BANJARMASIN, klikkalsel.com – Tak banyak yang tahu bahwa dibalik hiruk-pikuk Jalan Jati, di kawasan Kecamatan Banjarmasin Tengah, pernah berdiri sebuah pemukiman yang menjadi pusat aktivitas pelacuran gelap di era 1960 hingga 1970-an.
Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin Mansyur mengatakan, lokasi yang dikenal masyarakat sebagai “Tiung” itu menyimpan sejarah kelam tentang dinamika sosial ekonomi masyarakat urban pada masa itu.
“Tiung, yang awalnya adalah kawasan pekuburan Tionghoa, berkembang menjadi area padat penduduk dengan sekitar 200 rumah berdiri di dua gang utama yakni Gang Sepakat dan Gang Sempurna,” ujarnya, Selasa (13/5/2025).
Di balik tembok-tembok rumah itulah, praktik prostitusi tersembunyi menggeliat tanpa legalitas, namun terus tumbuh karena tingginya permintaan dan minimnya pengawasan.
“Tiung bukan lokalisasi resmi, tapi sudah seperti kawasan pelacuran terselubung yang terkenal di zamannya. Laki-laki dari berbagai penjuru datang ke sana untuk mencari hiburan malam,” jelasnya.
Menurut Mansyur, fenomena Tiung menunjukkan bagaimana faktor ekonomi mendorong banyak perempuan muda dari daerah sekitar Banjarmasin, seperti Barabai dan Martapura, datang ke kota besar untuk mengadu nasib.
Salah satu yang tercatat dalam wawancara sejarah adalah Rukayah, seorang wanita asal Barabai yang memutuskan menetap di Gang Sepakat. Dalam catatan Ramli Nawawi (1986), Rukayah mengaku datang ke Banjarmasin demi membantu beban ekonomi orang tuanya, namun akhirnya terjerat dunia malam.
Selain Tiung, ada pula kawasan lain yang menjadi pusat aktivitas serupa, yakni Pasar Kupu-Kupu di belakang gedung RRI lama Jalan Lambung Mangkurat, lokasi yang kini menjadi Cafe Hutan Kota.
Tempat ini juga mencapai puncak popularitasnya pada pertengahan 1960-an.
“Sejarah semacam ini penting diungkap bukan untuk menghakimi, tapi untuk memahami bagaimana struktur sosial, urbanisasi, dan tekanan ekonomi membentuk pola kehidupan masyarakat kota di masa lalu,” tegas Mansyur.
Kini, jejak fisik kawasan Tiung nyaris tak bersisa. Jalan Jati telah berubah, seiring dengan perubahan wajah Banjarmasin yang kian modern. Namun, sejarah kawasan tersebut tetap hidup dalam ingatan kolektif masyarakat.
“Menjadi catatan para sejarawan sebagai pelajaran tentang kompleksitas dinamika kota dan manusia yang menghuninya,” pungkasnya. (airlangga)
Editor: Abadi