TAK mudah bagi Muhammad Amin mendapatkan gelar Empu Tosan Aji, gelar itu hanya diberikan oleh Raja Banjar, Pangeran Khairul Saleh.
Gelar Empu Tosa Aji tersebut diberikan kepada Muhammad Amin karena setelah sekian lama menggeluti pandai besi dari kerajaan banjar. Ia merupakan salah satu dari sekian banyak pandai besi yang ada di Kalimantan Selatan.
Selain dua gelar tersebut, Muhammad Amin juga dianugerahkan gelar Empu Saradipa dan Empu Kastadiraja atau yang berarti pembuat pusaka kerajaan. Maka tak aneh sebagian pelanggannya memanggil dirinya dengan sebutan Empu Amin.
Dibalik bilik yang terbuat dari dahan kayu dan beratapkan seng, ayah dua orang anak ini bercerita kepada klikkalsel. Ia mulai menjelaskan satu persatu jenis dan nama senajata atau pusaka dari hasil kerajinan tangannya. Proses pembuatan benda pusakan itu kata dia, tidak sembarangan. Dimulai dari pembakaran hingga ditempa, menurutnya perlu proses dan ketelitian untuk menghasilkan senjata pusaka yang bagus.
Sambil bercerita, tampak beberapa orang berdatangan sambil membawa potongan-potongan logam. Benda-benda tersebut. Para pelanggannya setia menunggu di bangku panjang yang ada didekatnya dengan sabar.
“Saya khusus membuat benda pusaka seperti keris, belitung, sempana, kujang dan masih banyak lagi jenis pusaka lain,” ujarnya sambil membakar logam dan menempa pesanan pelanggannya.
Menurut cerita, banyak sudah para tokoh di banua ini yang memintanya untuk membuatkan pusaka atau hanya sekedar untuk koleksi.
“Abah Anang Jazuli Seman, Abah Guru Sekumpul, Pangeran Khairul Saleh dan masih banyak lagi yang lain,” ceritanya.
Namun menurutnya dari semua jenis pusaka yang dibuatnya, satu pusaka paling sulit dalam pembuatan serta memperoleh bahannya.
Yaitu Keris Junjung Drajat milik Pangeran Khairul Saleh. Keris tersebut dibuat dari 99 bahan logam yang dilebur jadi satu, sedangkan hulu dan sarungnya juga dari kayu khusus.
“Proses pembuatan kerisnya memakan waktu lebih dari tiga bulan, sedangkan sarungnya hampir satu bulan,” kenangnya.
Membuat senjata pusaka itu kata dia, sejak tahun 1995 dan itu tidak terlepas dari ajaran sang guru yang bernama Habib Ibrahim atau yang di wilayah Tuban, Jawa Timur dengan panggilan Mbah Margono.
Awal berguru dengan Mbah Margono dirinya diharuskan puasa makan nasi selama delapan bulan lebih dan hanya diperbolehkan makan singkong. Hingga sekarang dia belum terlalu faham maksud perintah gurunya tersebut.
“Sampai sekarang belum faham, tapi menurut teman-teman seperguruan itu supaya dalam menempa besi fisik tidak mudah sakit,” tuturnya sembari menyuruput teh.
Disinggung mengenai ritual-ritual tertentu dalam proses pembuatan benda pusaka, dirinya mengakui tidak ada melakukan ritual khusus. Karena menurutnya jangan sampai kecintaan kita terhadap pusaka dan budaya membuat keimanan jatuh kepada syirik.
“Gak ada ritual khusus, haya berdoa supaya selamat dalam bekerja dan tidak terluka, karena kerja saya mainannya api dan benda tajam,” ujarnya tertawa lepas.
Ditambahkannya, banyak kepercayan dikalangan masyarakat kalo sedang menempa besi, pandai besi atau orang yang melihat bisa kena “pingit” besi, hingga menimbulkan penyakit.
Hal seperti itu menurutnya tidak perlu terlalu dipercaya, karena dikhawatirkan juga bisa menimbulkan syirik apalagi mempercayai benda-benda memiliki tuah mistik. Padahal sebenarnya penyebab sakit itu karena keracunan akibat dari pembakaran dan peleburan logam.
“Saat dilebur dan dibakar logam kadang melepaskan kimia ke udara, nah pada saat itu daya tahan tubuh lagi lemah yang menimbulkan sakit karena keracunan,” jelasnya.
Ditanya sampai kapan dirinya akan melakoni profesi ini dirinya terdiam sejenak, lalu berucap dengan pelan seolah pasrah. “Sampai Tuhan tak memberikan saya kemampuan menempa besi lagi,” tandas Empu Amin.(david)
Editor : Amran