BANJARMASIN, klikkalsel.com – Kota Banjarmasin menyimpan jejak kelam sejarah sosial yang jarang diungkap. Yakni maraknya praktik pelacuran akibat krisis ekonomi dan keterpurukan sosial di era 1960-an.
Mansyur, sejarawan Universitas Lambung Mangkurat (ULM) menceritakan, pada tahun 1965 menjadi masa yang berat bagi masyarakat Indonesia, termasuk di Kalimantan Selatan. Gejolak inflasi yang tinggi membuat harga kebutuhan pokok melonjak tajam.
Di tengah ketidakstabilan itu, masyarakat desa dengan latar pendidikan rendah dan jumlah keluarga besar menjadi kelompok yang paling terpukul.
āImpian hidup lebih baik di kota justru menjerumuskan sebagian perempuan desa ke jalan gelap,ā ujarnya, Rabu (7/5/2025).
Menurut Mansyur, gelombang urbanisasi yang masif ke Banjarmasin dipicu oleh harapan masyarakat desa untuk meraih kehidupan lebih layak di kota. Namun, kenyataan yang mereka hadapi justru jauh dari harapan.
Ketiadaan keterampilan dan pendidikan yang memadai membuat perempuan desa kesulitan memperoleh pekerjaan layak di kota.
Banyak dari mereka akhirnya memilih jalan pintas yaitu menjadi pelacur demi menyambung hidup.
āMereka tinggal di kompleks-kompleks sempit, berdesakan, dengan kondisi serba kekurangan. Lingkungan seperti itu menjadi lahan subur bagi praktik prostitusi,ā jelas Mansyur.
Ia menambahkan, meskipun sebagian besar pelacur saat itu mengaku terpaksa karena faktor ekonomi, tak sedikit pula yang melakukannya karena pengaruh lingkungan atau bahkan sekadar coba-coba.
Baca Juga :Ā Menuju Momen Bersejarah Banjarbaru, Pemkot Banjarbaru Gelar Rakor Finalisasi Hari Jadi ke-26 Digelar Meriah
Baca Juga :Ā Kampus Perjuangan: Sejarah Panjang Universitas Lambung Mangkurat
āMirisnya, ada yang terjerumus karena terpengaruh teman sedaerah yang tampak sukses setelah ke kota, padahal hidup mereka juga sebenarnya rapuh dan penuh sandiwara,ā katanya.
Fenomena ini, menurut Mansyur, bukan sekadar cerita lama yang layak dilupakan, tetapi menjadi cermin sosial yang penting untuk dipahami.
āKetika negara gagal menyediakan perlindungan ekonomi dan akses pendidikan, masyarakat rentan jatuh pada pilihan-pilihan ekstrem,ā tegasnya.
Sejarah pelacuran pasca-kemerdekaan di Banjarmasin menunjukkan bahwa perjuangan masyarakat tidak hanya melawan penjajahan, tetapi juga melawan kemiskinan, ketimpangan, dan realita kehidupan yang keras.
āIni bagian dari sejarah sosial yang harus diakui, agar tidak terulang di masa depan,ā imbuhnya.
Di balik geliat pembangunan Kota Banjarmasin pada era 1960 hingga 1970-an, terdapat sejarah kelam yang tak banyak dikenal generasi kini. Di Jalan Jati, tepatnya di kawasan pekuburan Cina bernama Tiung, pernah berdiri sebuah pemukiman yang berkembang menjadi kawasan pelacuran gelap.
Lokasi itu dikenal luas masyarakat saat itu sebagai Tiung, sebuah nama yang melekat pada dunia malam kota seribu sungai.
Menurut Mansyur, Tiung awalnya hanyalah kawasan pemukiman padat yang berada di sekitar dua gang, yakni Gang Sepakat dan Gang Sempurna.
Di sanalah dibangun lebih dari 200 rumah yang kemudian menjadi tempat beroperasinya praktik pelacuran tersembunyi.
“Tiung bukan tempat pelacuran resmi atau yang terlokalisasi seperti yang dikenal di tempat lain. Aktivitas ini muncul secara perlahan, bermula dari rumah-rumah warga yang disalahgunakan, hingga akhirnya menjadi magnet bagi lelaki pelesir,” jelas Mansyur.
Ia menambahkan, para wanita yang bekerja di kawasan itu umumnya berasal dari wilayah sekitar Kalimantan Selatan, datang dengan harapan memperoleh pekerjaan layak di kota.
Salah satunya adalah Rukayah, wanita asal Barabai yang pernah diwawancarai peneliti sosial Ramli Nawawi pada 1986.
Rukayah mengaku datang ke Banjarmasin demi membantu beban orang tuanya, namun terjerat realitas pahit dan akhirnya terlibat dalam dunia pelacuran.
“Fenomena ini bukan sekadar soal ekonomi, tapi juga gambaran minimnya perlindungan sosial dan ketimpangan yang terjadi pada masa itu,” lanjut Mansyur.
Selain Tiung, lokasi pelacuran lain yang tak kalah terkenal adalah Pasar Kupu-Kupu di belakang RRI lama di Jalan Lambung Mangkurat, yang kini dikenal sebagai kawasan Cafe Hutan Kota.
Kawasan itu juga sempat mencapai puncak aktivitasnya pada pertengahan dekade 1960-an.
āMelihat kembali sejarah seperti ini bukan untuk membuka luka, tapi agar kita bisa belajar dan memastikan hal serupa tidak terulang,ā pungkasnya. (airlangga)
Editor: Abadi