Melihat Budidaya Maggot BSF Satu-satunya di Tabalong

Hendra, menunjukkan ulat Maggot BSF hasil budidayanya. (foto : arif/klikkalsel)
TANJUNG, klikkalsel.com – UNTUK sebagian orang, jika sudah mendengar kata ulat atau belatung akan merasa jijik karena binatang ini kadang dianggap sebagai hama serta membawa penyakit.
Namun hal itu tidak berlaku bagi Hendra Serda Alinda Putra. Pemuda Tabalong berusia 21 tahun ini malah menjadikan ulat sebagai ladang usaha dan membudidayakannya sejak tahun 2018 lalu.
Meski dinamakan ulat, ternyata ulat budidaya pemuda yang akrab disapa Hendra ini bukanlah ulat biasa, melainkan larva atau belatung dari lalat jenis Black Soldier Fly (BSF) yang di dalam tubuhnya mengandung zat antibiotik alami sehingga tidak membawa agen penyakit.
Wadah budidaya ulat Maggot BSF. (foto : arif/klikkalsel)
“Lalat ini langka, tidak hinggap disampah dan tidak membawa penyakit,” kata Pria yang tergabung di Kelompok Usaha UPAYA Binaan Jikamaka Ampuh ini.
Hendra mengungkapkan, awal ketertarikan dirinya membudidayakan ulat maggot BSF bermula dari saat ia mencari informasi di internet tentang pakan alternatif yang harganya relatif murah untuk ikan lele yang sebelum juga ia budidayakan.
“Kalau pakan lelenya beli terus harganya mahal, sedangkan harga jual ikannya standar. Jadi pengen cari harga pakan lebih murah, ternyata ketemu dengan maggot BSF,” ujarnya.
Atas dasar informasi dari internet tersebut, pada tahun 2018 Hendra pun mencoba untuk membudidayakan ulat Maggot BSF dengan menggunakan dua ekor indukan Lalat BSF yang ia dapat dialam liar di sekitaran rumahnya Jalan Bangun Sari RT 9, Kelurahan Belimbing Raya, Kecamatan Murung Pudak, Kabupaten Tabalong.
Daun pisang kering digunakan sebagai wadah indukan Maggot BSF hinggap. (foto : arif/klikkalsel)
Hendra menuturkan, dua ekor indukan Lalat BSF yang ia dapat dialam liar hanya dengan menggunakan jebakan dari dedak yang dipermentasi.
“Karena Lalat BSF senang aroma segar dari hasil permentasian. Pertama ada dua lalat, kemudian kami kembangkan dari kecil sampai jadi sebanyak ini,” tutur Hendra.
Dari dua indukan Lalat BSF yang ia tangkap di alam liar, Hendra lalu kemudian secara bertahap memulai aktifitas budidayanya.
Ulat Maggot BSF diberi makan sampah organik. (foto : arif/klikkalsel)
Awal ia membudidayakan, Hendra mengaku hanya mampu menghasilkan telur Maggot BSF kurang dari satu gram dan ketika menjadi ulat hasilnya tidak mencapai satu kilogram.
“Saya jadikan indukan semua, saya masukkan kandang yang kecil di situ saya baru bias panen telur dua gram,” kata Hendra.
Selanjutnya dengan dua gram telur Maggot BSF, Hendra mampu menghasilkan ulat Maggot BSF sebanyak empat kilogram.
Ulat-ulat itu terus ia kembangkan selama tiga tahun hingga sekarang dirinya mampu menghasilkan 20 hingga 50 gram telur Maggot BSF perharinya.
Dengan hasil itupun Hendra mengaku sanggup menghasilkan 100 kilogram ulat Maggot BSF dalam setiap bulannya.
Saat ini, Hendra dibantu ketiga rekannya yang juga tergabung dalam Kelompok Usaha UPAYA Binaan Jikamaka Ampuh masih terus melakukan aktifitas budaya Maggot BSF di lahan belakang rumahnya yang cukup luas.
Ulat Maggot BSF hasil budidayanya sudah dapat ia pasarkan kepada para pembudidaya ikan, unggas maupun penghobi burung dan para pemacing dengan harga Rp10 ribu per Ons.
Jika dalam satu bulan ia sanggup menghasilkan sebanyak 100 kilogram ulat Maggot BSF, maka pundi pundi rupiah yang ia dapat mencapai Rp10 juta setiap bulannya.
Wadab penetasan telur Maggot BSF. (foto : arif/klikkalsel)
Tantangan Budidaya Maggot BSF Dan Niat Ciptakan Zero Organic Waste
Meski saat ini Hendra mampu menghasilkan pundi – pundi rupiah hingga Rp10 juta setiap bulannya, namun ia mengaku dalam melakukan budidaya Maggot BSF memiliki tantangan tersendiri.
Setiap hari hendra bersama rekan-rekannya harus bermuka tebal untuk memungut sampah organik di pasar, rumah makan maupun tong – tong sampah yang mereka temui.
“Ulat Maggot BSF ini memiliki kebiasaan memakan sampah organik atau limbah rumah tangga,” kata Hendra.
Untuk memenuhi kebutuhan akan pakan budidaya Maggot BSFnya, Hendra membagi waktunya ketika memungut sampah organik, siang ke pasar dan malam ke rumah makan.
Sampah yang ia dapat, kemudian diolah menjadi pakan ulat Maggot BSF. Dalam satu hari hendra mampu mengolah 100 kilogram sampah organik dan dalam satu bulan mencapai hingga tiga ton sampah organik.
Di sisi lain, meski sampah organik dijadikan sebagai pakan ulat Maggot BSF, Hendra juga berniat suatu saat Kabupaten Tabalong menjadi wilayah yang bebas dari sampah organik atau Zero Organic Waste.
Pra pupa larva Maggot BSF sebelum menjadi indukan. (foto : arif/klikkalsel)
“Target ke depan bisa mengolah sampah organik empat ton perhari dan dalam sebulan sekitar 120 ton,” ujarnya.
Hendra menambahkan, selama sampah organik menjadi pakan ulat Maggot BSF, maka sampah tersebut tidak akan mengeluarkan bau menyengat atau bau tidak sedap.
“Kalau sampah bau dikasih Maggot hilang, menandakan bakteri yang ada di sampah mati karena antibiotik yang ada di enzimnya Maggot BSF,” tambahnya.
Ulat Maggot BSF yang sudah dibersihkan dan siap dipasarkan. (foto : arif/klikkalsel)
Ulat Maggot BSF, Pakan Alternatif Ikan dan Unggas Yang Murah dan Mudah
Selain berkeinginan menekan jumlah sampah organik di Kabupaten Tabalong, Hendra juga berharap para petani dan peternak unggas maupun ikan bisa lebih sejahtera dengan adanya ulat Maggot BSF sebagai pakan alternative yang lebih murah.
Sebab, ia menilai selama ini pakan yang digunakan para petani dan peternak ikan maupun ungas masih terbilang mahal.
“Agar tidak ketergantungan dengan pakan pabrikan, karena harga pakan semakin mahal,” katanya.
Maggot BSF sendiri adalah larva dari Lalat Tentara Hitam atau Black Soldier Fly (BSF) yang diperkaya dengan nutrisi dan tinggi kandungan proteinnya juga mengandung asam amino dan antibiotik alami yang dapat membunuh bakteri jahat.
”Dengan begitu Maggot BSF sangat cocok untuk pakan ternak unggas dan ikan,” ujar Hendra.
Bagi para penghobi ikan hias seperti ikan koi atau arwana, ulat Maggot BSF ini, menurut Hendra, juga sangat bagus untuk perkembangan pigmen warna ikan hias.
Untuk para penghobi ikan hias ini, Hendra telah memproduksi ulat Maggot BSF kering yang proses pengeringannya dengan cara di oven.
“Produk kami ada yang dioven untuk penghobi ikan koi dan arwana. Dia cepat menumbuhkan pigmen warnanya karena kadungan asam amino dan kandungan lemak hewaninya,” jelasnya.
Ulat Maggot BSF hasil budidaya Hendra, saat ini masih dipasarkannya hanya di sekitaran Tabalong.
“Kalau untuk yang jauh seperti Banjarbaru dan Banjarmasin kami jual yang dioven,” ujarnya.
Selain menjual ulat ia menjual telur atau bibit lalat Maggot BSF bagi siapa saja yang ingin mencoba membudidayakannya dengan harga satu gram Rp10 ribu.
“Satu gram ini kalau dikembangkan bisa jadi dua sampai tiga kilo ulat Maggot,” terangnya.
Untuk Dikonsumsi Manusia, Ulat Maggot BSF Dapat Diolah Menjadi Peyek
Banyak manfaat yang didapatkan Hendra sejak ia bersama ketiga rekannya membudidayakan Maggot BSF, mulai dari mampu mengurangi penyebaran sampah organik hingga sebagai pakan alternative yang lebih murah untuk ikan lele yang sebelumnya juga ia budidayakan.
Namun, tak puas sampai disitu , Hendra saat ini mencoba mengolah ulat Maggot BSF menjadi sesuatu yang dapat dikonsumsi manusia yakni diolah menjadi peyek.
Hendra menjelaskan, untuk ulat Maggot BSF yang diolah menjadi peyek berbeda dengan ulat Maggot BSF yang ia jadikan sebagai pakan ikan ataupun ungas.
Jika ulat Maggot BSF untuk ikan dan ungas diberi makan sampah organik, maka ulat Maggot BSF yang diolah menjadi peyek diberikan makan buah-buahan dan ampas tahu. Hendra menyebutkan “Great Food”.
“Tingkatan makanannya beda, itu great food namanya. Bukan dari limbah rumah,” ujar Hendra.
Saat ini, lanjut Hendra, ia sudah ada memproduksi peyek berbahan dasar ulat Maggot BSF namun belum ia pasarkan dan hanya menjadi konsumsi pribadi. (arif)
Editor : Akhmad

Tinggalkan Balasan