BANJARMASIN, klikkalsel.com – Di tengah derasnya arus modernisasi, masyarakat Banjar di Kalua, Kabupaten Tabalong , Provinsi Kalimantan Selatan dan beberapa daerah lain masih memegang teguh tradisi mistis yang sarat makna spiritual.
Yaitu, malabuh. Ritual ini menurut budaya Banjar melibatkan praktik memberi makan kepada buaya gaib penghuni sungai dan merupakan makhluk yang dipercaya memiliki hubungan langsung dengan sosok sufi, Nabi Khidir.
Sejarawan UIN Antasari Banjarmasin, Mursalin, dalam tesisnya Buaya Gaib dalam Perspektif Urang Banjar Batang Banyu (2016) menjelaskan, kalau masyarakat Kalua meyakini keberadaan buaya gaib bukan sekadar mitos, melainkan bagian dari sistem kepercayaan yang hidup dan diwariskan lintas generasi.
“Dalam budaya Banjar Batang Banyu, buaya gaib dianggap sebagai anak buah dari Nabi Khidr,” ujat Mursalin.
Hubungan ini tak hanya simbolis, tetapi juga spiritual. Karena itu, ritual malabuh dilakukan dengan khidmat dan penuh penghormatan.
Salah satu bagian paling sakral dari ritual itu adalah pembacaan mantra, yang menyebut langsung nama Nabi Khidr.
“Assalamu’alaikum Nabi Khaidir, ulun handak mambari anak buah sampian nang di dalam banyu, capat ditarima ini malam.” jelasnya.
Baca Juga : Sejarah Kelam Pelacuran di Banjarmasin Era 1960-an
Baca Juga : Cerita Kelam Pembunuhan Mangkauk, Delapan Pelaku Sudah Divonis, Dua Masih Buron
Mantra ini diucapkan oleh pemuka adat atau orang yang dituakan dalam komunitas, sebagai bentuk permohonan izin dan penghormatan sebelum makanan dilepaskan ke sungai.
Menurut Mursalin, ritual itu tidak hanya menjadi sarana komunikasi spiritual antara manusia dan alam gaib, tetapi juga mencerminkan cara masyarakat Banjar menjaga keseimbangan dengan lingkungan mereka.
“Ritual malabuh adalah bentuk kearifan lokal yang menunjukkan bagaimana masyarakat memahami relasi antara yang tampak dan yang tak tampak. Ini adalah warisan budaya yang harus dihargai,” tuturnya.
Meskipun dianggap mistis, kepercayaan terhadap buaya gaib dan Nabi Khidr tetap hidup berdampingan dengan ajaran Islam yang dianut kuat oleh masyarakat Banjar. Tradisi ini menjadi cerminan sinkretisme budaya dan agama dekat dengan tasawwuf.
Dengan semakin terbatasnya generasi muda yang memahami ritual ini, Mursalin berharap ada upaya pelestarian budaya lokal.
“Tujuannya agar nilai-nilai spiritual dan historis seperti malabuh tidak hilang ditelan zaman,” pungkasnya. (airlangga)
Editor: Abadi