Supeltas, Diantara Pro dan Kontra

Keberadaan Supeltas yang mencari nafkah dengan cara mengatur lalulintas, ternyata menuai pro dan kontra. (foto : syarif wamen/klikkalsel)

TERIK matahari yang menyengat tak menyurutkan semangat seorang pria paruh baya. Dengan tegap berseragam celana coklat, berlindung dari panas menggunakan topi hitam, baju kaos dibalut rompi polisi, justru pria itu terlihat bagaikan polisi lalulintas yang mengatur pengendara baik roda dua maupun roda empat di perempatan lampu merah Sungai Andai, Banjarmasin Utara.

Keberadaan Supeltas yang mencari nafkah dengan cara mengatur lalulintas, ternyata menuai pro dan kontra. (foto : syarif wamen/klikkalsel)

Keringat mengucur deras dari tubuh hingga membasahi pakaian yang dikenakannya, tentu bukan pekerjaan ringan. Selain melawan panasnya matahari, pria itu pun juga terpaksa menahan debu jalanan.

Abdan, begitu pria itu biasa disapa, sosok Sukarelawan pengatur lalulintas (Supeltas) yang cukup familiar bagi pengendara yang kerap melintas di perempatan ini.

Sudah dua tahun Abdan menjalani profesi ini, jam tugasnya biasanya dari pukul 08.00 Wita hingga pukul 19.00 malam. Tak banyak rupiah yang dikantonginya untuk dibawa pulang.

Namun paling tidak mampu membuat dapurnya ngepul dan memberikan uang saku ala kadarnya untuk sekolah anaknya.

“Gak banyak, rata-rata Rp30 sampai Rp50 ribu saja sehari, tapi kadang ada orang baik yang ngasih dalam jumlah lumayan besar, anggap saja bonus,” ujarnya saat ditemui klikkalsel disela istirahatnya.

Ada yang bilang atas jasanya dan rekannya kemacetan di perempatan ini bisa terurai. Namun ada juga yang bilang justru karena merekalah banyak kesemrawutan terjadi di persimpangan.

Dengan dalih lebih mendahulukan mobil atau motor yang memberikan uang, akibatnya ada sebagaian masyarakat yang kontra dengan profesi itu.

“Mereka sangat membantu, rela kehujanan kepanasan. Seharusnya polisi yang bersikap seperti mereka,” ujar salah satu pengguna jalan yang melintas.

Sembari menikmati sebatang rokok dan sesekali meneguk air putih yang dibawanya dari rumah, Abdan bercerita tentang profesinya itu.

Menurutnya, dirinya tak sekadar mengatur lalulintas secara asal-asalan, dirinya dan beberapa rekannya pernah mendapatkan pelatihan dasar pengaturan lalu lintas dan diberi rompi khusus dari kepolisian karena dianggap mitra.

“Bahkan kita juga diajarkan yang mana yang menjadi prioritas di jalan raya,” kisahnya.

Saat sedang melakukan tugasnya, sering kali dia dihadapkan pada pengguna jalan yang terburu-buru hingga yang bandel tak mentaati aturan.

Namun dirinya tak pernah marah, diakuinya dirinya hanya berniat membantu, tapi jika ada yang merasa keberaran dibantu, maka dia sabar saja.

“Dari sini juga saya belajar tentang mengendalikan diri, tentang menghargai,” ucapnya.

Diakuinya ada satu kepuasan yang didapat yang setelah kemacetan benar-benar dapat terurai. Kadang hal itu yang membuatnya rela pulang kerumah lebih larut dari biasa.

“Ada kepauasan tersendiri dalam profesi ini, entah sampai kapan saya akan menjalaninya,” seraya berpamitan untuk melanjutkan tugasnya mengatur lalu lintas.

Memang image Supeltas atau disebagian wilayah lain lebih dikenal dengan sebutan polisi cepek sekarang lebih cenderung negatif, karena kesalahan beberapa oknumnya.

Namun ingat, tidak semua akan berperilaku seperti itu, bahkan banyak dari mereka yang rela tidak dibayar. Berguna atau merugikannya mereka tergantung pada presepsi masing-masing.(david)

Editor : Amran

Tinggalkan Balasan