Sejarah Pasar Terapung Hingga Perkembanganya

Pedagang di atas perahu pada salah satu kanal di wilayah Banjarmasin tahun 1920 an (KITLV/Net)

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Wisatawan dari berbagai daerah, lokal maupun manca negara mungkin sudah tidak asing dengan destinasi wisata khas Kalimantan Selatan yaitu pasar terapung.

Pasar Terapung sendiri merupakan Landmarknya Kota Banjarmasin yang kerap menjadi tujuan destinasi wisata utama.

Bahkan, bagi wisatawan lokal maupun mancanegara, terasa belum lengkap apabila tidak berkunjung ke Pasar Terapung.

Ada beberapa lokasi di Kalimantan Selatan yang terdapat titik Pasar Terapung. Seperti di Lok Baintan di Sungai Martapura dan di Muara Kuin yang ada di Sungai Barito.

Pasar Terapung di Muara Kuin Banjarmasin, umumnya dikenal dengan nama Pasar Terapung Muara Kuin atau Pasar Terapung Sungai Barito.

Dalam tinjauan geografis, Pasar Terapung berkategori Pasar Tradisional. Lokasinya di Sungai Barito di kawasan Muara Sungai Kuin, Banjarmasin.

Uniknya, para pedagang maupun pembeli menggunakan alat transportasi jukung atau sebutan perahu dalam Bahasa Banjar.

Juga ada yang menggunakan kelotok atau perahu bermesin. Pasar itu, didapati usai Shalat Subuh sampai matahari meninggi.

Eksotisme dari Pasar Terapung, terasa ketika matahari terbit di ufuk timur. Saat matahari memantulkan spektrum cahaya diantara transaksi sayur-mayur dan hasil kebun dari kampung-kampung sepanjang aliran Sungai Barito dan anak sungainya.

Bagi warga Banjarmasin, tentunya keberadaan Pasar Terapung di Kuin sudah bukan hal baru. Hampir tiap hari akan melewati wilayah ini apabila berkunjung atau sekadar mampir ke wilayah Kuin.

Lantas, bagaimana sejarah Pasar Terapung dan Mana yang lebih tua Pasar Terapung di Muara Kuin atau di Lok Baintan?

Dijelaskan Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat, Mansyur, dari sudut pandang historis atau kesejarahan, Pasar Terapung (floating markets) Kuin di Banjarmasin sudah ada sejak 480 tahun yang lalu.

“Diperkirakan Pasar Terapung atau yang dalam Bahasa Belanda dikenal dengan drijvende markt, sudah ada tepatnya pada tahun 1530 Masehi pada masa pemerintahan Sultan Suriansyah (Pangeran Samudera),” ujarnya, Sabtu (14/10/2023).

Pasar Terapung ini, lanjut Mansyur, terletak pada pertemuan Sungai Karamat dan Sungai Sigaling. Kemudian bergeser ke tepi Sungai Barito di daerah muara Sungai
Kuin.

“Kisaran waktu menjelang akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17 Masehi,” imbuhnya.

Sementara Pasar Terapung di Sungai Desa Lok Baintan, Kabupaten Banjar, baru ada belakangan. Ketika perpindahan keraton Banjar ke kawasan Kayu Tangi, Martapura, sejak awal
abad ke-17.

“Tepatnya sekitar tahun 1612 M,” ungkapnya.

Dalam beberapa literatur dituliskan bahwa Pasar Terapung di Muara Kuin Kota Banjarmasin adalah peninggalan dari aktivitas perdagangan bandar niaga Kesultanan Banjar pertama.

Oleh karena itu kawasan Pasar Terapung pada periode awal dituliskan sebagai bandar niaga Bandar Masih, Muara Kuin, Banjarmasin.

“Pasar Terapung yang dalam perkembangannya muncul sejak abad ke-16 adalah tempat para pedagang Banjar zaman dahulu,” tuturnya.

“Saat itu, mereka melakukan jual beli dengan pedagang dari Jawa, Melayu, Aceh, Gujarat, Arab dan China serta pedagang lainnya,” sambungnya.

Hingga saat ini, hanya beberapa pedagang Pasar Terapung Muara Kuin Banjarmasin yang berdagang.

Kemudian, kata Mansyur, terdapat beberapa istilah yang digunakan oleh pedagang di Pasar Terapung atau kosakata di masa Kerajaan Banjar pertama abad ke-16.

“Para pedagang wanita yang
berperahu menjual hasil produksinya sendiri atau tetangganya disebut dukuh,” jelasnya.

“Kemudian pedagang eceran atau tangan kedua yang membeli dari para dukuh untuk dijual kembali, disebut panyambangan,” sambungnya.

Tidak hanya itu, kata Mansyur, di Pasar Terapung juga terdapat keistimewaan yakni menggunakan sistem transaksi barter atau tukar menukar barang antar para pedagang berperahu.

Lebih lanjut, kata Mansyur, Menurut Idwar Saleh (1981/1982) Pasar Terapung Kuin berkembang seiring dengan dibangunnya Istana Kesultanan Banjar di Kuin tahun 1524-1530 an.

Istana atau keraton di Banjarmasin yang didirikan Sultan Suriansyah, terletak di antara Sungai Barito dengan anak Sungai Sigaling, Sungai Pandai dan Sungai Kuin.

“Sungai-sungai ini pada hulunya di darat bertemu, dan membentuk sebuah danau kecil bersimpang lima. Daerah inilah yang menjadi ibukota Kesultanan Banjar pertama,” jelasnya.

Kemudian, kata Mansyur, dalam artikelnya Bani Noor Muhammad & Namiatul Aufa berjudul “Melacak Arsitektur Keraton Banjar”, beranggapan lokasi keraton berada pada Komplek Makam Sultan Suriansyah saat ini.

“Senada dengan gambaran Kota Banjarmasin kuno menurut M. Idwar Saleh, adalah kompleks keraton terletak antara Sungai Keramat dengan Sungai Jagabaya. Daerah itu sampai sekarang masih bernama Kampung Keraton,” ungkapnya.

Lokasi itu, merupakan tempat pemerintahan pertama yang juga rumah Patih Masih tepatnya di daerah perkampungan Suku Melayu. Antara Sungai Keramat dan Jagabaya dengan Sungai Kuin sebagai Induk daerah.

Daerah itu, pada mulanya berupa sebuah Banjar atau kampung, lalu berubah setelah dijadikan sebuah bandar perdagangan dengan cara mengangkut penduduk Daha dan seluruh rakyat Daha pada
tahun 1526.

“Istana Sultan Suriansyah berupa Rumah Bubungan Tinggi, tetapi kemungkinan besar masih berbentuk rumah Betang dengan bahan utama dari pohon ilayung,” tuturnya.

Antara istana dan sungai di daerah itu terdapat jalan darat. Di kawasan pinggir sungai juga terdapat bangunan di atas air yang dijadikan kamar mandi.

Baca Juga Menyusuri Jejak Sejarah Langgar Al Hinduan Hingga Perkembangan NU Cabang Banjarmasin

Baca Juga Hari Kesaktian Pancasila, Berikut Sejarahnya

“Mendekati Sungai Barito dengan Muara Cerucuk, terdapat rumah Syahbandar Goja Babouw, seorang Gujarat (India) bergelar Ratna Diraja,” imbuhnya.

Kemudian di seberang Sungai
Jagabaya dibangun masjid pertama, yang sekarang dikenal dengan Masjid Sultan Suriansyah.

“Nah, pada tempat dekat pertemuan sungai Keramat dengan Sungai Sigaling, terdapat pasar di atas tebing berada samping pasar lain yang umum saat itu di atas air. Jadi ada dua pasar
sebenarnya, yang ada pada masa Sultan Suriansyah abad ke-16,” ungkapnya.

Atas dasar itu, pasar di darat dan atas air. Khusus pasar di atas air,
merupakan ciri-khas dari perdagangan orang Banjar saat itu, sebagaimana juga rumah di atas air (lanting).

Pasar di atas air inilah yang menjadi cikal bakal Pasar Terapung di Kuin dan berkembang sampai sekarang.

Menyeberangi Sungai Sigaling, searah dengan keraton, terdapat lapangan luas yang berpagar ilayung. Merupakan alun alun besar tempat mengadakan latihan berkuda dan perang perangan pasukan Kerajaan Banjar.

Kemudian di Sungai Pandai dekat muara terdapat benteng kayu dengan lubang-lubang perangkap. Sementara itu, di seluruh Sungai Kuin, Sungai Pangeran, rakyat sebagian besar tinggal di rumah-rumah rakit. Sebagian lagi tinggal di rumah betang di
darat.

“Daerah sekitar lima sungai ini digarap menjadi kebun dan sawah. Kala itu jumlah penduduk mencapai 15.000 orang setelah orang orang Daha diangkut ke ibu kota kerajaan yang baru,” jelasnya.

Saat ini, Catatan tentang istana Sultan Suriansyah dan Pasar Terapung juga banyak dilansir pada sumber sumber kolonial. Satu diantaranya tulisan A.J. van der Aa, dalam Aardrijkskundig
woordenboek der Nederlanden, bagian 2, dicetak di Gorinchem bij
J. Noorduyn, 1840.

Sumber dari van Der Aa ini menuliskan pada area sungai-sungai di Banjarmasin terdapat banyak buaya yang siap memangsa.

Jumlah rumah di wilayah Banjarmasin terutama di Kuin sekitar 2.000 buah. Dibuat berlantai tinggi sehingga memungkinkan perahu melewatinya.

Rumah Sultan Banjar adalah
rumah besar dengan bangsal kadjang (tikar buluh tebal) dan atap
tertutup daun niepa atau nipah.

Penduduk diperkirakan berjumlah
20.000. orang. Sementara masyarakat bertransaksi jual beli di pasar yang berada di atas air.

“Oleh van der Aa, pasar itu
dinamakan drijvende marktplaats atau Pasar terapung,” pungkasnya. (airlangga)

Editor: Abadi