Mata Pelajaran Sejarah Fungsinya Sebagai Pembangun Identitas Nasional

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Rencana penyederhanaan kurikulum oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dengan mereduksi mata pelajaran sejarah menuai berbagai respon.

Dosen Sejarah dan Pasca IPS FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Kalimantan Selatan (Kalsel) Dr. M. Z. Arifin Anis. M.Hum, menerangkan, pendidikan sejarah sangat penting membagun Indonesia, sehingga perlu dijadikan mata pelajaran dibangku sekolah, apalagi sejarah merupakan identitas.

Menurut, Dosen ULM ini, di barat memang ada namanya berpikir historis, dimana caranya siswa berpikir sebagaimana sejarah fungsinya sebagai identitas.

“Jika sejarah dipelajari sebagai ilmu, maka kebenaran akan beragam,” ucapnya kepada klikalsel.com Jumat (2/10/2020).

Menurut Arifin Anis, semu apihak sadar harus bahwa pendidikan sejarah Indonesia bukan pendidikan disiplin ilmu sejarah. Kalau pendidikan disiplin ilmu, maka ilmu tidak untuk membangun semangat kebangsaan, identitas dan karakter bangsa.

Sejarah Indonesia adalah pendidikan perenialisme dan tujuannya adalah pada tujuan pendidikan bukan pada tujuan ilmu sejarah, ilmu tidak mengenal feelings tapi objektivitas, sedangkan pendidikan sejarah Indonesia, mengenal feelings dan merupakan tujuan penting.

“Ini penting untuk ke Indonesiaan,” katanya.

Oleh karena itu, mata pelajaran sejarah harus fundamental. Adapun revisi tersebut harus dilakukan mulai dari filosofis, desain kurikulum, konten pelajaran, implementasi pelajaran, dan evaluasi.

Pelajaran sejarah kata dia juga harus memperkuat filsafat rekonstruksi sosial, terutama dalam aspek kognitif siswa, yang mana selama ini mata pelajaran sejarah dalam kurikulum mengutamakan filsafat perenialisme dan esensialisme dengan niat mewariskan nilai-nilai masa lalu.

Kedua hal itu mengemas mapel sejarah dengan membesarkan masa lalu, padahal mempelajari sejarah tujuannya supaya anak bisa menghadapi masa kini.

Membesarkan masa lalu hanya membuat sejarah menjadi romantisme masa lalu saja. Karena itu, menyarankan untuk memperkuat filsafat rekonstruksi Sosial dalam mata pelajaran sejarah.

Berbicara desain kurikulum juga berbicara mengenai tujuan. Dalam hal ini, tujuan itu perlu diperbaiki untuk meningkatkan intelektual siswa, yang selama ini tujuan sejarah untuk diingat dan dihafal. Tapi lupa untuk memperkuat pemikiran siswa.

“Supaya anak bisa berpikir tingkat rendah dan tingkat tinggi,” ujarnya.

Dengan memperkuat cara berpikir, siswa dapat berimajinasi, ini nantinya akan membuahkan kreativitas dan menghasilkan sebuah karya. Jadi dalam pelajaran sejarah biarkan anak mengaji fakta, melakukan interpretasi dan kritik sumber. Ini modal baik untuk melatih anak berpikir kreatif.

Sedangkan dalam konten kurikulum, dalam hal ini, guru harus memperkaya konten dan membuatnya menarik supaya anak tidak bosan. Misalnya selama ini siswa diajarkan untuk menghafal nama raja hingga pergantian raja.

“Itu membosankan. Sejarah nasional terlalu terpaku pada politik dan great figure,” tuturnya.

Selain itu, pemerintah perlu memberikan kesempatan kepada guru-guru di daerah untuk menggali lebih dalam sejarah daerahnya, asalkan tidak menghilangkan pengajaran sejarah nasional yang harus diberikan.

“Bahkan keduanya bisa saling terhubung supaya Indonesia menjadi bangsa yang tidak amnesia sejarah,” pungkasnya.(airlangga)

Editor : Amran

Tinggalkan Balasan