yang paling berjasa mengembangkan bandar niaga Muara Bahan adalah raja Negara Daha, yakni Raden Sekar Sungsang. Ia menunjuk anaknya, Raden Sira Panji Kesuma sebagai Syahbandar di Muara Bahan,” sambungnya.
Gambaran mengenai Bakumpai dilaporkan oleh Schwaner dalam lawatannya di Marabahan sebagai bagian dari rangkaian pelayaran sepanjang aliran sungai Barito antara tahun 1845 dan 1847.
Kemajuan Muara Bahan dan etnis Bakumpai serta etnis Dayak lainnya, digambarkan sebagai Kota Perahu.
Berita Cina Dong Xi Yang Kao (1618), Buku IV, vol. 20, memiliki sebuah catatan, para wanita Negara ini menggunakan sampan kecil untuk mendekati kapal dan menjual makanan. Tetapi perdagangan secara umum dilakukan para pria.
Adapun mata uang yang digunakan saat itu, kata Mansyur adalah koin timah hitam. “Kemajuan perdagangan Muara Bahan juga dijelaskan dalam Hikayat Banjar,” pungkasnya. (airlangga)
Editor: Abadi