Teori Impact Bias. Berdamai Dengan Corona

Oleh: Kadarisman
(Praktisi & Konsultan
PFH dan SEFT Healing)
Kurang lebih satu bulan sebelum corona saya sedang di Jakarta. Beruntungnya ketika itu saya ada di sebuah kelas yang salah satu bahasannya adalah bagaimana manusia memiliki kecenderungan mendramatisir keadaan yang getir. Ada banyak teori barat dikupas ketika itu. Lalu bagaimana kemudian teori-teori itu berkorelasi dengan firman-firman Tuhan di dalam Al-Quran dan relevan.
Prof Daniel Gilbert, seorang psikiater dan psikolog dari Harvard USA mengemukakan betapa otak manusia cenderung mendramatisir setiap keadaan yang sulit. Ambil saja contoh teranyar, covid-19 misalnya. Hampir tak ada sejengkal pun tersisa ruang publik dari corona, corona, corona! All about of corona.
Suasana mencekam. Publik panik. Kekuatiran meningkat. Kecemasan menjadi berbahaya ketimbang wabahnya itu sendiri. Orang kemudian bisa mati gara-gara flu padahal belum terpapar corona. Betapa sebenarnya ketakutan itu dapat merugikan nilai kesehatan manusia.
Elesabeth Kubler, seorang psikiater kenamaan Amerika mengatakan bahwa ketakutan otomatis menurunkan derajat rasa bahagia seseorang. Dampaknya adalah bisa kehilangan imunitas yang drastis.
Orang yang takut tak akan pernah bisa mencintai dan bahagia. Orang yang bahagia dan mencintai tak pernah akan merasa takut. Dua dasar emosional ini tak pernah dapat disatukan. Sama tak pernah berkumpulnya kematian dan kehidupan. Suasana mencekam dan menebar ketakutan sejatinya akan mematikan imunitas yang sangat fital bagi manusia.
Tergerusnya tingkat imunitas jadi pangkal sebab korban berjatuhan. Karena Impact Bias. Di Tabalong ada 6 orang positif Corona dan semuanya sembuh. Artinya corona bukan hal mematikan. Hal yang mematikan adalah karena keadaan impact bias, dimana kita tidak semata kehilangan antibodi tapi juga kehilangan kepedulian, kebahagian dan kesyukuran yang menjadi bahan dasar mendongkrak kekebalan.
Baru-baru ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa Covid-19 mungkin tidak akan pernah hilang, sama seperti penyakit mematikan lainnya, yaitu HIV dan ebola.
Meski saat ini pakar kesehatan dan ilmuwan berlomba mengembangkan vaksin dan obat yang berpotensi menyembuhkan Covid-19. Namun, mereka belum yakin apakah akan ada yang berhasil atau tidak.
Presiden Jokowi, mulai gamang. Ia mulai berpikir hal wajar apa semestinya yang dilakukan di ketika kita dihadapkan dengan kenyataan yang dikatakan WHO. Sehingga Presiden Jokowi pun mulai melonggarkan PSBB dan mengumumkan berdamai dengan corona.
Jika kita masih bermusuhan dengan corona, menebar perang dan menimbulkan ketakutan berlebihan maka kita akan menjadi bangsa yang kelelahan. Di ketika itulah kita pun bisa menjadi korban bersamaan. Jika tidak karena corona pastilah karena kemerosotan ekonomi dan sosial bahkan spiritual.
Oleh karena itu tenang saja. Cobalah menjadikan pandemik ini sebagai ibrah. Mencari pelajaran dan hikmah di balik kejadian. Cobalah menciptakan “Me Time” untuk menepi sejenak memaknai pesan cinta apa yang Allah sisipkan dengan kejadian corona ini. Barangkali kita memang sudah amat terlena dengan dunia dan logika, sehingga lupa menyibukkan diri kepada pemilik kehidupan dan semesta ini yang membuat kita pun kehilangan “rasa”.
Me time akan menghindarkan orang dari panik, lalu menumbuhkan kesadaran bahwa tak ada kejadian terjadi tanpa campur tangan Allah.
“Setiap bencana yang menimpamu di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri semua telah dituliskan di dalam kitab (lauh Mahfudz) sebelum kami mewujudkannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah,” QS Al Hadid.
Sejatinya Allah telah tanamkan pada tiap-tiap manusia apa yang disebut oleh Daniel Gilbert dengan istilah “kelenturan psikis”. Kelenturan psikis dimaksud adalah kemampuan alamiah manusia untuk beradaptasi dengan keadaan dan situasi sulit apapun. Wabah corona bukan satu-satunya kejadian yang mematikan. Tetapi kehidupan tak pernah berhenti. Manusia akan mampu melewatinya.
Ketika Musa pertama kali menerima Wahyu di sebuah bukit, betapa Musa panik dan ketakutan luar biasa. Maka, Allah kemudian memuat keadaan itu di dalam Al Qur’an QS Al Qasas. Allah meminta Musa untuk tidak takut, agar tenang. Lalu Allah meminta Musa menggunakan kedua tangannya untuk mendekap dadanya.
Pertanyaanya kenapa diminta Allah mendekap dada dengan tangan? Di situ tak semata jantung atau hati (heart) tempat semua “rasa” diciptakan tetapi pula ada kelenjar timus yang jika diketuk-ketuk ringan akan membuatmu menjadi lebih nyaman. Jadi menjadi tenang, adalah syarat untuk dapat berdamai dengan apapun.
Tetapi berhati-hatilah kemudian agar tidak terjebak ke dalam kesombongan bertuhan. Kesombongan adalah menjerumuskan. Corona tak serta merta dapat dipandang remeh temeh. Karena itu mengawinkan protokol kesehatan dan protokol Tuhan adalah cara tepat dan dapat dilakukan dalam keadaan kita memilih untuk mengambil sikap berdamai. Tak usah mencela mesjid yang tetap menggelar salat Jumat. Sama tak perlunya meremehkan fungsi masker dan sanitizer.
Ingatlah kata Allah di dalam Al Qur’an, “Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu. Dan jangan juga terlalu gembira terhadap apa yang diberikannya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.”
Maka berdamailah. Tetaplah dalam ikatan perkawinan protokol kesehatan dan protokol Tuhan sehingga masa pandemik yang tak jelas ujung akhir ini dapat dilewati dengan rasa damai dan bahagia. Karena boleh jadi virus corona tak akan pernah hilang, namun denyut kehidupan tetap dilanjutkan.

Tinggalkan Balasan