Catatan Peristiwa Keganasan Buaya di Banjarmasin, Dalam Perut Pernah Ditemukan Gelang Hingga Koin Inggris

Buaya yang ditangkap di Borneo tahun 1930 sumber : koleksi KITLV (Mansyur)

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Belum lama ini warga Banjarmasin dibuat geger dengan adanya kemunculan sosok buaya di anak sungai Barito, Kawasan Pelambuan, Kecamatan Banjarmasin Barat.

Bahkan di kawasan itu juga telah dipasang plang larangan berenang dan pemberitahuan, agar warga bisa berhati-hati karena adanya buaya di kawasan tersebut.

Mengulik cerita popolasi hewan reptil di Banjarmasin, klikkalsel.com mencoba menelusurinya ke sejarawan tentang catatan peristiwa yang ternyata buaya sempat menjadi pemangsa paling menakutkan untuk warga Banjarmasin pada zaman Hindia Belanda hingga 1940-an.

Hal itu diungkapkan Mansyur, Sejarawan dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) di Banjarmasin, Rabu (8/5/2024).

“Air sungai yang mengalir tenang, ternyata menyimpan sosok monster
menakutkan. Kemunculannya menimbulkan bencana dan membuat warga Banjarmasin di sekitar sungai ketakutan,” ujarnya.

“Mereka tak lagi merasa nyaman dan selalu waswas. Kehidupan sungai yang tadinya tenang menjadi mencekam. Setidaknya itulah yang terekam dalam beberapa catatan orang-orang Belanda yang pernah berdiam di Banjarmasin hingga 1940-an,” ujarnya.

Monster air itu adalah buaya. Predator yang sangat ganas dan memiliki rahang kuat sehingga menjadikannya pemangsa menakutkan.

Tercatat sejak 1858 silam, gangguan buaya sungai di Banjarmasin dan sekitarnya sangat mematikan.

“Seperti Boomgard (2001) menuliskan, buaya menjadi penyebab kecelakaan yang sering mematikan di Borneo bagian selatan (kini Kalsel). Buaya kerap memangsa manusia, ternak hingga hewan peliharaan,” ujarnya.

Bahkan, wabah buaya ini sempat memusingkan Pemerintah Hindia Belanda di Banjarmasin untuk mencari cara mengatasinya.

Hingga 1858 pemerintah Hindia Belanda mulai memberlakukan premi. Semacam hadiah untuk orang yang bisa menangkap dan membunuh buaya serta menyerahkan telur buaya untuk dimusnahkan.

Buaya yang didapatkan di Borneo tahun 1920 sumber :BM Archive (Mansyur)

Sayangnya, kata Mansyur, program “pemberian hadiah” ini tidak sukses. Hanya sedikit orang yang memburu hadiah di balik penangkapan buaya.

Pasalnya, buaya dianggap sakral oleh masyarakat Banjar maupun masyarakat Dayak. Kesakralan ini mulai meredup sejak meningkatnya harga kulit buaya sekitar 1925.

Baca Juga Sikapi Keresahan Masyarakat, Satpolairud Banjarmasin Sisir Sungai dan Upaya Pancing Buaya dengan Ayam

Baca Juga Viral Ada Buaya di Sungai Barito, Satpolairud Polresta Banjarmasin Minta Warga Waspada

“Akibatnya, perburuan buaya meningkat dengan pesat. Naiknya harga kulit buaya disertai misi “balas dendam” seakan jadi motivasi orang Banjar mulai
berburu buaya di DAS Barito, termasuk sungai Martapura dan anak sungainya,” jelasnya.

Uniknya orang Belanda seakan benci
dengan mahluk air ini. Dalam Koran Bataviaasch Nieuwsblad (edisi 7 Februari 1906), diberitakan bahwa Mr J. Arnold menembak buaya di sungai kecil pada kawasan Wil-helmina Weg (sekarang Jalan Belitung) di Banjarmasin.

Buaya itu dikabarkan cukup besar sepanjang tiga meter. Bahkan sebelumnya buaya tersebut sudah memangsa (menelan) seekor ayam dan bebek.

Berita terus berlanjut ketika pada 1910, juga ada penduduk lokal Banjar yang saat mandi diserang buaya hingga mengalami luka dan cukup serius.

“Demikian ditulis Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie,
edisi 15 Januari 1910,” ungkapnya.

Kemudian, Kasus lainnya, pada Hari Raya Idul Fitri di Banjarmasin, ada buaya dikabarkan juga menyerang 3 penduduk lokal yang sedang menaiki Jukung di kawasan Sungai Barito.

Akibatnya salah seorang penduduk tersebut menjadi mangsanya.

Kala itu, buaya mendadak menyerang jukung
yang sedang ditumpangi penduduk hingga terbalik. Penumpangnya lainnya jatuh ke air. Buaya lalu menyerang salah seorang.

Kemudian diantaranya dengan penuh keberanian menyerang buaya tersebut
dengan tusukan senjata tajam berulang kali dengan harapan buaya melepaskan mangsanya.

Sayangnya, buaya menghilang ke kedalaman sungai dan korban tersebut tidak dapat diselamatkan.

“Korban saat itu menderita begitu banyak luka dan dilepaskan oleh buaya setelah beberapa hari. Demikian ditulis koran yang sama edisi 13 Juli 1908,” cerita Mansyur.

Dari beberapa kejadian itu, menurut Mansyur, barulah warga Banjarmasin mulai memikirkan cara menyingkirkan buaya-buaya tersebut.

Bahkan beberapa bulan terakhir
pada 1910, penduduk Kuin di Banjarmasin makin menderita karena ulah buaya.

Karena itu untuk mengatasi masalah tersebut dilakukan beberapa upaya untuk membalas dendam.

Warga kampung sepakat menangkap binatang mengerikan ini dengan
memasang umpan dan kail.

Bahkan penduduk rela “urunan” (patungan) untuk membayar pemburu buaya yang saat itu sebesar 2 gulden (mata uang era kolonial) untuk masing-masing hewan yang ditangkap.

Upaya ini membuahkan hasil, ketika buaya tangkapan pertama dengan panjang sekitar 3,1 meter.

“Buaya itu diarak dan dipertontonkan di hadapan warga di Kuin. Kejadian ini tepat pada 2 Mei 1910,” ungkapnya.

Kasus penyerangan buaya juga terjadi di beberapa kawasan seperti Mantuil, Margasari dan Pelaihari.

Dewan (Pemerintah Hindia Belanda)
pun mulai didesak merumuskan kembali pemberian hadiah (premi) bagi penduduk untuk menangkap, membunuh dan menemukan telur buaya.

“Warga Banjarmasin juga pernah menangkap seekor buaya besar yang panjangnya sekitar 6 meter, pada 1925,” imbuhnya.

Di era itu, buaya ditangkap dengan cara kail besar yang diberikan umpan ayam hidup yang menempel pada kail.

Setelah buaya ditangkap, ketika perut binatang dibuka, ditemukan sepasang gelang emas, sepasang perak, sepasang alas kaki perak, pin perak, sepasang koin emas Inggris, cincin perak, dan
tembaga.

Dari temuan itu, orang dapat menyimpulkan buaya itu melahap setidaknya dua wanita, sementara perhiasan menunjukkan, bahwa para korban adalah wanita.

“Namun, sejauh ini seseorang tidak dapat mengetahui siapa orang yang malang itu,” pungkasnya. (airlangga)

Editor : Akhmad