Perjalanan Masuknya Ajaran Islam ke Etnis Dayak Melalui Perdagangan di Marabahan

Pedagang Bakumpai tengah mengayuh jukung atau sampannya menuju Pelabuhan Marabahan di era kolonia Belanda. (mansyur)

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Nama Kota Marabahan di Kabupaten Barito Kuala (Batola) berasal dari suatu bandar niaga bernama Muara Bahan yang pada zaman kolonial Belanda sempat menjadi pusat perdagangan baik dari Etnis Dayak hingga orang luar pulau Kalimantan.

Hal itu juga yang menjadi cikal bakal masuknya agama Islam ke daerah yang kebanyakan ditinggali oleh Etnis Dayak

Dijelaskan Mansyur, Sejarawan dari Universitas Lambung Mangkurat , kala itu, Etnis Dayak Bakumpai sebagai komunitas yang paling siap menerima era perubahan zaman, yang ditandai dengan kedatangan dua orang Sunan dari Jawa, yakni Sunan Giri dan Sunan Bonang.

“Kedatangan Sunan Giri ke bandar niaga Muara Bahan yang sekarang Kota Marabahan dicatat dalam Riwayat Sunan Giri,” ujarnya, Minggu (17/3/2024).

Waktu itu, perdagangan Sunan Giri dan Sunan Bonang ke Muara Bahan (Marabahan) lebih bersifat dakwah. Mereka memberi pinjaman dan membagi-bagikan berbagai barang dari Jawa kepada pedagang pedagang lokal, yang sedang mengalami kesulitan keuangan.

“Pedagang-pedagang lokal yang disebutkan itu adalah orang Dayak Biaju- Ngaju- Bakumpai. Mereka telah menempatkan jalan dakwah Sunan Giri dan Sunan Bonang yang membawa perkembangan Islam di sekitar bandar niaga Muara Bahan (Marabahan),” ujarnya.

Baca Juga Khutbah Jumat Terakhir Bulan Rajab di Al Karomah, KH Hasanuddin Ingatkan Agar Kita Meneladani Sifat Elim, Hilim, Yaqin dan Islam

Baca Juga Hutang Piutang Dalam Ajaran Islam

Dimana saat itu, Pola perdagangan sungai abad ke-16 khususnya dari komunitas pedalaman hulu sungai dan hulu Barito dengan pedagang-pedagang dari bandar niaga Bandar Muara Bahan dilakukan dengan cara barter.

“Seperti berita dinasti Ming (1368-1643 M) menyebutkan “Orang Biaju (Ngaju) banyak memiliki emas serbuk”. Barter dengan emas serbuk sangat menarik minat pedagang asing kala itu,” tuturnya.

Marabahan di era kolonia Belanda (mansyur)

Kemudian, pada pertengahan abad ke-16, telah muncul di Bakumpai seorang tokoh yang bernama Khatib Banun.

Ia adalah mertua dari Sultan Hidayatullah yang memerintah Kesultanan Banjarmasin tahun 1570-1595.

“Khatib Banun yang bergelar kyai di Pondok kemungkinan dari keluarga saudagar dan diberi kesempatan mengaji di Pesantren Demak,” imbuhnya.

Istilah khatib, kata Mansyur, dalam sebutan pada tokoh Bakumpai menunjukkan posisinya yang sangat penting bagi penyebaran syiar Islam di sepanjang alur Sungai Barito.

Khatib Banun adalah penasehat Sultan Hidayatullah 1570-1595 dalam bidang keagamaan. Juga seorang tokoh penting dalam menggerakkan syiar Islam di sepanjang Kuala Banjar sampai hulu Barito dan hulu Sungai pada perempatan akhir abad ke-16.

“Berdasarkan sumber-sumber lokal Hikayat Banjar, Tutur Candi, Hikayat Lembu Mangkurat, dan Cerita Datu Bakumpai, fenomena penerimaan Islam kelompok Bakumpai telah ada sejak akhir abad ke-15,” jelasnya.

“Mereka kemudian mengambil peran dalam jaringan pedagang Muslim Bakumpai dan melakukan penyebaran Islam ke hulu Barito sampai ke Dusun Hulu. Dari Muara Bahan, Barito Selatan, ke tepi-tepi Sungai Kapuas, Dadahup, Katingan, terus ke Buntok (Dusun) Pasar Lama, hingga sampai ke Penda Asam, Pendang, Muara Teweh, Muara Tuhup, dan Tuhup,” sambungnya.

Keberhasilan Islam yang diperankan etnis Bakumpai sangat fantastis pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20.

Hampir tiap tahun dari tahun 1870-an Koloniaal Verslag melaporkan peningkatan jumlah orang-orang Dayak yang memeluk Islam dibandingkan dengan evangelisasi oleh Rheinische Missionsgesellschaft yang “tidak maju”, atau ‘tidak banyak kemajuan’.

“Fakta historis peran etnis Bakumpai, Islam, dan perdagangan dengan pandangan tesis Weber bahwa “Antara ide, doktrin agama, dan dorongan keharusan material terjadi suatu pertemuan, mereka saling menemukan dan saling memperkuat”,” ungkapnya.

Contoh perdagangan Bakumpai dilakukan seorang bernama Wangkang. Wangkang tahun1859, dari etnis Bakumpai pada mulanya seorang pedagang yang hilir mudik di hulu Barito, kawasan Tanah Dusun.

Fenomena ini menjelaskan pada Abad ke-19 telah terbentuk komunitas Islam sesuai dengan sumber-sumber Belanda, termasuk laporan dari Verspijck.

Kekuatan-kekuatan Dayak Islam berpengaruh atas perjuangan Pangeran Antasari. Ini satu hal penting yang menjelaskan telah kuat dan lamanya penyebaran Islam di sepanjang hulu Barito, termasuk sampai ke Puruk Cahu.

Perdagangan orang-orang Dayak Bakumpai, yang masih serumpun dengan Dayak Biaju-Ngaju menjadi kekuatan gerak sejarah yang tidak bisa dipungkiri.

Khususnya, dalam perannya dalam Islamisasi sepanjang sungai Barito, dan percabangan dari anak-anak sungainya.

Dari Muara Bahan Bakumpai, barang-barang yang telah biasa ditemukan dalam perdagangan sejak abad ke-14 dan ke-15 semakin mudah diperoleh. Seiring dengan dihargainya komoditas hasil hutan dan perkebunan.

“Hingga saat itu, Masyarakat mulai mengenal mata uang Pichin Cina dan membuat dinamika keluar masuk barang dari hulu Sungai Barito ke bandar niaga Bandar Masih (Saat ini Banjarmasin),” jelasnya.

Begitu pula dari Bandar Masih (Saat ini Banjarmasin) ke Muara Bahan terus ke Margasari hingga ke Muara Hulak, di Batang Negara.

Kawasan ini banyak dihuni komunitas Ma’anyan. Perubahan religiositas kawasan ini ditandai dengan hadirnya tokoh Islam seperti Haji Sahabuddin dan Haji Muhammad Taher, Negara.

“Dalam Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Selatan menjelaskan telah ada pedagang Islam orang Negara yang naik Haji pada sekitar awal abad ke-18, yakni Haji Sahabuddin dan Haji Muhammad Taher,” pungkasnya. (airlangga)

Editor: Abadi