Barabai Memiliki Catatan Sejarah Banjir Sejak 1928

Foto : Banjir di Barabai tahun 1928, koleksi KITLV.

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Awal tahun 2021 lalu, Kalimantan Selatan mengalami musibah besar. Saat itu terjadi banjir dengan skala besar di 5 Kabupaten/kota dan sekitarnya yang merupakan dampak dari air bah.

Satu diantara yang mengalaminya adalah wilayah Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST). Wilayah tersebut merupakan yang terparah pada tahun 2021 lalu saat terjadi banjir.

Ketua LKS2B Kalimantan, Mansyur mengungkapkan jika banjir di wilayah tersebut rupanya sudah sering terjadi, bahkan sejak periode Kolonial Hindia Belanda hingga masa kemerdekaan. Banjir di wilayah Borneo bagian selatan (Kalimantan Selatan) memang kerap terjadi tiap tahun. Walaupun tingginya bervariasi, akan tetapi debitnya tidak terlalu tinggi.

“Banjir di Barabai tahun 2021 menjadi yang terburuk dalam sejarah. Banjir pada tahun 1928 hanya mencapai sekitar 45 centi. Berbeda dengan banjir tahun 2021, yang mencapai 1,5 hingga 2 meter,” kata Mansyur, Kamis (23/6/2022).

Dalam history, Mansyur menjelaskan seperti apa yang ditulis Hendrik Juriaan Schophuys dalam Het Stroomgebied Van De Barito (1936), bahwa banjir yang termasuk kategori berbahaya dan ditakuti penduduk terjadi sekitar bulan-bulan musim timur.

“Juli sampai Oktober,” ungkapnya.

Banjir di wilayah Hulu Sungai terutama Barabai memang sering terjadi. Sementara di area Gemeente Banjarmasin sendiri sangat minim.

“Satu diantaranya berkat upaya Fhonius, seorang Insinyur pengelolaan air di Banjarmasin, yang telah merancang Kota tersebut menjadi wilayah minim banjir,” jelasnya.

Sementara itu, kata Mansyur, G. L. Tichelman (1931), dalam laporannya merilis bahwa Onderafdeeling Barabai adalah area yang dialiri dua sungai utama yakni Sungai Barabai dan Sungai Batang Alai.

Keduanya mengalir dari lereng sebelah barat pegunungan yang berbatasan dengan wilayah Tanah-Bumbu (Pegunungan Meratus).

“Sungai Barabai, di selatan Sungai Batang Alai, merupakan anak sungai Sungai Paki dan Sungai Batu Tangga serta Sungai Batu Dinding di hulunya,” imbuhnya.

Baca Juga : Catatan Sejarah Perkembangan Barisan Pemadam Kebakaran Swadaya di Banjarmasin

Baca Juga : Tahukah Anda Sejarah Asal Mula Kampung Basirih? Simak Penjelasan Sejawaran

Seperti pada umumnya, sungai di area pegunungan, memang mengalir pelan di musim timur. Tetapi kadang pada di musim barat sungai ini mengalami banjir beberapa kali, membanjiri dataran rendah dan melarutkan semua yang menghalanginya dengan kecepatan tinggi.

“Untungnya, kala itu lama terjadinya banjir bandang hanya berumur pendek,” jelasnya.

“Dalam catatan Tichelman, banjir tertinggi yang diamati di Barabai (tanggal 13 Januari 1928) hanya berlangsung sekitar 30 jam. Ketinggian air tertinggi di alun-alun di Barabai (sekarang lapangan Dwiwarna) adalah sekitar 45 centimeter,” sambungnya.

Sementara itu di wilayah Pagat, lanjutnya, laju aliran terendah dan tertinggi ditemukan antara 8 dan 190 meter per detik. Banjir yang terjadi di tahun 1928 ini lalu diabadikan Tichelman ke dalam beberapa buah foto banjir di Jalanan Barabai bertema ‘overstroomde straat te Barabai’.

Lebih lanjut, Mansyur mengungkapkan, Francis Henry Hill Guillemard dalam Australasia Malaysia and the Pacific Archipelagoes, juga menuliskan sama.

Wilayah Barabai dan Amuntai, adalah wilayah yang mengalami banjir secara berkala. Banjir tertinggi yang diamati di Barabai (pada 13 Januari 1928) hanya berlangsung kurang lebih 30 jam.

“Dalam koran Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, edisi 10 April 1929, koresponden menuliskan pengalamannya tentang Banjir di Borneo bagian selatan. Dalam perjalanan dengan mobil bersama seorang kenalan bisnisnya ke Hoeloe Soengei, setelah hujan deras selama beberapa hari di pegunungan. Terlihat jelas di sana-sini dari jalan pos (Jalan A Yani sekarang) di berbagai ruas jalan antara Martapura dan Rantau genangan besar bahkan tiga perempat meter dalamnya,” ceritanya.

Mobil-mobil yang lewat dengan barang-barang yang diperlukan dan penumpang, kala itu kata Mansyur harus didorong untuk melanjutkan perjalanan.

Menurutnya, akan cukup beruntung bisa melewati semua genangan air tanpa masalah dan jika tanpa bantuan warga kampung saat itu. Tidak seperti beberapa mobil perlu bantuan puluhan warga kampung, termasuk mobil yang sarat muatan yang ditemui.

“Sayangnya pada beberapa area aliran banjir yang mengalir dekat dengan jalan raya, jalan-jalan tersebut tidak dinaikkan tanggulnya selama bertahun-tahun untuk tetap bebas dari banjir di musim hujan, yang merupakan hambatan besar bagi ratusan mobil pada masa itu,” pungkasnya. (airlangga)

Editor: Abadi