MARTAPURA, klikkalsel.com – Polemik sengketa pertanahan di Desa Kayu Bawang, Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar yang menjerat H Kahpi (72) sebagai terdakwa ke meja hijau Pengadilan Negeri (PN) Martapura.
Kasus yang dilaporkan oleh HS ke Direskrimum Polda Kalsel sejak 2022 lalu, kini sudah berproses di Pengadilan Negeri (PN) Martapura, dengan sidang pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kamis (21/11/2024).
Terdakwa Kahpi menjalani persidangan tersebut ditemani dua orang penasehat hukum-nya (PH) Raden Rahmat Dannur, S.H, CPM dan Cindy Maharini, S.H dari Kantor Advokat C. Oriza Sativa Tanau & Rekan.
Dalam tuntutan yang dibacakan oleh JPU, lelaki kelahiran Pamangkih, Hulu Sungai Tengah (HST) ini dituntut bersalah melakukan tindak pidana, dengan menjatuhkan hukuman penjara 1 tahun serta membayar biaya perkara sebesar Rp. 5000 rupiah.
Hukuman pidana yang ditujukan kepada Kahpi tersebut adalah Pasal 385 Ayat 1 KUHPidana Subsider Pasal 266 KUHPidana. Yang mengatur barang siapa menjual, menukar, atau membebani dengan kredit sesuatu hak atas tanah, gedung, bangunan, penanaman, atau pembenihan di atas tanah yang belum ber-sertifikat, padahal diketahui atau yang mempunyai haknya adalah orang lain. Serta pasal yang mengatur tentang pemalsuan surat berharga, khususnya menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik.
Persidangan kasus ini, dijadwalkan kembali pada Selasa 26 November mendatang, dengan tahapan pembacaan Pledoi (pembelaan secara lisan atau tertulis).
Saat ditemui klikkalsel.com selepas sidang, Raden Rahmat Dannur mengaku, jika dalam Pasal 385 ini yang disangka-kan kepada klien-nya dari proses penyidikan, dakwaan hingga pemeriksaan sampai tuntutan tidak ada yang jelas terkait kepemilikan tanah yang tengah diperkarakan.
Bahkan ia memaparkan Surat Edaran Kejaksaan agung (Kejagung) Republik Indonesia (RI) Nomer B230/E/EJP/01/2013 tentang penanganan tindak pidana umum yang objek berupa tanah, harus dihati-hati-kan dalam mengangkatnya.
“Harus ditentukan dulu objek-nya dan Kepemilikan siapa? Melalui sengketa keperdataan (dengan melakukan peninjauan setempat, red),” ungkapnya saat dikonfirmasi klikkalsel.com selepas sidang.
Baca Juga : Tim Hukum MMI Beberkan Fakta Pengancaman Sumardi Terhadap Pekerja Asing
Baca Juga : Pimpinan Dewan Banjar Dapat Mobil Dinas Hyundai Palisade 2.199 CC Bernilai Rp 1 Miliar Lebih
Sementara itu ia berpegang dari Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 1956, harus dilakukan penyelesaian terlebih dahulu atas hak keperdataan, untuk menentukan siapa pemilik atas tanah yang disengketakan.
“Jadi dengan dasar-dasar ini memang harus diselesaikan dengan Perdata, baru bisa melaporkan. Namun hingga fakta persidangan pun tidak ada melakukan sengeketa Perdata yang muncul,” ucapnya.
Rahmat mengungkapkan, jika klien-nya pernah ditetapkan sebagai tahanan rumah atau kota selama 2 Minggu oleh Kejari Kabupaten Banjar, dengan mengacu pada Pasa 266 KUHPidana. Namun ia menyayangkan, dalam penetapan sebagai tahanan tersebut tidak ada diserahkan Surat Pemberitahuan Penahanan (SP-Han) kepada dirinya dan klien.
“Karena ketika terdakwa dilakukan pemeriksaan di pengadilan harus dalam keadaan bebas merdeka, bahkan rantai-pun tidak bisa mengikat, kami ajukan itu kemarin, sehingga gelang kaki dilepas oleh JPU,” jelasnya.
kembali Rahman meminta dalam perkara ini harus diselesaikan keperdataan-nya, baru berjalan Pidana-nya.
“Untuk hakim saya meminta putusan seadil-adilnya nanti dan bisa diselesaikan dulu siapa pemilik sah dari sengketa Keperdataan ini. Dan saya akan mengusahakan terdakwa harus bebas,” ucapnya.
Untuk diketahui, dalam perkara tersebut H Kahpi memiliki surat alas hak atas tanah yang tengah diperkarakan dikeluarkan pada 10 Oktober 1988 dengan bentuk SKL Nomor: 72-37/AGR/LUB/X/1988 atas nama dirinya.
Sedangkan tanah yang dimiliki oleh pelapor berupa SKT yang dikeluarkan pada 5 Maret 1992 untuk SMN yang dijual kepada pelapor HS, dengan SHM yang dikeluarkan pada 1997.
Sementara itu, Kepala Seksi (Kasi) Intel Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Banjar, Robert Iwan Kandun saat dikonfirmasi klikkalsel.com pada Minggu (24/11/2024) sore di Banjarbaru menjelaskan, jika SKL yang dimiliki oleh terdakwa hanya merupakan dokumen pendukung dalam mengajukan kepemilikan alas hak tanah (SHM). Namun kedudukan SKL ini tidak boleh tumpang tindih atau ada kepemilikan ganda.
“Saya jelaskan, saat reformasi agraria di tahun 1960 lalu, SHM merupakan bukti autentik kepemilikan suatu tanah,” terangnya mewakili Kepala Kejari Kabupaten Banjar, Bambang Rudi Hartoko.
Lebih lanjut, ia memaparkan jika terjadi tumpang tindih dalam perkara pertanahan tersebut, harus dilakulan gugatan keperdataan, sebagai dasar mengetahui pemilik sah atas tanah.
“Dalam perkara ini, kuasa hukum atau terdakwa tidak ada mengajukan gugatan perdata, serta tidak ada melakukan pemblokiran oleh kedua pihak. Juga terdapat gugatan Tata Usaha Negara (TUN) dalam perkara ini, tapi tidak disampaikan oleh Penasehat Hukum (PH) dalam eksepsi dan pembuktian subtansi perkara kemarin,” bebernya.
Dengan dasar tersebut, ucap Robert, JPU menilai adanya unsur pidana yang sebelumnya menang gugatan di TUN.
Selain itu ia membeberkan, jika Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah mengeluarkan sikap mengenai batas tahan milik terlapor atau pelapor telah terjadi overlappin (mengenai batas-batas tanah milik orang lain).
“Jadi jika dilihat secara menyeluruh, perkara ini dapat disimpulkan sebagai konteks adanya mapia tanah,” sebut Robert.
Ditanya terkait pengakuan terlapor dan PH yang tidak menerima surat perintah penahanan rumah atau kota? Ia menegaskan jika pihaknya telah menyerahkan pada saat Tahap 2 (tahap dalam proses penanganan perkara tindak pidana umum di kejaksaan, yaitu penyerahan tersangka dan barang bukti dari penyidik kepada JPU).
“Pasti dikasi pada saat tahap II, kalo perlu kami lihatkan bukti nanti,” tandasnya. (Mada Al Madani)
Editor: Abadi