Filsafat Menyikapi PSU

Oleh: Kadarisman
Pemerhati Politik Banua

Pilkada Gubernur Kalsel telah menyita banyak sumber daya. Harapannya PSU pada 9 juni 2021 lalu menjadi ruang untuk menyudahi perebutan kekuasaan yang kelak hanya dijalankan kurang lebih tiga tahun ke depan. Kebaikan yang lebih besar untuk masyarakat harus didahulukan, karena kesempatan dan diri kita memiliki keterbatasan.

Menyadari bahwa kita adalah terbatas menjadi penting. Jika tidak, kita terjerambab dalam kealfaan, bahwa ada Tuhan Maha Tidak Terbatas.

Merasa hebat, merasa ahli, kaya dan berkuasa membuat lupa bahwa semuanya akan diminta kembali oleh Maha Pemberi dan Pencipta.

Lupa bahwa diri ini terbatas kerap mengundang rasa takut. Takut kalah dalam pemilihan gubernur atau bupati misalnya. Takut kalau bisnis menjadi lumpuh bangkrut. Takut riset desertasinya gagal. Penguasa takut kalau-kalau kelompok agama jadi batu sandungan kekuasaan.

Padahal rasa takut adalah sumber penderitaan hidup. Takut adalah satu dari dua emosi dasar manusia yang melahirkan keputus asaan, kecemasan, kekuatiran, tidak bahagia, marah, nyinyir dll.

Semua emosi itu lahir dari perasaan tidak sadar bahwa kita serba terbatas lalu merasa mampu mengendalikan segalanya, padahal bahwa Tuhan lah yang tidak terbatas.

Lantas tak bolehkah kita merasa takut atau sedih? Begini, semesta ini adalah musik Ilahi. Kehidupan manusia bagai tariannya. Semuanya indah. Sakit juga indah. Duka cita juga indah. kekalahan juga keindahan. Semuanya adalah keindahan.

Tapi benarkah tidak ada rasa takut atau sedih sama sekali? Jawabnya ada, tapi nuansa yang tak sama: ketakutan muncul manakala bertentangan dengan aturan Tuhan. Kesedihan muncul mana kala khilap dalam larangan Tuhan.

Karena manusia diciptakan dengan keadaan lemah tak berani menentang Tuhan yang menjadi sandarannya secara total. Takut salah bersandar kepada selain Tuhan.

Jika dikaitkan dengan hasil PSU pemilihan gubernur Kalsel 9 Juni 2021 tadi, lantas apa sikap seorang politisi seharusnya?

Dalam konteks kehambaan, tak ada yang perlu dirisaukan. Karena semua ikhtiar telah dijalankan. Ikhtiar hukum, ikhtiar zahir, ikhtiar lahir bathin sudah pada titik maksimal. Jika sudah demikian hal harus dipahami adalah masuk ke dalam kehidupan yang sebenarnya dan bermukim dalam kehidupan Tuhan yang telah mengatur kehidupan.

Dalam tataran kehidupan berbangsa dan bernegara kehidupan ini diwarnai oleh dualisme: baik dan buruk. Selanjutnya ada benar dan salah, ada gembira dan kesedihan.

Tugas seorang politisi adalah menyeru dan mengedukasi konstituen kepada politik yang mendidik dan menjujung harkat serta martabat bangsanya sendiri. Jika kemudian masih terjadi kealfaan demokrasi, penyimpangan mekanisme dari yang seharusnya atau singkatnya kalah dalam pertandingan, maka itu menunjukkan betapa Allah Maha Berkuasa. Kita hanya diberi kesempatan untuk melakukan ikhtiar terbaik, tapi hasil akhir adalah mutlak urusan Allah. Jangan kemudian kita melawan Allah dengan tanpa sadar.

Kekalahan dalam kontestasi pilkada adalah kekalahan dalam tataran hukum alam. Kejadian kekalahan menitipkan pengajaran agar siapapun dapat mengambil substansi hikmahnya untuk masa depan yang lebih menjanjikan.

Kerap kali kekalahan menjadi tangga kemenangan. Kita tengok saja Presiden Amerika Serikat sekarang, Joe Biden. Dia seorang politisi yang akrab dengan kegagalan dalam politik. Hal paling menonjol bagaimana, Joe Biden gagal dua kali untuk menuju pencapresan negara adi daya tersebut pada tahun 1987 dan 2007.

Contoh yang lebih dekat, Bupati Tabalong saat ini, Anang Syakhfiani adalah orang yang pernah gagal dalam kontestasi pilkada. Kegagalan itu yang menjadikannya sebagai Bupati Tabalong sekarang.

Bupati Balangan sekarang, Abdul Hadi juga seornag yang pernah gagal hendak mengikuti pencalonan di masa lalunya.

Jadi kegagalan itu pun kebaikan. Hal yang bisa menjadi tidak baik kalau kita salah memberikan tafsir atau sebuah kejadian. Kemenangan adalah ujian, kekalahan adalah sebuah hikmah.

Cara Allah memberikan jalan kehidupan pada seseorang tak pernah salah. Karena boleh jadi harapan yang tak terpenuhi itu adalah keburukkan bagi kita. Apa yang Allah tetapkan atas kita justru itu lebih baik dari yang kita inginkan.

Restorasi Politik

Dalam bahasa fisafat, politik adalah ikhtiar untuk menjadikan kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Proses politik adalah mekanisme kemaslahatan dan kebaikan disamping juga mekanisme dalam bingkai aturan dan regulasi hukum.

Ketika hukum berbicara tentang hitam putih, salah dan benar, maka politik berbicara maslahat dan kebaikan, kebersamaan dan kedamaian. Itu sebab mekanisme politik tidak selalu mengedepankan aspek hukum karena menimbang aspek kebermanfaatannya buat khalayak bukan buat kepentingan selain itu.

Itulah pula mengapa politik begitu dinamis, karena di dalamnya menyediakan ruang kompromi kebaikan dan kemaslahatan. Walau juga mesti diakui tersisipi ruang deal penghiatan. Namun kembali kepada kekuatan hati nurani, karena kekuatan kompromi adalah bagian tak terlepas dari karunia Allah. Penyimpangan dalam politik sangat besar terjadi, tetapi ikhtiar menyelematkan politik dari berbagai distorsi obsesi politik harus terus disuarakan demi menjaga demokrasi yang sesungguhnya.

Elit politik, termasuk peserta kontestasi pemilu penting menurunkan ego masing-masing untuk melakukan hal yang lebih kongkrit untuk menjaga kondusifitas dan keberlanjutan pembangunan di Banua.

Masing-masing pihak mesti mengenyampingkan kalah menang dalam menginisasi untuk bertemu. Bertemu sama sekali tidak terkait dengan kalah menang. Inisiasi bisa dilakukan oleh kedua belah pihak agar memberi pesan dan pendidikan politik yang baik. Namun bertemu tidak sama dengan membenarkan yang keliru, tapi semata lebih kepada mendahulukan kepentingan masyarakat Banua.

Sebuah restorasi politik dapat dijadikan pilihan agar suasana pasca pilkada tidak menciptakan jurang perpecahan. Restorasi politik ini mesti didahului oleh tokoh utama yang jadi peserta pilkada. Namun peran ini tidak semata tersentral kepada kontestan itu, tetapi harus pula dilakukan secara bersama-sama oleh pihak lainnya, seperti awak partai politik, tim sukses kedua belah pihak, elit pendukung hingga kepada pemilih yang selama ini terbelah begitu keras.

Masyarakat rindu, bahwa Pilkada gubernur Kalsel segera usai. Kepada pucuk elit saling berkomunikasi, lalu bertemu dan berjabat tangan untuk mengatakan pesan demokrasi yang menentramkan dan mendewasakan.

Bertemunya pucuk elit yang menjadi pemeran utama dalam suksesi kekuasaan politik yang demokrasi akan mendistribusikan iklim politik yang adem, sekaligus memberikan awareness hingga ke masyarakat rumput sebagai pemilih agar menyudahi pertentangan panjangnya. Banua ini menunggu semua pihak untuk berkorban menyudahinya.

Awarness ini hanya akan tumbuh sebagai restorasi jika elit sentral berani berkorban menepikan gengsi untuk bertemu tanpa atau dengan perantara. Perbedaan politik biarlah dikembalikan sebagai fitrah demokrasi yang menjadi jalan sepakat selain pilihan hukum agar menyudahi dinamika yang ada. (*)

Tinggalkan Balasan