Begini Penjelasan Dekan Hukum Uniska Tentang Kasus Malapraktik

Deken FH Uniska Dr Afifi Khalid

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Warga Kota Banjarmasin baru-baru ini dihebohkan dengan adanya dugaan kasus Malapraktik di sebuah rumah sakit milik pemerintah daerah yang melakukan proses persalinan dan diduga membuat kepala bayi putus serta tertinggal dalam rahim.

Kejadian ini mulai menjadi sorotan dari sejumlah warga yang mempertanyakan kenapa hal demikian bisa terjadi dan meragukan profesionalitas di rumah sakit berpelat merah itu.

Satu diantaranya yang turut menyoroti adanya dugaan Malapraktik tersebut, Dr Afifi Khalid, S.H.I., S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Kalimantan Selatan (FH Uniska) Muhammad Arsyad Al Banjari.

Dirinya menyayangkan jika benar dugaan malapraktik tersebut nantinya benar benar terbukti nanti.

“Sementara masih dugaankan, jadi kita tunggu saja hasil resmi dari penyelidikan kepolisian untuk mengungkap dugaan kasus itu,” ujarnya, Sabtu (27/4/2024).

Baca Juga Korban Dugaan Malapraktik RSUD Ulin Banjarmasin Trauma dan Sempat Merasa Diusir Sehari Setelah Kejadian

Baca Juga Dugaan Malapraktik Kepala Bayi Putus Saat Persalinan, Humas RSUD Ulin: Tunggu Hasil Pemeriksaan

Meskipun begitu, menurutnya kasus malapraktik di Indonesia masih menjadi salah satu masalah bagi dunia medis, khususnya profesi kedokteran.

Meskipun diketahui profesi tenaga kesehatan itu telah memiliki kode etik sebagai panduan dalam menjalankan profesinya.

“Dari pemberitaan kejadian ini menunjukan adanya dugaan tindak malapraktik oleh perawat salah satu rumah sakit yang tidak profesional dan kurang berhati-hati,” ucapnya.

“Jadi dengan apa yang telah terjadi itu dapat dikategorikan sebagai malapraktik,” sambungnya.

Namun, kata Afif, Undang-Undang di Indonesia sebenarnya belum memberikan pengertian yang tegas dan definitif tentang malapraktik.

Akan tetapi, dengan apa yang telah terjadi itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran etis, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional sebagaimana telah diatur dalam Pasal 24 UU No. 36 Tahun 2009.

“Tentang Kesehatan atau UU Kesehatan,” ungkapnya.

Lebih lanjut, kata Afif, pada dasarnya pihak rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan akibat kelalaian tenaga kesehatannya.

Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 46 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Akan tetapi ada sejumlah hal juga yang semestinya harus ditelusuri lebih jauh guna menentukan pertanggungjawaban yang dimaksud.

“Harus ditelusuri terlebih dahulu apakah kelalaian yang terjadi termasuk dalam kelalaian profesional atau malapraktik medis,” jelasnya.

Jika kelalaian profesional, kata Afif, merupakan ranah etis yang nanti pelanggarannya akan ditindaklanjuti oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).

Sementara malapraktik medis merupakan kelalaian yang mengakibatkan kerugian bagi pasien.

“Dalam ranah malapraktik medis maka rumah sakit dapat diminta pertanggungjawabannya,” tuturnya.

Kemudian, perlu dilihat juga bagaimana bentuk hubungan kerja rumah sakit dan tenaga kesehatannya yang waktu itu berada di waktu kejadian.

“Apakah tenaga kesehatan bekerja sebagai tenaga kerja, sebagai mitra atau sebagai tamu. Kalau rumah sakit hanya bisa diminta pertanggungjawabannya apabila tenaga kesehatan bekerja sebagai tenaga kerja di rumah sakit bersangkutan,” kata Afif.

Sementara untuk, menghindari penyelesaian kasus melalui pengadilan, pihak rumah sakit juga dapat mengajukan upaya hukum mediasi atau perdamaian dengan pasien. Sesuai dengan amanat Pasal 6 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa UU 30 Tahun 1999.

“Padahal Indonesia telah mengatur tentang tindakan malapraktik, yang seharusnya dapat dihindari apabila tenaga kesehatan selalu menekankan profesionalitas, bertindak hati-hati, dan mengikuti prosedur yang berlaku,” pungkasnya. (airlangga)

Ediror: Abadi