BANJARMASIN, klikkalsel.com – Dahulu ada sebutan Bagau di Kota Banjarmasin yang sangat identik dengan bisnis prostitusi pemuas hasrat lelaki hidung belang.
Diungkapkan Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Mansyur, istilah Bagau itu menyimpan catatan sejarah panjang yang merupakan nama kampung tua di Banjarmasin.
“Idwar Saleh dalam risetnya Banjarmasih, memaparkan Kampung Bagau mulai muncul dalam catatan historis sejak Abad ke 19,” ujarnya, Minggu (18/9/2022).
Pada abad itu, dalam budaya suku Dayak kebiasaan ngayau dan sebagainya belum dapat dihapuskan di wilayah Borneo.
Karena itu, terkadang kebiasaan tersebut menjadi ancaman keamanan kampung-kampung di wilayah Borneo bagian selatan dan timur (sekarang Kalimantan Tengah).
Dengan kondisi tidak aman itu, maka seorang penduduk Kampung Mandomai di Kalimantan Tengah dengan seluruh keluarganya pindah ke Banjarmasin.
“Kampung Mandomai yang dimaksud diperkirakan wilayah Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah sekarang,” jelasnya.
“Perpindahan tempat itu, disebut dengan istilah Migran,” sambungnya.
Keluarga yang berpindah itu dipimpin oleh seorang kepala keluarga bernama Rajam. Ia dan keluarganya memiliki wilayah otonom, yakni sebuah anak sungai yang merupakan bagian dari anak Sungai Martapura. Tepatnya di seberang Teluk Tiram.
“Oleh Rajam, sungai itu diberi nama Sungai Bagau. Gau dalam Bahasa Dayak artinya cari (mencari yang belum ada). Jadi Sungai Bagau artinya Sungai Bacari dalam pengertian sungai tempat mencari rezeki untuk hidup,” jelasnya.
Keterangan ini, kata Mansyur benar adanya. yang mengutip dari Sumber sezaman, Tijdschrift voor Neerland’s Indie (Jurnal Hindia Timur) tahun 1838 yang mencatat bahwa dalam tiga jam perjalanan melewati sungai akan mencapai wilayah Kampung Banjar.
“Cuma sebelumnya akan melewati wilayah Kampung Dayak (Daijaksche campongs) yakni Besserie (Basirih), Bagaauw (Bagau) dan Bahauer (Bahaur), yang terletak di tepi sungai,” tuturnya.
Baca Juga : Tradisi Bubur Asyura Lekat Dengan Nilai Sejarah dan Kebersamaan
Baca Juga : Pesawat Pertama di Langit Borneo, Caudron dan Ambisi Poulet Terbang Dua Benua (bagian 2-habis)
Lebih lanjut, jelas Mansyur, pada jurnal tersebut juga dipaparkan, di tahun 1838 kampung-kampung di wilayah ibukota Banjarmasin (Kota Guber-nemen) adalah Kampung Cina, Kampung Loji, Antasan Besar, Amarong, dan Dekween yang meliputi Kampung Gayam, Banyiur, Antasan Kecil, Rawa Kween, Binjai, Jawa Baru, Sungai Baru, Pekapuran, Kelayan Besar, Bagau, Bahaur, Basirih dan van Thuijl. Jumlah penduduknya sekitar 3000 jiwa.
Dalam kamus bertitel Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van Neder-landsch Indie, tahun 1861 yang direpro ulang oleh VJ Veth tahun 1869 juga memaparkan wilayah Bagaauw (Bagau) adalah kampung utama yang menjadi wilayah Banjarmasin.
“Diperkirakan Sungai Bagau, pada awal abad ke -20, menjadi tempat sakral. Wajar jika pada saat Amir Hasan Kiai Bondan dalam bukunya Suluh Sedjarah Kalimantan, memposisikan Muara Bagau sebagai tempat keramat pertama dari 20 tempat khusus yang dihuni oleh orang gaib di wilayah Banjarmasin dan sekitarnya,” terangnya.
Jika dilihat dari segi lokasi lumayan strategis, wilayah Bagau pada masa Hindia Belanda difungsikan sebagai tempat penyimpanan bahan bakar bensin.
Sebelum masuknya Jepang ke Kota Banjarmasin pada 8 Februari 1942, lokasi ini dibumihanguskan sehingga menjadi lautan api.
“Pasar Baru, Ujung Murung, Pasar Sudimampir dan Pasar Lima dibakar.Termasuk penyimpanan bensin di Banua Anyar dan Bagau pun ikut musnah,” terangnya.
Pada kedua wilayah Banua Anyar dan Bagau, kata Mansyur, memang menjadi tempat penimbunan kaleng-kaleng minyak tanah, minyak pelumas, bensin, serta bahan bakar pesawat. Selain itu, karet di gudang-gudang Mac Laine & Watson di Ujung Murung, bangunan Fort Tatas juga ludes dilalap si jago merah.
Dalam perkembangannya, pasca kemerdekaan, letak geografis Provinsi Kalimantan Selatan yang strategis terhadap akses perdagangan barang dan jasa antar pulau menjadikan pendorong maraknya praktek pelacuran di Kalimantan Selatan, khususnya kota Banjarmasin. wilayah Bagau beralih fungsi menjadi lokalisasi.
“Sayangnya, belum didapatkan data pasti kapan dimulainya bisnis seksual di wilayah ini. Majalah Tempo volume 5 tahun 1975, hanya menuliskan pernyataan pejabat PLN Banjarmasin, Daud, bahwa hampir seluruh kampung di Kota Banjarmasin sudah bermain dengan kerlap-kerlip cahaya listrik. Bahkan kompleks WTS Bagau pun di tahun 1975 bakal dapat giliran pemasangan listrik,” ungkapnya.
Dari memori pelaksanaan tugas Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan tahun 1980, kata Mansyur tercatat Wanita Tuna Susila (WTS) di Kalimantan Selatan berjumlah 615 orang dan mucikari sekitar 100 orang.
Dari jumlah ini yang terbanyak terdapat di Kotamadya Banjarmasin (Lokalisasi Bagau) dan Lokalisasi Pembatuan, Kabupaten Banjar.
“Hingga April 1980 Lokalisasi Bagau mengalami kebakaran hebat. Hingga Sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1990 lokalisasi ini ditutup,” ungkapnya.
Kemudian, Mansyur juga menjelaskan dalam risetnya (2003) milik Nuryana menuturkan lokalisasi wanita tuna susila Ria Bagau dilarang beroperasi mulai tahun 1990, berdasarkan Peraturan Daerah.
Dari data tahun 1990, jumlah jumlah WTS adalah 287 orang dengan jumlah germo 18 laki laki dan 7 orang perempuan.
Walaupun demikian, lokalisasi ini masih tetap beroperasi dalam senyap. Karena itulah, pada tahun 1991 Lokalisasi Bagau di tutup secara resmi oleh Pemerintah Daerah Kotamadya Banjarmasin.
“Sebelumnya lokasi tersebut juga sempat menjadi perdebatan publik di kalangan masyarakat, karena atas keberadaannya itu yang sangat bertentangan dengan keyakinan Agama Islam,” pungkasnya. (airlangga)
Editor: Abadi