Lahan Kritis Seluas 3.728 Hektare di Kabupaten Banjar Direhabilitasi Adaro, Begini Tantangannya

Manajemen PT Adaro bersama Representative Office Banjarbaru, bersama Ichwan Ardianto, Media Relation Staff, dan Luqmanul Hakim, Supervisor Das Rehabilitation Area 1, berfoto bersama di sela pemantauan program rehabilitasi DAS Barito di Desa Rantau Bujur, Mandikapau, Kabupaten Banjar. (istimewa)

TANJUNG, klikkalsel – Manajemen PT Adaro bersama Representative Office Banjarbaru, bersama Ichwan Ardianto, Media Relation Staff, dan Luqmanul Hakim, Supervisor Das Rehabilitation Area 1, melihat langsung program rehabilitasi DAS Barito di Desa Rantau Bujur, Mandikapau, Kabupaten Banjar.

Pemantauan lahan tersebut juga melalui pemantauan udara menggunakan pesawat tanpa awak.

“Ada 7 blok dari 9 blok yang sudah ditentukan BP DAS untuk direhabilitasi. Tantangannya tidak sedikit, selain kontur perbukitan, lahannya juga tergolong kritis. Terutama di musim kemarau, ancaman api menambah rumit persoalan,” ujar Supervisor Das Rehabilitation Area 1 Luqmanul Hakim, dalam rilisnya yang diterima klikkalsel.com, Rabu (4/12/2019).

Sejak tahap awal dimulainya rehabilitasi DAS pada 2016,  kawasan tersebut selalu diancam dengan problem Karhutla yang juga menjadi kendala dalam proyek rehabilitasi DAS yang dilakukan Adaro.

Dikatakannya, program rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS), termaktub dalam satu pasal mengenai kewajiban PT Adaro Indonesia, saat pengajuan Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Melalui Badan Pelaksana atau BP DAS Barito, sejumlah kawasan kemudian dipindai. Lahan kritis seluas 8,772.59 hektare, ditetapkan untuk dihijaukan kembali.

Dalam pelaksanaannya, Adaro menggandeng PT RLI (Rehabilitasi Lahan Indonesia), melalui tiga tahap pengerjaan. Tahap 1 penyiapan lahan, tahap 2 (8 blok seluas 2,290.82 ha) dan tahap 3 (15 blok). Untuk tahap 3, jelas Luqman, baru tergarap 8 blok dengan luasan 1,437.25 ha.

Mengenai kawasan rehabilitasi DAS, kata Luqmanul Hakim, kerap muncul pertanyaan, kenapa tidak dilakukan di wilayah terdekat operasional Adaro. “Pernah ada satu kawasan di daerah Jaro yang ditunjuk menjadi area projek rehabilitasi. Saat kami survei, tegakkan pohonnya sudah tinggi. Kawasan itu, sudah menjadi hutan. Apa yang mau di rehabilitasi,” katanya.

Soal area, Adaro tidak memiliki wewenang menentukan. Pemerintah, melalui BP DAS Barito, bekerjasama dengan pihak terkait, merupakan penentu. Dari sejumlah titik berdasarkan hasil pemetaan BP DAS, Adaro mendapat lokasi di lahan kritis, berbatu, yang terbagi pada 3 desa berbeda di Kabupaten Banjar, Pulau Nyiur, Rantau Bujur dan Gunung Pematon di Mandiangin.

Tantangannya, ujar Luqman, tak hanya strategi menaklukkan lahan bandel. Kondisi sosial masyarakat, tak kalah hebatnya. Ada trauma masa lalu dari program serupa. Masyarakat dilibatkan menanam, dan dijanjikan bisa memanfaatkan.

“Namun, saat tanaman sudah cukup umur untuk dimanfaatkan, mereka malah dilarang, bahkan dianggap melakukan tindak kejahatan jika menebang pohon,” terangnya.

Jadilah, saat projek mau dimulai, penghadangan dengan parang, pengusiran, kerap menimpa. Selain pendekatan dan sosialisasi mengenai pelaksanaan program yang berlangsung simultan, strategi lain dengan melibatkan masyarakat, terutama pemilik kebun yang berdekatan dengan area projek. Keterlibatan masyarakat dalam rentang projek berjalan, menjadi penting, karena sejatinya ada kepentingan yang saling bersisian, terutama mencegah kebakaran lahan.

Meski demikian, beragam upaya mendukung keberhasilan projek, mesti beriringan. Tingkat pertumbuhan tanaman yang siap diserahterimakan pada pemerintah, harus mencapai 80 persen.

“Namun, di Kalsel aturannya lebih ketat, serah terima baru bisa dilakukan saat tinggi tumbuhan mencapai 1 Meter,” ungkap Luqman.

Di atas lahan kritis, terang QHSE Compliance Department Head Adaro, Didik Tri Wibowo yang ikut meninjau langsung perkembangan projek Rehabilitasi DAS, bersama Kepala Teknik Tambang (KTT) PT Adaro Indonesia Suhernomo, BRO Department Head PT Adaro Indonesia Abdurrahman, QHSE Advisor Agus Subandrio, dan Mine Rehabilitation & Reclamation Department Head Adetya Bayu Nasution, mengungkapkan, cukup sulit melakukan upaya rehabilitasi.

“Tantangannya tidak mudah, banyak aspek selain rendahnya tingkat kesuburan tanah,” jelasnya. (ril/arif)

 

Editor : Akhmad

Tinggalkan Balasan