Peringatan Hutan Mulai Punah

Zulfa Asma Vukra Wakil Ketua Pansus Raperda Pengelolaan Hutan DPRD Kalsel (foto : pribadi)
Oleh : Zulfa Asma Vikra
(Wakil Ketua Pansus Raperda pengelolaan Hutan DPRD Kalsel & Ketua MLH PW Muhammadiyah Kalsel)
PADA 21 oktober 2013 melalui Kementrian Kehutanaan mengeluarkan kebijakan SK.5040/MENHUT-VI/BRPUK/2013 telah merencanakan areal hutan produksi yang akan direstorasi seluas 2.695.026 hektar. melalui progam Restorasi Ekosistem (ER) merupakan bagian upaya dari memulihkan ekosistem terkhusus pada sektor hutan alam sebagaimana mestinya sehingga meningkatkan dan mengembalikan fungsi dan nilai hutan yang baik.
Hutan tak akan lagi dipandang semata kayu, tapi sebagai sumber ilmu pengetahuan, bisnis non kayu, jasa lingkungan, wisata, karena ia menjadi penyangga planet ini. Paradigma kayu telah terbukti menurunkan fungsi dan kualitas hutan. Kemunculan stigma tentang memandang pohon hanya sekadar kayu hanya menumbuhkan pikiran para konglomerat untuk memperkaya kantong-kantong mereka. Sehingga perlu adanya kaidah ekologis untuk memandang jajaran hutan adalah makhluk hidup yang diperbolehkan hidup di dunia ini.
Disamping pengembalian jati diri hutan sebagaimana mestinya ada dampak yang terus terjadi seperti laporan WRI Indonesia peningkatan kehilangan hutan premier pada tahun 2016 mengalami peningkatan yang signifikan sebesar 929 ribu hektar lahan yang hilang dan rata-rata mulai pada tahun 2002-2019 pergerakan setiap tidak tahun menunjukan gambaran tren data yang lebih beragam karena investasi yang ditawarkan pihak pemerintah terus membuka peluang sebesarnya bagi investor. Keinginan mendatangkan investasi untuk membangun Indonesia pada masa orde baru di mulai tahun 1968 telah melahirkan keserakahan yang berujung pada rusaknya fungsi kawasan hutan dan merembet pada kekacauan di banyak segi: pelanggaran hak asasi, konflik sosial, sengketa tenurial, hingga ketimpangan penguasaan sumber daya alam.
Menurut perhitungan Badan Planologi Kementerian Kehutanan (2013), nilai ekonomi hutan hanya US$ 49 per hektare per tahun atau sekitar Rp 700 ribu. Fakultas Kehutanan IPB menghitung lebih kecil lagi. Jika hutan hanya dihitung semata kayu, nilainya cuma Rp 400 per hektare per tahun. Nilai itu akan meningkat 100 kali lipat jika hutan dijadikan kebun dan akan naik 100 kali lipat lagi jika arealnya dijadikan griya tawang (real estate). Nilai kayu yang kecil jika dibandingkan dengan kekayaan alam tak terlihat di sekelilingnya itu membuat pengelolaan hutan berbasis kayu memaksimalkan keuntungan dengan menghabisi sebanyak mungkin tegakan pohon.
Pembalakan di luar konsesi menjadi cerita klasik hutan Indonesia era 1980-1990. Setelah hutannya habis, kawasannya diubah menjadi kebun atau fungsi lain yang lebih menguntungkan.
RESIKO KEPUNAHAN
Menurut data WRI Indonesia , negara kita menempati urutan ke tiga setelah Kongo dan Brazil di urutan pertama negara tropis dengan kehilangan hutan premier tertinggi pada tahun 2019 dan secara keseluruhan dunia kehilangan hutan premier sebanyak 3.8 juta hektar. tidak hanya kehilangan pohon tetapi resiko perubahan iklim dan perubahan pada bumi pun terus mengalami kendala.
Pertama, suhu rata-rata global meningkat terhitung sejak 2010-2019 yaitu 0,88 derajat celcius pada tahun 2010 dan pada tahun 2019 mengalami peningkatan yaitu 1,1 derajat celicus. Kedua, permukaan air laut terus naik sebanyak 4cm karena hilangnya ekosistem dipesisir. Ketiga,cuaca ekstrem semakin tinggi akibat lejunya perubahan iklim akibat berbagai faktor.
Syarat utamanya restorasi ekosistem adalah kawasan hutannya tak lagi bisa dimanfaatkan hingga tutupan tajuknya kurang dari 60% dan areal tersebut habitat penting sebagai penjaga ekosistem sekelilingnya. Angka 60% tutupan tajuk adalah batas sebuah kawasan dikategorikan hutan alam.
Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan menggolongkan unit usaha restorasi ekosistem ke dalam empat kategori: peluang bisnis, proyek hijau, konservasi, dan menyelamatkan aset sendiri. Ada 16 perusahaan yang sejak 2009 mendapat izin mengelola kawasan hutan produksi yang sudah tak diolah untuk dipulihkan sesuai habitat semula.
Cara mempertahankan hutan rakyat bisa melalui hutan wakaf, seperti praktik di Desa Cibunian Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, di kaki Gunung Salak. Pada akhir November 2015 daerah ini longsor. Tiga rumah ambruk dan 53 rumah rusak sehingga 192 penduduk diungsikan ke lokasi yang lebih aman. Selain itu, musibah ini juga membuat ratusan ton ikan mas milik 18 peternak mati mendadak. Longsoran juga menyebabkan jalan kampung terputus. Sepanjang 500 meter badan jalan rusak karena amblas.
Hutan sebagai kesatuan dari ekosistem mempunyai fungsi yang beragam yaitu: sebagai penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat kehidupan flora dan fauna dan juga sebagai penyeimbang lingkungan.
Fungsi-fungsi hutan tidak bisa kita abaikan begitu saja, sebab bumi tanpa hutan akan menjadi padang tandus. Ketandusan alam mengakibatkan keburukan terhadap manusia. Sebab hajat hidup manusia tidak bisa terpenuhi dengan baik. Sangat urgen untuk menjaga keberlanjutan hutan. Sebagaimana kita ketahui hutan-hutan adalah paru-paru bumi. Jika manusia tidak mampu hidup dengan baik jika paru-parunya rusak demikian halnya dengan bumi. Bumi tidak akan sehat jika hutan-hutannya tidak dirawat dengan baik.
Peran serta pemerintah terwujud dengan adanya pembagian hutan berdasarkan peraturan hukum yang berlaku.
Adapun pembagian hutan menurut statusnya adalah suatu pembagian hutan yang didasarkan pada status (kedudukan) antara orang, badan hukum, atau institusi yang melakukan pengelolaan, pemanfaatan dan perlindungan terhadap hutan tersebut.
pembangunan kehutanan merupakan upaya penyelenggaraan pengelolaan sumber daya hutan secara lestari dan pemanfaatan hutan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Westoby22 , “There are still some who believe that forestry is about trees. It is not. It is about people. And how trees can serve people”. Pelaksanaan pembangunan kehutanan harus dilakukan secara terencana, menyeluruh, terpadu, terarah, bertahap, dan berkelanjutan untuk meningkatkan kemampuan sumber daya hutan dan kehutanan dalam memberikan hasil-hasil yang optimal, baik berupa barang maupun jasa. Dengan tetap menjaga kelestarian sumber daya alam dan kelangsungan fungsi serta mutu lingkungan hidup dan peningkatan fungsi sosial ekonomi hutan. Maka dari itu di bulan Agustus bertepatan dengan hari jadi provinsi Kalimantan selatan ke 70 tahun kita patut memberikan apresiasi dan dukungan penuh atas inisiasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan yang berinisiatif membuat rancangan peraturan daerah tentang pengelolaan hutan di provinsi Kalimantan selatan.
LANDASAN FILOSOFIS RAPERDA HUTAN
Landasan filosofis dari membentukan Raperda tentang Pengelolaan Hutan berkaitan dengan kewajiban negara Indonesia untuk “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”sebagaimana dirumuskan dalam Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945).
Hal ini merupakan kaedah konstitusional dari kewajiban negara dan tugas pemerintah untuk melindungi segenap sumber-sumber insani dalam lingkungan hidup Indonesia, guna kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia dan segenap umat manusia, termasuk melindungi sumberdaya alam.
Sebagai suatu Negara yang berdaulat dan mempunyai SDA yang begitu luas dan beraneka ragam tentunya sudah memiliki konsep tata kelola SDA yang tidak telepas dari ideologi penguasaan SDA yang tertuang dalam pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa Negara menguasai kekayaan alam yang di terkandung di dalamnya, namum penguasaan ini terbatas, yaitu harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Secara filosofis hutan wajib dikelola dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pengelolaan dan Pemanfaatan tersebut harus dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian dan tetap memperhatikan asas penyelenggaraan dan pengelolaan hutan sehingga hutan dapat dipertahankan dan dimanfaatkan secara berkesinambungan dengan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan,sosial dan budaya, serta ekonomi.
LANDASAN SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
Sampai dengan tahun 2019 lahan kritis di Provinsi Kalimantan Selatan tercatat seluas 286. 041,00 Hektar dan lahan sangat kritis tercatat 225. 552,80 Hektar. Meskipun telah dilakukan upaya rehabilitasi hutan dan lahan secara ekstensif dan intensif, namun pertambahan luas lahan kritis tetap berlangsung. Dalam konteks pemantapan kawasan hutan, Permasalahan yang dihadapi adalah penggunaan lahan untuk pembangunan non kehutanan yang semakin meningkat, yang mengakibatkan perubahan tata ruang wilayah yang berimplikasi pada berubahnya kawasan hutan, terdapat perbedaan peta dasar yang digunakan oleh sektor-sektor terkait serta intensitas perambahan hutan masih relatif tinggi.
Permasalahan lain yang terjadi adalah Kurangnya pelibatan masyarakat dalam pengelolaan dan pembangunan kawasan hutan, Pemanfaatan hasil hutan kayu saat ini lebih banyak melibatkan perusahaan-perusahaan besar seperti IUPHHK HA (Hutan Alam) dan IUPHHK HT, hal ini sudah berlangsung sejak lama dimana masyarakat sekitar hutan hanya menjadi penonton saja.
Kedepannya hal ini dapat diperbaiki dengan melalui pola Perhutanan Sosial, dimana masyarakat diberikan kebebasan untuk melakukan pemanfaatan kawasan hutan untuk kesejahteraan mereka namun fungsi kawasan hutan masih tetap terjaga. Disamping itu untuk menjaga kelestarian flora dan fauna di Kalimantan Selatan salah satu solusi nya adalah menetapkan kawasan ekosistem esensial (KEE) yang itu kewengan penuh pemerintah daerah agar kawasan tersebut bisa maksimal dalam pelestarian flora dan fauna di Kalimantan khususnya flora dan fauna khas banua seperti bekantan dan kasturi.
menyangkut persoalan hukum yang berkaitandengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk perundang-undangan yang baru.
Beberapa persoalan hukum itu antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan,peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari undang undang sehingga daya berlakunya lemah, atau peraturannya memang sama sekali belum ada. Landasan yuridis ini menjadi dasar kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan agar tidak bertentangan baik secara vertical maupun horizontal.
JAGA POHON
Rasulullah memerintahkan agar wakaf dipertahankan dan tidak diubah. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, beliau bersabda kepada ‘Umar bin Khattab saat beliau hendak mewakafkan kebunnya yang merupakan hartanya yang paling berharga di Khaibar, “Tahan pokoknya, dan sedekahkan hasilnya”.
“Tahan pokoknya” artinya menjaga asetnya agar tetap eksis, adapun “sedekahkan hasilnya” maksudnya adalah agar aset yang ada dikelola secara produktif agar terus bermanfaat bagi kepentingan manusia ataupun makhluk hidup lainnya.
Kemudian Rasullah pernah bersabda, diriwayatkan dari Jabir R.A: Rasullah SAW bersabda “siapa pun muslim yang menanam tanaman, setiap yang dimakan dari hasil tanamanya menjadi sedekah baginya, yang dicuri juga menjadi sedekah baginya, yang dimakan binatang liar menjadi sedekah baginya, yang dimakan burung menjadi sedekah baginya. Dan yang diambil seseorang menjadi sedekah baginya”.
Dengan hadirnya kesadaran paripurna untuk terus menam dan menjadikan pohon-pohon hidup nikmat dimuka bumi ini tidak ada perusak dan pengganggu serta penebang makhluk makhluk hidup. Karena dalam satu pohon saja ada ribuan makhluk hidup di dalamnya seperti burung-burung, berbagai jenis serangga bahkan berbagai jenis ulat dan semut menghuni satu pohon.
Raperda Tentang Pengelolaan Hutan ini sangat diperlukan keberadaannya untuk memberikan pedoman yuridis-operatif dalam upaya pengelolaan hutan di Provinsi Kalimantan Selatan. Melalui Raperda ini, Pemerintah Daerah akan memiliki pedoman dan landasan hukum yang kuat dalam konteks pengelolaan hutan berkelanjutan berbasis karakteristik wilayah di Kalimantan Selatan.(*)

Tinggalkan Balasan