Cerita Sang Bissu Seorang Waria Sakti di Kalangan Masyarakat Bugis (Bagian 1)

Bissu Dukun 'Waria' daru Tanah Bugis yang sakti mandra guna (Sumner, Mansyur atau boombastis.com)

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Zaman dulu pulau Indonesia masih disebabut sebagai Nusantara, banyak terdapat kerajaan yang didalamnya memiliki orang sakti sebagai penasehat raja atau pemimpin suatu daerah atau suku.

Orang sakti tersebut memiliki ilmu yang dipercaya sangat luar biasa dengan penampilan bermacam-macam.

Mansyur, Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat (ULM) menceritakan dari hasil kajiannya terdapat sejarah dari Tanah Bugis yang menuliskan bahwa di kalangan masyarakat Bugis pada zaman dulu ada seorang waria atau banci sakti disebut Sang Bissu.

“Ya istilah kita seperti, dukun sakti yang memiliki sifat pria sekaligus wanita,” ungkap Mansyur, Jumat (8/12/2023).

Menurut Mansyur, cerita Sang Bissu ini memang jarang didengar orang. Bissu sendiri memiliki kesaktian yang sangat hebat dan memiliki posisi tinggi di kalangan masyarakat Bugis sejak masa lalu.

Cerita ini diketahuinya dari Carl Anton Ludwig Maria Schwaner, Minister Van Kolonian, tahun 1844 yang dalam lukisannya tanggal 9 Mei 1844 dengan Teknik lukis pensil (potlood).

“Lukisan itu dikoleksi dalam buku Picture of the Tropics, a Catalogue of Drawings Water Colours, Paintings, and Sculptures in the Collection of the Royal Institute of Linguistics and Anthropology in Leiden, oleh JH Maronier, dipublish di Den Haag oleh Martinus Nijhoff, tahun 1967,” ungkapnya.

“Dalam koleksi Lukisan C.A.L.M. Schwaner Tentang Model Pakaian Penduduk Kerajaan Pagatan, Tanah Bumbu, Berdasarkan Lapisan Sosial, Tahun 1844,” sambungnya.

Sosok lukisan dimaksud dalam buku tersebut berperan sebagai bissu, atau pendeta banci yang bertugas memimpin upacara ritual.

Dari sumber lain, kata Mansyur, keberadaan bissu di Kerajaan Pagatan, menurut K.G. Anderson sudah ada pada masa pemerintahan Ratu Sengngeng Daeng Mangkau (1875-1883).

“Bissu dijadikan sebagai tempat untuk ‘konsultasi’ mencari pasangan hidup, meminta saran dan pendapat,” jelasnya.

Menurutnya, para bissu menandakan bahwa di Kerajaan Pagatan walaupun sudah beragama Islam tetapi masih menganut kepercayaan Bugis tradisional.

Baca Juga : Makna dan Sejarah Gambar Buah Semangka Sebagai Bentuk Dukungan kepada Palestina

Baca Juga : Saranjana dan Suku Dayak Samihim di Pulau Laut

Penampilan Bissu itu mirip banci. Penampilan fisik seperti itu dimaksudkan agar mereka dapat melepaskan diri dari tuntutan biologi terhadap lawan jenisnya. Dengan demikian, hubungan Bissu dengan para dewa tidak pernah putus.

“Pendapat yang sama dikemukakan Hooykaas, para Bissu zaman dahulu selain sebagai pendeta agama juga berupaya menjaga puteri-puteri raja, khususnya ketika mereka sedang mandi atau mengganti pakaian,” imbuhnya.

Ritual Bissu pada Masyarakat Bugis (Sumber Mansyur/etnis.id)

Pada umumnya, kala itu Bissu adalah laki-laki. Namun, terdapat juga wanita. Bissu mempunyai bahasa mereka sendiri untuk berkomunikasi sesama mereka, dan berkomunikasi dengan
Tuhan atau bahasa torilangi (torilangi).

“Senada dengan dengan pernyataan dalam website www.boombastis.com, untuk menjadi seorang Bissu, harus dipilih sejak berusia anak-anak. Mereka yang akan menjadi Bissu adalah dia yang mengalami ambiguitas dalam masalah orientasi seksual,” kata Mansyur.

Namun, sebelumnya mereka harus membuktikan kalau mereka memiliki berkat tersebut dari yang maha pencipta.

“Calon bissu harus menjalani tes berbaring pada sebuah rakit dan tidak diberi makan selama tiga hari tiga malam. Jika lulus, maka dia telah membuktikan bahwa dia adalah seorang bissu yang sejati,” jelasnya.

Seorang yang akan menjadi bissu melewati ritual panjang. Mulai saat mereka berumur 13 tahun, calon bissu harus belajar ilmu-ilmu khusus adat bugis.

Ilmu khusus ini hanya diperuntukkan untuk para bissu sendiri dan tidak diajarkan ke orang lain.

Mereka juga harus melewati ritual yang disebut dengan irebba jika ingin menjadi seorang bissu. Prosesi ini berlangsung selama berhari-hari dan para calon bissu harus bisa melewatinya.

“Dalam pendidikannya, seorang bissu tidak saja mempelajari tentang etika kebissuan dan pematangan dalam menjalankan tradisi upacara adat, mereka juga harus memahami dengan baik basa torilangi (bahasa langit), bahasa yang mereka jadikan media berkomunikasi dengan para dewata atau leluhurnya,” tuturnya.

Lebih lanjut, kata Mansyur, Suku bugis menganggap mereka bukan waria. Sebenarnya ada lima gender di suku bugis. Pria, wanita, wanita berpakaian pria, pria berpakaian wanita dan bissu.

Bissu dianggap spesial karena itu adalah anugerah yang Kuasa. Oleh karena itu mereka diberikan kelebihan dari yang lainnya sebagai pemimpin upacara adat yang diselenggarakan suku bugis.

Bissu sangat dihormati di sana, mereka diibaratkan sebagai orang sakti penjaga suku bugis. Bissu dianggap sebagai keturunan langsung dari dewa, mereka juga bertugas menyampaikan pesan pada roh-roh leluhur.

Oleh karena itu mereka diberi posisi mulia di tanah bugis. Mengingat mereka memiliki orientasi seksual yang ambigu.

Seorang bissu dituntut untuk tetap suci hingga akhir hayatnya, karena bisa saja para bissu ini tergoda satu sama lain.

“Kesucian seorang bissu juga merupakan simbol bahwa dia adalah masih keturunan dewa yang tidak akan pernah ternoda,” tuturnya.(airlangga)

Editor : Amran