Sejarah Panjang Lokasi Prostitusi “Bagau” Banjarmasin, Sempat Ada 600 PSK

Lokasi Sungai Bagau (Bagao) dalam Peta Schetskaart van de Hoofd-plaats Bandjermasin en Omliggend Terrein, 1916, oleh H.P. Loing (Mansyur)

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Wilayah Bagau, yang kini lebih dikenal sebagai bekas lokalisasi prostitusi terbesar di Kalimantan Selatan (Kalsel), ternyata menyimpan catatan sejarah panjang yang jarang diketahui publik.

Dari kampung tua Dayak hingga menjadi pusat bisnis esek-esek, transformasi wilayah ini mencerminkan dinamika sosial dan ekonomi Banjarmasin dalam lintasan waktu hampir dua abad.

Menurut sejarawan Universitas Lambung Mangkurat, Mansyur, nama Bagau sudah muncul dalam arsip Belanda sejak abad ke-19.

“Bagau berasal dari kata ‘Gau’ dalam bahasa Dayak yang berarti mencari. Jadi, Sungai Bagau dulunya adalah tempat mencari nafkah bagi komunitas pendatang Dayak dari Mandomai, Kalimantan Tengah (Kalteng),” jelasnya, Rabu (28/5/2025).

Pada masa kekacauan akibat praktik Ngayau atau perburuan kepala yang lazim di Borneo kala itu, sekelompok masyarakat Dayak yang dipimpin Rajam hijrah ke Banjarmasin. Mereka bermukim di sekitar anak Sungai Martapura yang kemudian dinamai Sungai Bagau.

“Catatan kolonial seperti Tijdschrift voor Neerland’s Indie 1838 dan Aardrijkskundig Woordenboek 1861 menyebutkan, Bagau sebagai salah satu kampung penting di ibukota Banjarmasin,” ungkapnya.

Bagau tak hanya dihuni masyarakat Dayak, tetapi juga dianggap sakral. Dalam buku Suluh Sedjarah Kalimantan karya Amir Hasan Kiai Bondan, Muara Bagau disebut sebagai salah satu tempat keramat yang dihuni orang gaib.

“Bahkan, pada awal abad ke-20, kawasan ini dikenal sebagai habitat buaya ganas,” ungkapnya.

Harian Soerabaijasch Handelsblad edisi 12 Mei 1906 melaporkan serangan buaya di muara Sungai Bagau yang menewaskan beberapa warga.

Di era kolonial Belanda, Bagau dimanfaatkan sebagai lokasi penyimpanan bahan bakar strategis. Namun, ketika Jepang menyerbu Banjarmasin pada 8 Februari 1942, fasilitas-fasilitas tersebut dibumi hanguskan.

Bersama Pasar Baru dan Fort Tatas, gudang-gudang bahan bakar di Bagau dilalap api untuk mencegahnya jatuh ke tangan musuh.

Baca Juga : Sejarah Kelam Pelacuran di Banjarmasin Era 1960-an

Baca Juga : Rumah Anno Kini Bertransformasi Jadi Banjarmasin Culture Hub

Lompatan besar dalam sejarah Bagau terjadi pada dekade 1970-an. Setelah kebakaran hebat di Lokalisasi Tiung, pemerintah daerah memindahkan kegiatan pelacuran ke Bagau. Mulai 1970, kawasan ini resmi dijadikan lokalisasi wanita tuna susila (WTS) atau pekerja seks komersil (PSK).

Majalah Tempo edisi 1975 mencatat, kawasan ini bahkan sudah dialiri listrik, tanda legalisasi aktivitas yang terjadi di sana.

“Dari data pemerintah 1980, tercatat ada lebih dari 600 WTS dan 100 mucikari, sebagian besar beroperasi di Bagau dan Pembatuan,” jelas Mansyur.

Bagau mengalami masa kejayaan sebagai pusat lokalisasi terbesar di Kalsel. Namun, tragedi kembali melanda pada April 1980, ketika kebakaran besar menghanguskan sebagian besar bangunan di kawasan tersebut.

Hingga kini, menyebut nama Bagau masih menimbulkan konotasi negatif di tengah masyarakat. Padahal, kata Mansyur, perlu ada kesadaran sejarah bahwa Bagau lebih dari sekadar tempat pelacuran.

“Ia (Bagau,red) adalah saksi bisu perjalanan panjang urbanisasi, migrasi, dan dinamika sosial Banjarmasin,” pungkasnya. (airlangga)

Editor : Akhmad