Sejarah Kemunculannya di Peta Belanda Serta Arti dari Saranjana

Peta Solomon Muller, 1845 (dok Mansyur)

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Kota Saranjana sudah melegenda bagi masyarakat Kalimantan. Rumor soal kota misterius di Kotabaru (Pulau Laut) Kalimantan Selatan (Kalsel) itu menjadi semakin heboh lantaran keberadaannya dianggap tidak tercatat dalam peta Indonesia dan munculnya Film tentang Saranjang.

Dikatakan Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Mansyur, Saranjana merupakan kota gaib yang tidak bisa dilihat oleh orang awam, kecuali dengan mata batin.

“Masyarakat di Kotabaru tentunya sudah pernah mendengar kisah mistis dan gaib itu, yang memang turun-temurun dari mulut ke mulut dengan berbagai versi dan lokasi,” jelasnya, Jumat (3/11/2023)

Versi pertama, kata Mansyur, hanya menuliskan bahwa konon letaknya di Kotabaru, Kalimantan Selatan. Pada versi kedua memaparkan bahwa Saranjana terletak di Teluk Tamiang, Pulau Laut.

Versi ketiga lebih tegas menyebutkan bahwa lokasi wilayah Saranjana ada di sebuah bukit kecil yang terletak di Desa Oka-Oka Kecamatan Pulau Laut Kelautan, Kalsel.

“Bukit yang berbatasan langsung dengan laut itu indah dan cocok dijadikan destinasi wisata. Namun, tempat itu dianggap angker oleh penduduk sekitar,” ujarnya.

Lantas bagaimana dalam perspektif historis?.

Menurut Mansyur, keberadaan Saranjana adalah fakta. Salomon Muller, naturalis berkebangsaan Jerman yang dilahirkan di Heidelberg, dalam petanya berjudul “Kaart van de Kust-en Binnenlanden van Banjermasing behoorende tot de Reize in het zuidelijke gedelte van Borneo” (peta wilayah pesisir dan pedalaman Borneo), tahun 1845 menggambarkan bahwa terdapat wilayah yang ditulisnya sebagai Tandjong (hoek) Serandjana.

Tandjong ini terletak di sebelah selatan Pulau Laut. Tepatnya berbatasan dengan wilayah Poeloe Kroempoetan (Pulau Kerumputan) dan Poeloe Kidjang.

Lokasi Tanjung Saranjana di Pulau Laut (dok Mansyur)

Dalam kapasitasnya sebagai pembuat peta, Salomon Muller menjabat anggota des Genootschaps en Natuurkundige Komissie in Nederlands Indie yang sudah mendapatkan pelatihan dari Museum Leiden dan sedang melakukan perjalanan penelitian tentang dunia binatang dan tumbuhan di kepulauan Indonesia.

Baca Juga Film Jendela Seribu Sungai Anjlok, Penjualan Tiket Tak Sebanding dengan Nilai Produksi

Baca Juga Pengenalan Sejarah Islam di Kalsel, Puluhan Siswa SD di Tabalong Antusias Tonton Al-Banjari

“Belum bisa dipastikan apakah Salomon Muller pernah berkunjung ke Tandjong (hoek) Serandjana sebelum memetakannya,” tuturnya.

Salomon Muller, lanjut Mansyur, tidak pernah menyinggungnya dalam beberapa artikelnya yang diterbitkan Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.

Peta yang memuat Tandjong (hoek) Serandjana tersebut dimuat dalam Reizen en onderzoekingen in den Indischen Archipel, seri pertama yang diterbitkan Staatsbibliothek zu Berlin.

“Peta itu dibuat 18 tahun sebelum Salomon Muller meninggal dunia pada tahun 1863,” ungkapnya.

Kemudian, kata Mansyur, sumber lainnya yang memuat tentang Seranjana adalah Pieter Johannes Veth, dalam “Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van Nederlandsch Indie: bewerkt naar de jongste en beste berigten”, halaman 252.

Lokasi Gua yang diyakini masyarakat di Pulau Laut pintu masuk ke Saranjana (dok Mansyur)

Kamus itu diterbitkan di Amsterdam oleh P.N. van Kampen, tahun 1869. Veth yang menuliskan “Sarandjana, kaap aan de Zuid-Oostzijde van Poeloe Laut, welk eiland aan Borneo’s Zuid-Oost punt is gelegen” (Sarandjana, tanjung di sisi selatan Poeloe Laut, yang merupakan pulau yang terletak di bagian tenggara Kalimantan).

“Secara terminologi, kalau dikomparasikan dengan kosakata India, “Saranjana” berarti tanah yang diberikan,” jelas Mansyur.

**Saranjana secara Ilmiah**

Secara ilmiah, memang ada fakta-fakta di pikiran masyarakat pendukung kepercayaan tentang “mitos Saranjana” di Kotabaru.

“Namun, bila ada yang sengaja mencari daerah Saranjana, kebanyakan mereka tidak akan menemukannya,” imbuhnya.

Selain deretan fakta dari sumber Hindia Belanda yang dipaparkan sebelumnya, memang ada sumber lain yang tentunya jangan sampai ditinggalkan.

“Untuk membuat mitos menjadi nyata, harus dimulai dari kemitosannya,” tegasnya.

Hal pertama, kata Mansyur, melihatnya dari sudut pandang bahasa. Karena sejarah ditulis dengan bahasa.

“Bahasa menjadi simbol dari kumpulan kata. Dari sudut pandang ini, keberadaan nama Saranjana/ Sarangjana atau Serandjana dalam tulisan naturalis Belanda, memiliki kesamaan toponim dengan Sarangtiung,” jelasnya lagi.

Wilayah Saranjana ada di wilayah selatan Pulau Laut. Sementara daerah Sarangtiung di wilayah utara Pulau Laut.

Menurutnya, hal ini bukan anomali. Apakah unsur kesamaan ini menunjukkan hubungan.

“Ini perlu pendalaman. Hal yang pasti, menunjukkan tempat berupa “sarang”. Pembuktian unsur kesejarahan dalam konteks lingua-historis hanya akan sampai di situ,” imbuhnya.

Penyebabnya, data minim. Belum ada sumber yang menunjukkan adanya hubungan kedua wilayah itu.

“Artinya, pendapat ini hanya pencocokan yang belum bisa mencapai taraf hipotesa,” sebutnya.

Kemudian hal kedua, Menurut Mansyur, secara terminologi, kalau dikomparasikan (dibandingkan) dengan kosakata India, “Saranjana” berarti tanah yang diberikan.

“Hal itu diungkapkan sejarawan India, S.D. Chaudhri dalam “Indian Cases”. Buku terbitan Law Publishing Press, 1917, halaman 74,” ungkapnya.

“Akan tetapi, pendapat yang kedua ini, lagi-lagi hanya bertaraf menjadi pencocokan. Karena terbentur data. Belum pernah ditemukan peninggalan ‘wujud budaya’ hasil indianisasi di Pulau Laut,” sambungnya.

Penelusuran akhirnya berhenti di sumber lisan lokal. Normasunah, dalam publikasinya bertitel “Myths in Legend of Halimun Island Kingdom in Kotabaru Regency” (Mitos dalam Legenda Kerajaan Pulau Halimun di Kabupaten Kotabaru), memberikan pandangan lain.

Legenda Kerajaan Pulau Halimun. Tokohnya, Raja Pakurindang, Sambu Batung dan Sambu Ranjana.

“Normasunah berpendapat sesuai mitos. Gunung Saranjana merupakan jelmaan dari tokoh Sambu Ranjana dalam Legenda Kerajaan Pulau Halimun,” tuturnya.

Dalam mitos itu, Raja Pakurindang mengatakan “Sambu Batung, engkau dan Putri Perak tinggallah di utara pulau itu. Teruskan rencanamu membuka diri dan membaur di alam nyata, dan engkau Sambu Ranjana tinggallah di selatan lanjutkan niatmu menutup diri.”

“Aku merestui jalan hidup yang kalian tempuh. Namun ingat, meskipun hidup di alam berbeda, kalian harus tetap rukun. Selalu bantu-membantu dan saling mengingatkan.”

“Kesimpulannya, nama Sambu Ranjana inilah yang kemudian mengalami ‘evolusi’ pelafalan menjadi ‘Saranjana’ dalam lidah orang lokal,” kata Mansyur.

Apakah mitos ini bisa dipercaya dan kebenarannya serta unsur historisitasnya?.

Normasunah, kata Dosen Sejarah Universitas Lambung Mangkurat (ULM) itu, dalam tulisannya memberikan jawaban. Mitos, bagian dari bahasa yang subtansinya tidak terletak pada gaya, irama atau sintaksisnya. Melainkan pada cerita yang diungkapkannya.

Fungsi mitos terletak pada suatu tatanan khusus yang di dalamnya terdapat makna-makna melepaskan diri dari landasan yang semata mata kebahasaan.

Mitos adalah bahasa yaitu suatu struktur yang teraktualisasikan setiap kali menceritakan ulang kisah tertentu.

Dari deretan pendapat dengan cara pandang lingua-historis ini paling tidak memberikan informasi penting.

“Asal nama Saranjana yang paling mendekati kebenaran adalah Sambu Ranjana,” pungkasnya. (airlangga)

Editor: Abadi