Bus Trans Kota Dinilai Bikin Angkot Mati Suri, Sopir: Merebut Piring Nasi Kami

Angkutan umum mangkal di Jalan A Yani kilometer 6

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Belakangan ini para sopir angkutan umum kota (taksi kuning) mengaku terancam akan mati suri lantaran sepinya penumpang sejak adanya Bus Trans Kota yang kian aktif beroperasi.

Hal itu diungkapkan, Muhriani (59) yang mana dirinya merasa lesu karena sudah sangat jarang mendapatkan penumpang yang mau naik di angkutannya.

“Itu pang yang mematikan kami, kalau tidak ada bus itu masih ramai taksi itu,” ujarnya, Kamis (30/6/2022) saat mangkal di kawasan Jalan A Yani Kilometer 6.

Berkurangnya jumlah penumpang itu, setahu Muhriani karena naik Bus Trans Kota tidaklah dipungut biaya atau gratis. Atas dasar itu dia menilai masyarakat lebih memilih naik Bus Trans Kota ketimbang angkutan lain.

“Haltenya juga sudah banyak. Kalau kami sekarang penumpang kadang-kadang yang naik berdua. Mau tidak mau tetap diantar, berharap di jalan ada penumpang lain yang naik, tapi faktanya tidak ada, jadi habis minyak lagi,” tuturnya.

Hal itu lah, kata Muhrani yang membuatnya lesu baik sedang mangkal di kawasan Jalan A Yani Kilometer 6 maupun Terminal Pasar Antasari.

“Semua sama saja, baik mangkal di sini maupun di sana,” imbuhnya.

Bahkan, ia juga mengungkapkan dalam sehari juga pernah tidak ada satupun penumpang yang naik.

“Rp 50 ribu mengisi minyak, keliling tidak ada penumpang habis uang tidak kembali, pemasukan tidak ada,” cerita pria yang sudah hampir 30 tahun berprofesi sebagai sopir itu.

Baca Juga : Banjarmasin Masuk Dalam Uji Coba Beli Pertalite dengan Mypertamina, Ini Caranya!

Baca Juga : Jelang Dimulainya Uji Coba MyPertamina di Kota Banjarmasin, Sopir Angkot: Ribet, Kalau Bisa Ada Kebijakan

Hal yang sama juga dirasakan Raffi atau lebih akrab disapa Utuh Kucik (55), menurutnya baik angkutan jurusan dalam kota, ke Ulin atau Gambut dampak ini dirasakan sekitar 80 persen.

“Ini faktornya karena pemerintah mengadakan Bus Trans Kota,” tegasnya.

Menurutnya, pemerintah seharusnya tidak boleh mengadakan kecuali angkutan dengan plat berwarna kuning ini tidak ada.

“Ini sama merebut nasi di piring kami,” ungkap pria yang sudah berprofesi sopir angkutan selama 30 tahun itu.

Hal itu juga yang pihaknya sayangkan, karena Bus Trans Kota tidak memungut biaya yang membuat jasa pihaknya menjadi mati suri atau tidak digunakan masyarakat lagi.

Akan tetapi, hal itu dapat berbeda jika seandainya pemerintah kata Raffi, mau mengganti rugi pendapatan satu kali tarik angkutan maka tidak akan menjadi masalah bagi para sopir.

“Atau para sopir dipanggil, lalu diangkat semua bekerja. Ini dinilai berpihak, dimana keadilan dan letaknya Pancasila, ini yang disayangkan bagi kami para sopir angkutan baik jurusan dalam kota, ulin atau gambut,” tuturnya.

Kendati demikian, pihaknya berharap agar pemerintah dapat membijaki lagi permasalahan ini dan memikirkan nasib para sopir.

“Artinya Bus Trans Kota tetap ada boleh kalau sama sama mencari rezeki, contoh misalnya pelajar atau pegawai Negeri gratis, dan jangan lah umum gratis juga,” pungkasnya. (airlangga)

Editor: Abadi