TAK banyak yang tahu tentang Kayu Tangi Ujung kawasan jalan Hasan Basrie . Jalan itu sekarang ramai. Tapi puluhan tahun lalu, ada warung kecil yang hanya bertahan enam malam. Bukan karena rugi, tapi karena pelanggan-pelanggannya tak seharusnya datang.
Di awal tahun 90-an, kawasan Kayu Tangi Ujung di Banjarmasin masih lengang. Gelap saat malam, hanya sesekali dilewati kendaraan yang melintas menuju Kalimantan Tengah. Di situlah seorang pria bernama Karyo (bukan nama sebenarnya) memulai lembaran baru hidupnya.
Karyo, mantan karyawan swasta yang memutuskan pensiun dini, memilih berjualan nasi goreng. Tekadnya bulat, dan ingin sukses dengan berdagang. Ia membeli kompor, wajan besar, bahan makanan, dan menyewa gerobak kecil. Semua tabungan dikerahkan.
Ia sempat mencari tempat strategis. Tapi kawasan A. Yani terlalu ramai dan melarang pedagang kaki lima. Pasar Lama dan Kamboja mahal dan sempit.
Akhirnya, ia memilih Kayu Tangi Ujung. Sepi, namun berada di jalur lintas provinsi di mana pada masa itu tempat orang-orang kelelahan singgah, pikirnya.
Hari-hari awal jualan, tak ada yang datang. Malam-malam panjang dilewati dengan menatap lampu jalan dan suara jangkrik yang bersahut-sahutan. Tapi Karyo bertahan. Ia percaya, suatu saat akan ada pelanggan yang datang.
Dan benar, di malam keenam, sebuah mobil tua dengan plat nomor Palangka Raya berhenti perlahan di depan warungnya. Karyo yang kala itu duduk termenung langsung berdiri dan tersenyum. Dari dalam mobil, turun sepasang suami istri dan anak kecil.
Namun sesuatu terasa tidak beres. Wajah mereka sangat pucat, seakan tak ada darah mengalir. Mata mereka kosong, pandangannya tajam tapi tanpa nyawa. Tanpa banyak bicara, mereka duduk dan memesan nasi goreng. Karyo berusaha tetap ramah, menyiapkan pesanan dengan cepat.
Saat ia kembali membawa piring, yang siap disajikan untuk ketiganya, mereka malah menghilang.
Tak ada jejak. Tak ada suara. Makanan masih di tangannya, hangat. Dan Karyo membeku namun ia mencoba menenangkan diri. āMungkin tadi aku ngelamun,ā katanya dalam hati.
Namun malam itu belum berakhir. Sekitar pukul 11 malam, tiga mobil datang hampir bersamaan. Dari dalamnya ke luar belasan orang. Mereka tampak seperti peziarah atau rombongan keluarga. Tanpa banyak bicara, mereka duduk dan memesan makanan.
Baca Juga :Ā Asal Mula Nama Desa Dalam Pagar, Berawal dari Sebidang Tanah Datu Kelampayan
Baca Juga :Ā Kisah Nyata : Pulang Mudik Bertemu Gerombolan Sosok Menyeramkan
Kali ini, Karyo sedikit ragu. Tapi melihat banyaknya orang, ia berpikir tak mungkin semuanya bukan manusia.
Ia memasak dengan cepat. Asap nasi goreng mengepul memenuhi udara malam. Makanan disajikan, dan mereka mulai melahap dengan lahap. Tapi saat Karyo berbalik sebentar ke arah gerobak, suara makan itu berhenti.
Ia menoleh semua kursi kosong. Dan makanan di piring pun masih utuh. Tapi kini terlihat berlendir, seperti sisa makanan yang sudah membusuk berhari-hari. Aroma anyir menusuk hidung.
Tangannya gemetar. Keringat dingin mengalir deras di punggung. Karyo menatap warung kecilnya, kini terasa asing dan dingin. Ia tak kuat lagi. Ia ingin menyerah. Ingin pulang.
Namun sebelum sempat mengemasi dagangannya, seorang lelaki tua berjalan pelan dari arah gelap jalan. Wajahnya teduh, sorot matanya hangat. Ia memesan nasi goreng bukan untuk dimakan di tempat, tapi dibungkus untuk istri dan anaknya.
Karyo, yang hampir menangis, mengemas lima bungkus nasi dengan tangan gemetar.
āIni gratis, Pak dan mungkin yang terakhir,ā ujarnya lemah.
Lelaki tua itu tersenyum samar. āTerima kasih atas kebaikanmu, Nak. Tapi tempat ini bukan untukmu. Ini bukan tempat untuk usaha buat mu. Cobalah berkebun atau beternak. Kau akan lebih tenang.ā
Kemudian ia berjalan pergi dan menghilang di balik malam, tanpa suara. Keesokan harinya, Karyo menjual seluruh peralatan warungnya. Ia kembali ke Pelaihari, ke kampung halaman. Lima tahun kemudian, ia hidup tenang sebagai petani dan peternak kecil. Ia tak pernah lagi membuka warung nasi goreng. (azka)
Editor : Akhmad