TANJUNG, Klikkalsel.com – Mendekati pemilu 2024, terutama pada kontestasi pemilihan presiden (pilpres), politik identitas dicuatkan kembali. Politik identitas distigmakan sebagai cara-cara politik yang eksklusive oleh kelompok demokrasi yang mengaku inklusive dan pancasilais.
Namun pada faktanya kepentingan politik kekuasaan sejatinya tidak mengenal cara-cara inklusive yang lebih baik dalam mencapai kekuasaan.
Pemburu kekuasaan hanya tahu bagaimana mandat rakyat dapat diperoleh dengan cara – cara apapun, termasuk mempolitisasi politik identitas.
Kenyataan itu dapat kita lihat bagaimana pegiat pro demokrasi yang selama ini menjadi bemper dan lingkar kekuasaan. Ade Armando misalnya, menjadi seseorang yang tepat dianalogikan sebagai “maling teriak maling”.
Seorang yang getol menolak politik identitas justru terjebak dalam kepentingan politik identitas itu sendiri.
Publik menilai, Ade Armando telah menabuh genderang polarisasi dengan mengajak umat kristiani untuk tidak memilih seorang capres yang secara resmi dinobatkan oleh Partai Nasdem, padahal Nasdem sendiri pegang saham koalisi dari pemerintahan Jokowi.
Narasi Ade Armando minim penolakan. Partai – partai penyokong kekuasaan tidak bersuara untuk sekadar mengingatkan betapa pentingnya untuk tidak menggiring politik kepada kepentingan sempit dari ego berdemokrasi yang salah kaprah.
Apa yang terjadi merupakan fenomena nyata betapa politik identitas telah menjadi komoditas politik dan dipolitisasi sebagai cara membunuh kelompok lain sebagai pihak tidak inklusive, padahal kelompoknya sendiri adalah dalang dari semuanya.
Baca Juga : Tahun Politik Sudah Dekat, Kesbangpol Tabalong Ingatkan ASN Berhati-Hati Bermedia Sosial
Baca Juga : Empat Isu Strategis Yang Digodok KPU Mengatur Ruang Gerak Partai Politik
Jika politik identitas tidak dapat membangun kualitas kesadaran politik dan demokrasi yang baik, maka pihak yang mempolitisasi politik identitas seperti Ade Armando dan kelompoknya adalah penjahat demokrasi itu sendiri.
Di dalam literasi politik, dikatakan politik identitas, mengacu pada mekanisme pengorganisasian identitas, baik dalam identitas maupun sosial identitas sebagai sumber dan sarana politik.
Agnes Heller mendefinsikan, politik identitas sebagai gerakan politik yang fokus perhatiannya adalah perbedaan sebagai suatu kategori politik yang utama.
Sedangkan, pakar politik dari Universitas Duke, Donald L Morowitz (1999), mendefinisikan politik identitas adalah pemberian garis tegas untuk menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan ditolak.
Baik Agnes Heller dan Donald L Morowitz memerlihatkan sebuah benang merah dari politik identitas yang dimaknai sebagai politik perbedaan.
Persoalan politik identitas tidak semata mengeksploitasi kelompok agama tertentu sebagaimana yang diserukan Ade Armando, namun juga terkait identitas sosial lainnya seperti “hanya orang Jawa” yang bisa jadi presiden.
Politik identitas juga mengeksploitasi kesukuan, warna kulit, primordialisme dan lain sebagainya yang dibangun sebagai sebuah retorika politik. Seperti dengan sebutan “Kami orang asli” itu juga bagian politik identitas yang tidak membuat kesadaran politik berkembang secara egaliter dan meritokrasi.
Politik identitas sekadar dijadikan alat untuk memanipulasi dan menggalang politik guna memenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya (Muhtar Haboddin: 2012).
Namun mempolitisasi politik identitas sebagai komoditas politik untuk menolak politik identitas dengan politik identitas baru, itu merupakan retorika politik bunuh diri bagi demokrasi.
Politik identitas sebagai fakta dinamika demokrasi yang mesti dihadapi dengan jalan mencerahkan dan mendorong edukasi politik bagi warga negaranya.
Edukasi politik menjadi salah satu tugas bagi partai politik untuk membangun kesepahaman tujuan politik dengan kultur keindonesiaan yang gagal dijalankan. Edukasi politik parpol kepada kadernya sesat arah dan salah tujuan.
Kita tidak mendengar para ketum parpol menolak narasi Ade Armando yang sengaja mempolarisasi bangsa dengan mempolitasiasi politik identitas sekadar untuk mengatakan dia anti politik identitas, namun menjadi pelaku sejati politik identitas itu sendiri.
Kekuasaan politik harus dibangun atas narasi meritokrasi yang egaliter dengan mengedepankan kapasitas, kapabilitas, integritas dan determinasi pribadi yang tidak tunduk pada kekuatan oligarki manapun kecuali untuk menjadi bagian yang terang guna mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat Indonesia.(**)