Diduga Lakukan TPPU Mantan Bupati HST Kembali Disidang di Pengadilan Tipikor Banjarmasin

Jaksa KPK saat menunjukan surat dakwaan kepada Majelis Hakim Tipikor Banjarmasin yang disaksikan kuasa hukum Abdul Latif mantan bupati HST

Setelah mendengarkan pembacaan dakwaan, oleh Jaksa Penuntut KPK, terdakwa Abdul Latif yang hadir secara virtual dengan didampingi penasehat hukumnya, kemudian mendapat kesempatan oleh Majelis Hakim yang dipimpin jamser Simanjuntak untuk mengajukan rksepsi.

Tanpa berpikir panjang, kesempatan itu dimanfaatkan terdakwa untuk menyampaikan eksepsi pribadi yang sedari awal sudah disiapkannya.

“Izinkan saya menyampaikan eksepsi pribadi saya yang mulia hakim,” kata Abdul Latif.

Dalam kesempatan itu, terdakwa Abdul Latif mengatakan keberatan terhadap dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa KPK.

Sebab, dirinya beranggapan tidak pernah meminta dana bantuan untuk kepentingan pribadi.

Selain itu juga, sebelum penetapan tersangka kasus dugaan gratifikasi dan TPPU pada Januari 2018 yang lalu, tidak ada satu orang lain pun yang pernah diperiksa dalam perkara tersebut.

“Penyidik hanya berasumsi dari BAP suap saja, hak klarifikasi saya terhadap alat bukti yang dimiliki oleh KPK tidak pernah terjadi, sehingga alat bukti tersebut sangat diragukan kebenarannya,” jelasnya.

Kemudian, kata di saat dilakukan penyitaan dan blokir dinilainya tidak didasari peraturan perundang-undangan.

“Penyitaan tidak dilakukan screening, yang ujung ujungnya hampir semua yang disita tidak ada terkait dengan kasus suap yang dituduhkan,” lanjutnya.

Atas dasar itu, dalam eksepsi tersebut, terdakwa memohon kepada Majelis Hakim, agar dapat membatalkan dakwaan JPU dan atau memerintahkan JPU dengan penetapan untuk mengembalikan semua barang sitaan yang tidak termasuk dalam dakwaan.

Usai penyampaian eksepsi tersebut, Majelis Hakim kembali memberikan kesempatan kepada JPU KPK untuk memberikan tanggapan terhadap eksepsi tersebut.

Yang mana tanggapan tersebut akan disampaikan dalam agenda sidang berikutnya, yang akan digelar pada hari Rabu (25/1/2023) mendatang.

Ditemui usai persidangan, Penasehat Hukum Terdakwa, Joni Politon mengatakan, adanya ketidakadilan dalam perkara ini, seperti saat proses penetapan tersangka kepada terdakwa.

Baca Juga : Pengadilan Negeri Banjarmasin Terima Pelimpahan Berkas Bupati HSU Non-Aktif dari KPK

“Saat dinyatakan sebagai tersangka, itu belum pernah ada pemeriksaan terlebih dahulu, saksi saksi dan segala macam,” ucapnya.

Selanjutnya, ucap Joni, terkait barang bukti yang disampaikan oleh JPU KPK, itu merupakan barang bukti yang dibeli oleh Abdul Latif saat menjadi pengusaha.

“Bukti bukti pendukung itu, yang berkaitan dengan objek yang disita itu, semua dibeli di bawah tahun 2015, padahal dia menjadi bupati pada tahun 2016,” ungkapnya.

Sementara itu, JPU KPK, Ikhsan Fernandi menjelaskan, terkait keberatannya dan eksepsi oleh terdakwa dan penasehat hukum, itu merupakan hak mereka.

“Nanti akan kita tanggapi minggu depan eksepsi tersebut,” kata Ikhsan.

Ikhsan juga mengungkapkan, terdakwa terkena TPPU dengan total kurang lebih sebesar Rp 41,5 Miliar, yang didapat dari beberaa rekanan yang ada di beberapa SKPD, saat menjabat sebagai bupati Kabupaten HST.

“Untuk TPPU nya, baik penyetoran uang, pembelian obligasi, pembelian rumah mobil, dan macam macam,” jelasnya.

Lebih jauh, kata Ikhsan dalam perkara tersebut, pihak JPU KPK rencananya akan menghadirkan sekitar 90 orang saksi.

Sementara terkait alat bukti yang disita yang dikatakan terdakwa, merupakan aset diatas tahun 2015, atau sebelum menjadi bupati, tutur Ikhsan, terkait itu tinggal nunggu pembuktiannya saja nanti.

“Mau tahun berapa, nanti akan ada saksi saksinya yang akan kita hadirkan,” imbuhnya.

Diketahui, KPK sebelumnya menetapkan Abdul Latif sebagai tersangka dalam tiga kasus dugaan korupsi, yakni suap, gratifikasi, dan TPPU. Dia sudah divonis bersalah dalam kasus suap.

Abdul Latif dinyatakan bersalah dan divonis 6 tahun penjara serta denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan serta dicabut hak politiknya selama 3 tahun.

Hukuman tersebut diperberat di tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Abdul Latif dihukum 7 tahun penjara dan denda Rp 300 subsider 3 bulan kurungan.

Pada tingkat kasasi, hukuman Abdul Latif ditambah dengan kewajiban membayar uang pengganti Rp 1,8 miliar. Sementara hukuman penjara, denda, dan pencabutan hak politik tetap seperti tingkat banding. (airlangga)

Editor: Abadi