Berita Proklamasi 17 Agustus di Borneo Bagian Selatan (Bagian 2 Selesai)

Foto bersama staf perusahaan atau Soeara Kalimantan yang menginformasikan proklamasi di Borneo bagian selatan (sumber foto Ketua LKS2B Kalimantan Mansyur)

“Kala itu, penguasa Jepang memindahkan orang-orang yang dianggapnya dapat mempengaruhi situasi daerah Kalimantan Selatan ke Pulau Jawa, dengan maksud statusnya di daerah ini tetap utuh,” paparnya.

Akibatnya, kata Mansyur orang-orang yang sangat diharapkan di daerah ini sebagai pelopor dan penggerak kemerdekaan tidak ada lagi.

Kekejaman dan kebiadaban orang-orang Jepang terhadap rakyat Indonesia, Kalimantan Selatan khususnya, menyebabkan orang merasa takut untuk berbuat sesuatu yang bertentangan dengan pemerintah Jepang.

Pemerintah Jepang di Banjarmasin mengumumkan ancaman hukuman berat terhadap segala perampokan dan lain-lain yang berupa pelanggaran yang mengganggu keamanan.

“Pengumuman dikeluarkan pada tanggal 3 September 1945. pengumuman ini ada hubungannya dengan kedatangan A.A Hamidhan dari Jakarta,” tuturnya.

Lebih lanjut, dijelaskan Mansyur, Media massa yang ada di Kalimantan Selatan hanyalah surat kabar “Borneo Simboen” yang menyuarakan Jepang, sedangkan surat kabar yang berbeda tidak dapat diterbitkan.

Upacara pengibatan bendera merah putih sebagai perayaan kemerdekaan oleh pejuang di pedalam borneo bagian selatan (sumber Ketua LKS2B Kalimantan Mansyur)

“Borneo Simboen, edisi Kandangan pimpinan Ahmad Basuni yang memberitakan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 20 Agustus 1945 merupakan suatu keberanian yang hebat, sementara Borneo Simboen edisi Banjarmasin diizinkan pemerintah Jepang memuat berita tersebut pada penerbitan tanggal 26 Agustus 1945,” jelasnya.

Berita Proklamasi Kemerdekaan tanggal 20 Agustus 1945 di Kandangan dan tanggal 26 Agustus 1945 di Banjarmasin mendapat sambutan yang hangat dari masyarakat. Dalam waktu singkat berita itu tersebar luas ke seluruh daerah Hulu Sungai.

Baca Juga : Ketua Dewan Kalsel Bacakan Teks Proklamasi pada Upacara HUT Kemerdekaan

“Di Banjarmasin masyarakat menyambutnya dengan mengibarkan Bendera Merah Putih. Pemerintah Jepang tidak melarang terhadap pengibaran Bendera Merah Putih ini,” ceritanya.

Sedangkan di Amuntai, kata Mansyur, beberapa pemuda dipelopori Abdul Hamidhan, Ruslan Husin, dan kawan-kawan telah naik mobil Chevrolet DA-216 dengan kibaran Bendera Merah Putih, secara maraton pergi berkeliling kota sampai ke Alabio, Lampihong, Paringin dan Kelua.

Tujuan merek untuk menyebarkan berita Proklamasi Kemerdekaan tersebut kepada masyarakat umum. Di tiap tempat yang disinggahi mendapat sambutan hangat dan penuh kegembiraan.

Kemudian, wilayah Martapura atas inisiatif Dokter Suprapto Kepala Rumah Sakit Martapura pada tanggal 27 Agustus 1945 dengan mengambil tempat di kampung Jawa, mengadakan pertemuan rahasia dengan tokoh-tokoh masyarakat dalam jumlah yang terbatas.

Tujuan dari rapat itu adalah menyatukan pikiran dan pendapat, dalam usaha menyongsong persiapan Pemerintahan Republik Indonesia di Kalimantan Selatan.

“Kemudian menyatukan kekuatan di kalangan pemuda khususnya bekas Kaigun Heiho dan Polisi Jepang untuk persiapan pembentukan Tentara Keamanan Rakyat Borneo (TKRB),” ujarnya.

Mengumpulkan alat senjata dan mesiu untuk mempertahankan Wilayah Borneo. Pertemuan itu mengundang sejumlah tokoh yang undangannya disampaikan secara lisan untuk menjaga kerahasiaannya.

“Pertemuan ini dihadiri oleh Kiai H. Hasan Tjorong, Konsul Muhammadiyah Kalimantan, Opzichter Soeradi dari VW (PU) Martapura,” ungkapnya.

Berikutnya, R. Wijono eks pimpinan Romusha (eks PETA Semarang), D. Giman anggota Polisi Jepang Martapura, R. Sastroadiatmojo, Polisi Jepang, M. Hammy A.M., Polisi Jepang, serta R. Sudarmin, eks pegawai Nomura Kabushiki Kelayan.

Dalam rapat itu baru sempat hadir empat orang di antaranya yaitu Dokter Suprapto, Kiai Hasan Tjorong, Opzichter Soeradi dan M. Hammy A.M. kemudian terpaksa bubar karena Polisi Jepang datang ke rumah sakit untuk membubarkannya.

Pertemuan kedua berlangsung pada tanggal 21 September 1945 bertempat di kantor VW (PU) dan dihadiri oleh Dokter Suprapto, Kiai Hasan Tjorong, Soeradi, R Sudirman, M. Hammy A.M.

Dalam rapat itu Dokter Suprapto menjelaskan tentang Proklamasi Kemerdekaan, namun ia masih ragu-ragu apakah kemerdekaan itu juga meliputi Kalimantan, karena A.A. Hamidhan yang pernah menghadiri sidang PPKI belum sempat menjelaskannya.

Walaupun demikian rapat telah berhasil membentuk Panitia Pembentukan Pemerintah Republik Indonesia Borneo (PPPRIB).

Susunan Panitia itu diketuai oleh Dokter Suprapto, Wakil ketua I dan II masing-masing Kiai Hasan Tjorong dan Soeradi dengan Pembantu Umum dijabat oleh M. Hammy A.M. Panitia ini dilengkapi dengan Seksi Pemerintahan, Hubungan Urusan Militer dan Persenjataan serta Urusan Sosial dan Ekonomi.

PPRI itu terdiri dari Bagian Pemerintahan Umum, Bagian Badan Perjuangan, Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan pembentukan Polisi Tentara untuk mengimbangi NICA.

Pemerintahan Umum yang merupakan pucuk pimpinan dijabat oleh Alwie beserta stafnya, Badan Perjuangan juga dijabat oleh Alwie dengan wakilnya Yusuf Jamal dengan seperangkat staf yang membantunya, BKR dijabat oleh Peran Kamar sebagai pimpinan dengan anak buahnya bekas Kaigun Heiho, Boei Teisin Tai yang merupakan inti pasukan,

“Sedangkan Polisi Tentara dijabat oleh Yusuf Jamal sebagai Komandan. PRRI ini dilengkapi lagi dengan sejumlah pemerintahan sipil di daerah kecamatan-kecamatan,” pungkasnya (airlangga)

Editor: Abadi