Jejak Sejarah Perusahaan Listrik Pertama di Zaman Hindia Belanda

Jejak Sejarah Perusahaan Listrik Pertama di Zaman Hindia Belanda
Perusahaan listri di zaman Hindia Belanda (sumber, Mansyur Ketua LKS2B Kalimantan)

Namun, seiring berjalanya waktu, kinerja yang amat baik dari ANIEM harus terputus karena pendudukan tentara Jepang di Indonesia pada tahun 1942.

Pada masa jepang, sebelum Jepang memasuki kota Banjarmasin Belanda telah melakukan pembumihangusan. ANIEM listrik hanya tinggal pondasi. Karena itulah ketika perang dunia kedua mulai berkecamuk dan memasuki wilayah Hindia Belanda, banyak perusahaan – perusahaan Belanda yang gulung tikar atau diambil alih oleh para pasukan imperial Jepang.

Alhasil, pada masa kurun waktu 1942 ketika awal pendudukan Jepang sampai permulaan Agresi Militer Belanda, ANIEM terpaksa harus mati suri.

“Sejak pendudukan tentara Jepang, perusahaan listrik diambil alih oleh pemerintah Jepang,” ujarnya.

Lebih lanjut kata Mansyur, urusan kelistrikan di seluruh Jawa kemudian ditangani oleh sebuah lembaga yang bernama Djawa Denki Djigjo Kosja. Nama tersebut kemudian berubah menjadi Djawa Denki Djigjo Sja dan menjadi cabang dari Hosjoden Kabusiki Kaisja yang berpusat di Tokyo.

Djawa Denki Djigjo Sja dibagi menjadi 3 wilayah pengelolaan yaitu Jawa Barat diberi nama Seibu Djawa Denki Djigjo Sja yang berpusat di Jakarta, di Jawa Tengah diberi nama Tjiobu Djawa Denki Djigjo Sja dan berpusat di Semarang, dan di Jawa Timur diberi nama Tobu Djawa Denki Djigjo Sja yang berpusat di Surabaya.

Pengelolaan listrik oleh Djawa Denki Djigjo Sja berlangsung sampai Jepang menyerah kepada Sekutu dan Indonesia merdeka.

Ketika Jepang menyerah kepada Sekutu, para pekerja yang bekerja di Tobu Djawa Denki Djigjo Sja berinisiatif untuk menduduki lembaga pengelola listrik tersebut dan mencoba mengambil alih pengelolaan.

Baru pada tahun 1947 ketika pasukan sekutu dan Belanda mulai memasuki bekas wilayah operasi ANIEM, perusahaan ini mulai berbenah dan menata kembali perusahaannya.

“Akan tetapi, dikarenakan banyaknya kerusakan pasca perang kemerdekaan di beberapa pembangkit listrik dan banyaknya salah urus semasa pendudukan Jepang, maka ANIEM harus banyak mengeluarkan biaya untuk berbenah,” paparnya.

Baca Juga : Barabai Memiliki Catatan Sejarah Banjir Sejak 1928

Baca Juga : Kerusuhan 23 Mei 1997 Sejarah Kelam Banjarmasin, Nurjanah : Suara Adzan Dimana-mana

Kemudian, untuk menjaga agar listrik tidak menjadi sumber kekacauan, pada Oktober 1945 pemerintah membentuk Djawatan Listrik dan Gas Bumi yang bertugas untuk mengelola kelistrikan di Indonesia yang baru saja merdeka.

Usaha mengelola kelistrikan ternyata bukanlah pekerjaan yang mudah, di samping karena status kepemilikan pembangkit-pembangkit yang belum jelas juga karena minimnya pengalaman pemerintah dalam bidang kelistrikan.

“Sebagian besar pembangkit rusak parah karena salah urus di masa pendidikan tentara Jepang,” terangnya.

Hingga Memasuki masa kemerdekaan, kata Mansyur kondisi ANIEM tidak menjadi semakin baik. Adanya beberapa isu sensitif seperti pengakuan kedaulatan pada KMB tahun 1949, konflik pembebasan Irian Barat, isu nasionalisasi bekas perusahaan Belanda, dan adanya krisi ekonomi di Indonesia pada tahun 1950an membuat ANIEM harus rela siap – siap untuk tutup buku.

Keinginan untuk mengembalikan masa kejayaan era kolonial atas listrik di tanah jajahan tidak pernah terulang lagi.

“Maka pada 1 November 1954, berakhirlah sudah masa – masa keemasan Sang Raksasa Penguasa Listrik Hindia Belanda ini,” ungkapnya.

Lalu, pada masa Orde Lama hingga Orde Baru di Banjarmasin, di Hulu Sungai Riam Kanan terdapat Proyek Listrik Tenaga Air yang memenuhi kebutuhan listrik 30.000 K.W.

Semenjak diresmikan P.L.T.A. Riam Kanan di tahun 1973 tahap I itu, kata Mansyur barulah menghasilkan tenaga listrik sebesar 20.000 Kw dan selanjutnya ditingkatkan menjadi 30.000 Kw.

Aliran listrik tersebut didistribusikan untuk melayani 3 buah Daerah Tingkat II, yaitu Kotamadya Banjarmasin, Daerah Tingkat II Banjar (Martapura) dan Kotamadya Administratif Banjarbaru.

“Dari sinilah kemudian berkembang perusahaan-perusahaan industri yang membangkitkan tenaga listrik sebanyak 170 buah dengan daya bangkit sebesar 15.333,28 Kw,” ungkapnya lagi.

Sedang industri yang menyuplai tenaga listrik dari Perusahaan Listrik Negara sebanyak 144 buah dengan daya sebesar 459,83 Kw, ditambah 8 perusahaan baru memerlukan 1.126,3 Kw guna memperluas usahanya.

“Dari tenaga listrik P.L.T.A. Riam Kanan masih banyak berlebihan dan tarifnya murah walaupun demikian sampai tahun 1975 an masih relatif industri yang berlangganan. Karena kesulitan transmisi dan distribusi yang belum sampai ke daerah lokasi perusahaan-perusahaan industri,” pungkasnya. (airlangga)

Editor: Abadi