Saranjana dan Suku Dayak Samihim di Pulau Laut

Saranjana dan Suku Dayak Samihim di Pulau Laut
Suku Dayak Di Pulau Laut tahun 1900 (sumber : Sejarawan ULM, Mansyur)

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami. Seperti itulah penggambaran upaya mencari sisi realitas dari mitos wilayah di Pulau Laut, Kotabaru, yaitu Saranjana.

Hal tersebut diungkapkan Mansyur, Sejarawan dari Universitas Lambung Mangkurat saat ditanya mengenai pulau gaib di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) tersebut, Minggu (5/11/2023).

Menurutnya, semakin dekat, jalan semakin gelap. Sisi gaib, metafisika yang akhirnya banyak mengemuka di ranah ini.

“Walaupun demikian, sisi ilmiah bukan penggambaran hal yang kasat mata. Vonis yang ekstrim penelitian ilmiah tidak percaya hal-hal yang gaib,” ujarnya.

Penelitian ilmiah, kata Mansyur didasarkan dengan metode ilmiah. Metode Sejarah atau Historical Method. Satu diantara tahapannya adalah interpretasi.

Pada tahap itu, memang memunculkan banyak hipotesis (dugaan sementara). Disebabkan kurangnya data tertulis sehingga dasar utama meneliti Saranjana hanya bertumpu pada sumber lisan.

“Secara metodologis, tetap bisa menjangkaunya. Dalam artian, dengan metode sejarah, tetap berupaya mengungkap keberadaan Saranjana walaupun hanya sampai tataran dugaan bersifat sementara. Tentunya, data baru yang mungkin bisa untuk mengubahnya,” jelasnya.

Menelusuri keberadaan wilayah Saranjana dalam persfektif ilmiah, memunculkan beberapa dugaan sementara.

Berikutnya, bisa meningkat statusnya menjadi teori. Hipotesa pertama, bahwa Saranjana adalah wilayah kekuasaan dari Suku Dayak yang bermukim di Pulau Laut.

Suku Dayak dengan kehidupan semi nomaden. Suku Dayak yang dimaksud adalah Dayak Samihim sub-etnis suku Dayak yang mendiami daerah timur laut Kalimantan Selatan.

“Noerid Haloei Radam berpendapat orang Dayak Samihim diperkirakan termasuk rumpun Maanyan,” ungkapnya.

Lebih lanjut kata Mansyur, Dugaan bercerai berainya sub suku Maanyan sampai ke Pulau Laut, disebabkan penaklukan daerah-daerah sekitar saat pembentukan kerajaan Negara Dipa.

Dalam sumber lisan, nyanyian atau wadian Orang Maanyan, kerajaan mereka yang dikenal dengan Nan Sarunai dirusak oleh pasukan Jawa (disebut dari Marajampahit atau Majapahit).

“Kemungkinan besar Empu Jatmika memerintahkan hulubalang-nya, Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa dengan pasukannya menaklukkan orang Maanyan yang tidak mau menjadi rakyat Kerajaan Negara Dipa,” imbuhnya.

Baca Juga : Sejarah Kemunculannya di Peta Belanda Serta Arti dari Saranjana

Baca Juga : Makna dan Sejarah Gambar Buah Semangka Sebagai Bentuk Dukungan kepada Palestina

Sebagian kelompok Orang Maanyan terusir. Kemudian mereka melakukan pengusian ke berbagai penjuru di Kalimantan. Termasuk orang Dayak Samihim yang menetap di kawasan Pamukan, Cengal, Manunggul, Bangkalaan hingga Pulau Laut yang nantinya menjadi bagian wilayah Kerajaan Tanah Bumbu.

Kemudian, kata Mansyur, pendapat lain seperti tertulis dalam buku Sejarah Kotabaru bahwa sebelum masuknya agama Islam, daerah Kotabaru didiami penduduk dari suku Dayak yang menganut kepercayaan Animisme.

“Baik di Kotabaru (Pulau Laut), Cengal, Cantung, Sampanahan dan lainnya masih hidup berkelompok,” jelasnya.

Lantas, kapan kurun waktu keberadaan wilayah Saranjana yang diperkirakan wilayah dari Suku Dayak Samihim?

Mansyur menduga sebelum tahun 1660 an Masehi. Dengan kata lain sebelum abad 17.

Alasannya, pada tahun 1660 berdasarkan catatan Goh Yoon Fong, Pulau Laut sudah menjadi tanah apanage/apanaze Pangeran Purabaya dari Kesultanan Banjar.

“Lengkapnya Goh Yoon Fong menuliskan “permufakatan bangsawan Banjar memutuskan bahwa Raden Bagus diangkat sebagai Sultan Banjar dengan gelar Sultan Amarullah Bagus Kusuma (1660-1663),” tuturnya.

“Kemudian sebagai penghormatan dan imbalan perdamaian, Pangeran Purabaya diberikan daerah Pulau Laut,” sambungnya.

Disisi lain, kata Mansyur, Saranjana masa awal, adalah suatu ethnic state atau negara suku. Hal ini sesuai Teori Kulke yang membagi formasi negara di Asia Tenggara terjadi dalam tiga fase, yaitu negara suku, negara awal, dan negara kerajaan.

Saranjana berbentuk pemerintahan Negara Suku (Ethnic State) di fase pertama. Ethnic State ini “mati” tanpa sempat mengalami masa transisi.

“Alasan penggolongan ini, karena dalam upaya untuk mengungkapkan dan menjelaskan Saranjana sangat bertumpu kepada historiografi tradisional yakni legenda kerajaan Pulau Halimun,” jelasnya.

Historiografi tradisional mempunyai ciri-ciri yang menonjol dan saling berkaitan, yaitu etnosentrisme, rajasentrisme dan antroposentrisme.

Demikian pula dalam melacak latar belakang keberadaan Saranjana masih sangat tergantung kepada cerita rakyat berbentuk legenda turun temurun.

Informasi yang diperoleh dari cerita Legenda Pulau Halimun ditandai sifat-sifat mistis, legendaris, dan tidak ada kronologis unsur waktu dalam urutan ceritanya.

“Menurut Kulke dalam Vida, Negara suku atau negara etnik hanya terdiri dari satu etnik dan tatanannya diatur oleh tradisi yang ditransformasikan dari nenek moyang ke generasi berikutnya,” ungkap Mansyur.

Keberadaan Saranjana memang tidak didukung sumber tertulis yang memadai. Posisi kepala suku sudah dikenal dalam masyarakat Saranjana saat itu.

Dalam hal ini, apabila bertumpu pada sumber lisan Legenda Pulau Halimun, selaku kepala suku adalah tokoh bernama Sambu Ranjana.

Sebagai Ethnic state, tentunya Kerajaan Saranjana belum memiliki pengaturan atau birokrasi seperti kerajaan yang berada dalam fase negara awal dan negara kerajaan.

“Mengutip pendapat Vida Kusmartono yang memotret Kerajaan Nan Sarunai dengan teori yang sama yakni Teori dari Kulke, negara atau kerajaan ethnic state tidak bersifat tirani bagi yang diperintahnya,” ujarnya.

“Masyarakat Saranjana adalah masyarakat yang homogen. Mereka menata kehidupan komunitasnya dengan sangat harmonis sesuai dengan aturan adat yang berisi hukum tradisional, termasuk larangan-larangan dalam hukum adat,” tambahnya.

Lalu, hubungan fundamental di dalam lingkungan Kerajaan tercipta berdasarkan genealogis atau hubungan kekerabatan.

Dalam perkembangannya, kehidupan suku pendukung “Negara Suku” Saranjana berlangsung hingga berabad-abad. Pemerintahan yang berlaku masih dijalankan secara sederhana.

“Mereka mendirikan tempat tinggal sementara sebelum pindah ke lokasi lainnya seperti digambarkan H. Ling Roth pada pertengahan Abad ke-19. Daerah-daerah yang menjadi wilayah Kerajaan Saranjana meliputi Pulau Halimun (wilayah Pulau Laut) bagian selatan,” kata Mansyur.

Dengan status Kerajaan Suku, Kerajaan Saranjana tidak pernah tercatat melakukan ekspansi atau perluasan wiayah, baik dengan peperangan maupun klaim wilayah kekuasaan.

Baca Juga : Sejarah Pasar Terapung Hingga Perkembanganya

Baca Juga : Arba Mustamir Hari Turunnya Ribuan Bala Bencana, Ini Pesan Abah Guru Sekumpul

Dalam perkembangannya lagi, Kepala suku Dayak Samihim di wilayah “ethnic state” Saranjana, kemungkinan besar tokoh Sambu Ranjana sudah mulai mendapat pengaruh unsur Hindu lama.

“Sesuai dengan pendapat Faisal Batennie. Beliau mengungkapkan agama yang pertama kali berkembang di Pulau Laut adalah agama Hindu,” ungkap Mansyur.

Selain itu, hal itu dapat ditinjau dari aspek bahasa, linguistik yang berhubungan dengan nama. Nama “Sambu” (Shambu) tidak terlepas dari kepercayaan Hindu.

“Misalnya dalam Reg Veda (Reg Weda). Nama Sambu adalah bagian dari 11 rudra atau rudra prana. Sambu memiliki makna bertemu atau bergabung,” tuturnya.

Versi lain, kata Mansyur, Sambu artinya kuat, berani, dan bijaksana. Sementara arti kata “Ranjana” dalam Bahasa Kawi adalah bergembira.

Mengenai pindahnya Suku Dayak Samihim dari lokasi Kerajaan Saranjana, bisa dihubungkan dengan tulisan Schwaner: “Historische, Geograpische en Statistieke Aanteekeningen Betreffende Tanah Boemboe”, tahun 1851.

Memang belum bisa dipastikan apakah tulisan Schwaner tersebut menggambarkan Kerajaan Saranjana atau bukan.

“Menurut Schwaber, “kisah-kisah tertua beredar sampai penduduk asli di tempat itu yang disebut Suku Dayak menjadi kaya dan kuat, serta hidup di kampung-kampung yang dikelilingi oleh kebun-kebun yang luas dan indah, di bawah raja-raja yang berasal dari mereka dan keturunannya,” ucapnya.

Sejarah kerajaan itu tercampur dengan kisah berbagai peristiwa alam gaib, tindakan legendaris dan adat barbar dan berakhir dengan kehancuran daerah itu akibat perang dengan kekuatan asing yang datang dengan perahu, menyerang penduduk dan menghancurkan wilayahnya.

Ribuan orang terbunuh dan sisanya dipukul mundur sampai pegunungan tinggi, dimana karena tekanan sampai sekarang mereka menjadi ketakutan dan bersembunyi, tinggal dalam beberapa keluarga dan tersebar di kampung-kampung kecil.

“Kesimpulan, berdasarkan hipotesa ini bahwa Kerajaan Saranjana muncul sebelum tahun 1660 an atau pra abad ke 17 Masehi. Saranjana berbentuk Kerajaan Ethnic State (Negara Suku) dari Suku Dayak Samihim,” sebutnya.

“Kepala Suku pertama adalah Sambu Ranjana. Awalnya menganut kepercayaan animisme. Tetapi seiring perkembangannya, mulai mendapat pengaruh Hindu lama,” sambungnya.

Hal ini dibuktikan dengan nama Sambu Ranjana yang dipengaruhi unsur Hindu. Suku Dayak yang nomaden sempat mengalami kejayaan.

Pada akhirnya, kelompok Suku Dayak Samihim tersebut meninggalkan wilayah Saranjana akibat perang dengan kekuatan asing yang datang dengan perahu, menyerang penduduk dan menghancurkan wilayahnya.

“Walaupun sudah meninggalkan wilayahnya, nama pusat kekuasaan Suku Dayak Samihim di Pulau Laut, sampai sekarang tetap dinamakan dengan Saranjana,” pungkasnya. (airlangga)

Editor: Abadi