KENAPA INDONESIA MASIH BUTUH PANCASILA dan KPK

Penulis : Khalikin Nor

Pernyataan Ketua KPK, Firli Bahuri dalam rangka menyambut Hari Lahir Pancasila, tahun 2020 lalu yang dimuat dalam situs resmi kpk.go.id sangat menarik untuk diulang kembali pada kesempatan ini. Sebab, ditengah polemik KPK nama Firli jadi kontroversial. Lalu, Apakah Firli masih konsisten menerapkan nilai Pancasila dan memberantas korupsi sebagaimana yang ia nyatakan setahun lalu itu? Atau justru malah sebaliknya?

Dalam sambutannya itu, Firli menterjemahkan sila pertama sampai kelima butir Pancasila. Menurut Firli, Pancasila adalah dasar negara dan semua harus mengamalkan nilai-nilai itu tanpa terkecuali. Namun, ketika terjadi korupsi yang dilakukan oleh warga negara, maka pelaku itu telah mengkhianati Tuhan sebagaimana Sila Pertama.

Ketuhanan yang Maha Esa, lanjut Firli, ia tafsirkan bahwa ketika seseorang itu korupsi, artinya orang tersebut telah melanggar perintah Tuhan sekaligus mengkhianati Pancasila.

Oleh karena itu, prilaku korup tidak hanya dibenci agama, tetapi juga menghalangi kemanusiaan untuk mengakses keadilan demi kehidupannya yang beradab sebagaimana sila kedua, yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Prilaku korup, terang Firli, terbukti menjauhkan akses keadilan bagi masyarakat dalam segala hal.

Mantan Kabaharkam ini juga menjelaskan bahwa korupsi menyebabkan persatuan Indonesia terkendala. Sebab, akibat anggaran yang dikorup, maka terjadi ketimpangan pembangunan karena anggarannya dicuri. Tentu saja, hal ini memyebabkan keresahan yang kemudian membuat kerentanan sosial khususnya di derah tertinggal makin timpang. Akibatnya, Sila Ketiga, Persatuan Indonesia terancam akibat ulah oknum korup tersebut.

Beberapa survey membuktikan. Seandainya anggaran itu tidak “dikentit” dapat dipastikan masyarakat yang berada di derah-daerah khususnya yang berada diluar Jawa dapat merasakan manfaatnya berupa pembangunan. Sebab, anggarannya utuh alias tidak dipotong karena prilaku koruptif. Sayangnya, karena dikorup, pembangunan jadi terkendala dan kesejahteraan pun masih sangat jauh. Contohnya adalah korupsi Bansos di Depsos.

Sila keempat dan kelima pun tidak berjalan karena sistem perwakilan yang dilakukan tidak sesuai keadilan sosial. Kerakyatan yang dipimpin dengan penuh hikmat tidak terwujud dengan berprilaku korup. Sebab, keterwakilan yang dimaksudkan seperti itu hanya bungkusan saja tanpa ada efek konkret bagi konstituen yang diwakilinya. Disinilah kekosongan makna sila keempat dan kelima menemukan alasannya.

Pria kelahiran Palembang ini lalu mengajak seluruh elemen masyarakat terus mengamalkan Pancasila dalam prilaku kesehariaan. Melalui momentum hari Kelahiran Pancasila 2020 lalu itu, ia berharap semua pihak tetap menjaga NKRI tanpa korupsi.

Menurut penulis, pernyataan Firli setahun lalu sangat berbeda dengan fakta yang terjadi khususnya pasca polemik Tes Wawasan Kebangsaan ASN pegawai KPK tahun 2021 ini. Sebagai Pimpinan KPK, publik bertanya keberpihakan Firli pada penguatan KPK sekaligus polemik yang terjadi pada lembaga anti Rasuah ini.

Polemik KPK sendiri bermula dari kejanggalan soal ketidaklulusan para penyidik dan penyelidik senior di KPK. Pasalnya, nama-nama yang tidak lolos seperti Novel Baswedan Dkk, diluar dugaan dinyatakan tidak lolos tes kebangsaan. Setelah ramai menjadi polemik, akhirnya diketahui mengapa Novel dkk tidak lolos sebagai ASN KPK.

Berbagai pro kontra atas kejadian tersebut pun hingga hari ini terus berlanjut. Tidak hanya Presiden Jokowi, tetapi kalangan akademisi turut bersuara membela pegawai KPK yang tak lolos tersebut.

Lalu, bagaimana sikap kita melihat polemik KPK ini? Apakah peringatan Hari Pancasila yang diperingati tiap tanggal 1 Juni mampu meredam beragam kepentingan yang kemudian menjadikan polemik ini berakhir? Atau sebaliknya, polemik KPK justru makin melebar menjadi bentuk perlawanan sosial dari masyarakat?

Penulis sendiri berpendapat bahwa negara secara institusi masih membutuhkan KPK. Kondisi hukum dan politik yang makin meruncing pada pragmatisme berlebihan mengharuskan KPK dikuatkan, bukan malah “diciutkan“. Namun, institusi tidak akan berguna apabila tidak diisi oleh orang yang memiliki integritas dan kredibilitas. Buat apa KPK terus ada jika ternyata lembaga itu tak punya taring seperti era sebelumnya? Buat apa punya KPK kalau korupsi makin menjadi dan terang berderang, bahkan di tubuh institusi KPK itu sendiri?

Begitupula Pancasila yang akhir-akhir ini terus mendapat tantangannya. Negara dan bangsa masih memerlukan Pancasila sebagai dasar negara. Kita tidak bisa membayangkan Indonesia tanpa Pancasila. Akan jadi apa Indonesia tanpa Pancasila. Negara bisa tumbuh dan besar dengan konflik yang berakar dari politik identitas dimana agama jadi salah satu sumber perpecahan.

Penulis sendiri menganalogikan Pancasila sebagai dasar dari segala-galanya bagi bangunan besar bernama rumah Indonesia. Karena itu, membumikan Pancasila serta mempedomani pasal demi pasalnya adalah tugas warga negara yang mencintai Indonesia tanpa tendensi apapun selain mencintainya. Karena, sikap itu sama dengan menjaga rumah Indonesia. Bukan sebaliknya, bersikap acuh tak acuh pada Pancasila bahkan tak hafal sila demi silanya.

Kesimpulannya, Pancasila dan KPK adalah bagian yang tak terpisahkan dan tidak boleh dipensiunkan dini di republik ini. Pancasila bagi KPK adalah spirit perjuangan. Begitu juga KPK bagi Pancasila adalah instrumen yang terus menjaga nilai-nilai yang terkandung di dalam butirnya.

Mari jaga Pancasila sekaligus jaga KPK
Sekali Layar Terkembang, Surut Kita Berpantang
Yakin Usaha Sampai…

Tinggalkan Balasan