Ramadhan – Corona

Kadarisman.
Kolaborasi Menang – Menang
Oleh: Kadarisman
(Anggota Korp Alumni Himpunan Mahasiswa Islam – KAHMI Kabupaten Tabalong)
Seperti biasa Ramadhan ya seperti itu. Seperti setahun lewat dia berlalu. Ramadhan 1441 hijriah, tahun 2020 masehi boleh jadi berbeda. Itu karena covid- 19 turut menjadi warna. Bahkan merajai, hingga menggedor-gedor tatanan sosial dan spiritual yang hidup di dalam masyarakat itu sendiri. Namun apapun, salat tarawih berjamaah juga akan seperti biasa, seperti yang sudah-sudah. Jamaah akan sepi sendiri di hari ke 15 Ramadhan, tanpa perlu ribut membicarakan berbagai kebijakan.
Salat tarawih atau fardhu berjamaah “terkekang”. Salat Jumat kucing-kucingan. MUI satu kata dengan pemerintah, jumatan dan terawih supaya tak berjamaah di rumah ibadah. Semuanya bisa diganti di rumah saja. Imbauan itu berlandaskan kebaikan dan lahir dari rasa peduli. Mulia memang. Supaya jamaah tak terpapar corona. Imbauan itu sangat baik.
Baca Juga : Penerapan PSBB, Jalur Utama Menuju Banjarmasin Ditutup, Banyak Warga Harus Putar Balik
Pertanyaan kemudian muncul. Jika itu adalah kebaikan, kenapa kerumunan di pasar Mabuun dan Tanjung, yang mempertemukan ketidakjelasan asal usul orang-orangnya masih begitu bebas. Tidakkah itu juga mesti ditertibkan untuk kebaikan. Kenapa banyak hal luput harapan dari kenyataan.
Masjid dan mushala misalnya masih penuh jamaah tarawih. Apakah mereka tak tahu berita tentang Corona? Atau mereka tak mengerti bahayanya Corona? Lantas kenapa umat tidak taat imbauan. Siapa menantang siapa?!
Saya belum berani berkesimpulan. Sebab jika aspek publik hanya ditinjau dari satu aspek entitas warga negara saja maka kenyataannya akan seperti ini. Makin dilarang makin jadi. Sikap seseorang dalam konteks tersebut terkadang hanya sekadar melepaskan diri dari untuk bisa disebut sok alim, tapi lebih kepada “perlawanan” atas terusiknya nilai-nilai dalam hatinya.
Dalam Islam jika tertanam sedikit saja keimanannya, seorang pemabuk pun akan tak terima jika nilai dasar keyakinannya diusik, sekali pun ia sendiri jarang salat, apalagi yang fanatik.
Selain menempatkan publik sebagai entitas warga negara. Selayaknya juga memandangnya sebagai subjek yang memiliki otoritas unik atas sosio kultural dan spiritual yang berlaku di sana.
Menyodorkan kebijakan yang berimplikasi atas tatanan nilai-nilai spiritual bisa berdampak pada kontraproduktif. Apalagi jika entitas itu merasa hak-hak mendasarnya selayak dirantai, digelangi belenggu. Mereka akan merespon dengan pemahaman nilai, dalam urusan tertentu kepada siapa mereka wajib taat dan merasa takut.
Jika sudah demikian, muncul kemudian antitesis: Tuhan atau pemilik kebijakan. Lalu kemudian ada saja yang berwacana tak takut corona, karena lebih percaya akan Tuhan. Atau berwacana sebakiknya, jika ada buaya di tengah jalan, apa kau juga tetap akan lewat. Suara selanjutnya, bukankah Tuhan melindungi orang yang mampu menjaga hatinya yang pergi ke masjid. Perumpamaan wacana yang dibangun kemudiam tak sepadan antara urusan hati dan urusan zahir.
Pemilik kebijakan jelas tak bisa jalan sendiri. Dia haruslah menggandeng pihak yang memiliki akses hingga ke jantung subjek aktor tradisional yang memiliki pengaruh spiritual di level itu.
Membangun kesepahaman yang ditingkat kelembagaan, seperti MUI belum cukup. Terlebih, MUI sekarang distigma bagian dari kekuasaan itu sendiri. Bagaimana pun KH Ma’tuf Amin yang juga seorang wakil presiden tak dapat dilepaskan dari cara pandang orang melihat MUI yang sekarang.
Kolaborasi
Bekerja sama dan berkolaborasi dapat menjadi pilihan untuk saling dan bersama menjaga marwah kebijakan dan kebijaksanaan. Upaya ini wajib tak boleh berhenti di level kelembagaan saja. Harus diingat MUI boleh dikatakan sebagai representatif umat muslim yang dapat dimintakan fatwa dan ijtihad keagamaan, tetapi tiap kampung dan tiap masjid atau mushola memiliki otoritas lokal yang tak tersambung garis komandonya ke MUI. Jika kolaborasi berhenti di MUI, maka pemilik kebijakan akan dihadapkan pada hal yang lebih besar lagi.
Kolaborasi mengkomunikasikan kebijakan mesti masuk ke jantung pertahanan keyakinan di level entitas tradisional. Opsi yang dibawa pun haruslah pilihan untuk menang-menang. Membawa opsi untuk saling mengalahkan atas argumentasi apapun pasti akan mendapat perlawanan.
Opsi menang-menang dapat menghadirkan satu pihak dengan pihak lainnya merasa tak diagitasi. Namun bagaimana parapihak kemudian dapat menyusupkan program dari kebijakan tanpa perlu mengusik pertentangan. Dengan demikian entitas tradisional sekalipun tercerahkan dan menjadi bagian penanggung jawab atas kebijakan yang ada.
Pemangku kebijakan dapat saja menyodorkan “kurikulum” menang-menang itu sesuai substansial dari protokol kesehatan yang disodorkan pemilik kebijakan. Tetapi sekali lagi yang esensial. Hal tidak substantif tinggal.
Sangat mungkin protokol kesehatan seperti sterilisasi tempat ibadah dan melakukan screning pada tiap jamaah, menggunakan masker, melakukan rapid test, membawa sajadah sendiri, tidak salaman, tidak salawatan, menyingkat salat tarawih dengan pilihan rakaat yang lebih sedikit, memilih ayat-ayat pendek bahkan sampai kepada pengawasan jamaah warga sekitar dan atau warga dari luar.
Ketua RT sebagai tangan pemilik kebijakan di level ujung tombak pertahanan dapat ambil bagian kolaborasi dalam pengawasan pengamanan melakukan siapa yang boleh masuk tempat ibadah dan siapa yang tidak diperkenankan. Siapapun yang tidak memenuhi protokol kesehatan, pengurus tempat ibadah dan pihak RT dapat dapat mengugurkannya sebagai jamaah.
Ketua RT dilibatkan karena dia punya otoritas memonitor mobilitas warganya. Ia dapat saja menbuat aturan sendiri untuk mendukung kolaborasi protokol kesehatan dan protokol rumah ibadah. Dia yang paling paham, siapa saja pendatang di wilayahnya, siapa bekerja di mana, siapa kebiasaannya apa bahkan dia tahu siapa yang tak pernah ke masjid dan siapa yang gak bisa ninggalin masjid.
Salat berjamaah dan salat tarawih di bulan Ramadhan ini kemudian tidak semata dipandang sebagai hanya memindahkan dari tempat ibadah ke rumah. Jika hanya persoalan itu tentu sangatlah mudah. Hal yang sulit adalah memindahkan rasa dan ghirah di dalam hati dan keyakinan yang memenuhi ruang jiwanya.
Kolaborasi yang menang-menang ini setidaknya dapat menjaga marwah kebijakan itu sendiri, disamping tetap dapat menginfiltrasi tempat ibadah dengan soft landing. Kita yakin, di hari 15 Ramadhan, tak usah dilarang pun , tempat ibadah akan sepi sendiri dari jamaah. Setiap tahun begitu *

Tinggalkan Balasan