Kisah Rumah Balai Bini di Pengambangan Hingga Menjadi Tempat Persembunyian Pejuang Banua

Rumah adat Suku Banjar, Balai Bini di Pengambangan yang juga sempat menjadi tempat persembunyian Pejuang Banua (Mansyur)

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Setiap daerah di Indonesia memiliki beragam bentuk rumah yang memiliki keunikan, fungsi dan ciri khas masing – masing serta menjadi warisan budaya.

Seperti di Kalimantan Selatan, khususnya masyarakat suku Banjar. Mereka memiliki sebuah rumah yang disebut dengan Rumah Balai Bini.

Dijelaskan Mansyur Dosen Sejarah FKIP ULM, rumah itu adalah jenis rumah baanjung yaitu rumah tradisional urang Banjar di Kalimantan Selatan. Rumah adat tipe Balai Bini pada era Kesultanan Banjar dihuni para puteri sultan atau keluarga sultan dari pihak perempuan.

“Karena peruntukannya sebagai tempat tinggal para puteri, maka rumah ini dinamakan Balai Bini. Dikenal juga dengan nama Rumah Baanjung Balai Bini,” jelasnya, Senin (26/9/2022).

Satu diantaranya, Rumah Banjar Balai Bini yang berlokasi di Jalan 9 November, Pangambangan Kelurahan Banua Anyar, Kecamatan Banjarmasin Timur.

“Selain memiliki ciri khas berarsitektur Banjar yang unik, juga mempunyai nilai historis sehingga cukup layak dijadikan sebagai Cagar Budaya,” ungkapnya.

Sejak dibangun tahun 1842 oleh Pambakal Kampung Pengambangan yang saat itu dijabat Haji Sanudin, bentuk bangunan ini tidak pernah mengalami perubahan signifikan.

Hanya saja seiring waktu, dibangun kamar tidur di bagian dalam rumah karena bertambahnya anggota keluarga.

Setelah H. Sanudin meninggal, rumah itu kemudian diwariskan ke putranya H Anang Syakrani yang pada era itu berprofesi sebagai pedagang tikar dan gula dari Banjarmasin ke Jawa dan Singapura.

“Dari dokumentasi generasi ketiga, Hj Nurhayani terdapat beberapa beberapa foto hitam putih sewaktu beliau berdagang di Kota Surabaya, Jawa Timur,” ungkapnya.

Kemudian juga terdapat beberapa peninggalan perabot rumah seperti lemari antik maupun lukisan yang dibawa dari Jawa.

Berdasarkan silsilah keluarga, H Anang Syakrani, kata Mansyur diketahui masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Datu Amin atau Mufti Muhammad Amin bin Shalihah atau Juragan Yakub binti Tuan Giyat/Qadhi Muhammad Saad.

“Beliau adalah Mufti Tua di daerah Kuin pada tahun 1876 (1294 H). Kemudian, menjadi Mufti Banjarmasin sejak tahun 1880 sampai 1896,” ujarnya.

“Demikian halnya dengan zuriat Syekh M. Arsyad Al Banjari di Martapura. Wajar kemudian K.H. Zaini Gani (Guru Sekumpul) waktu masih muda sering berkunjung ke rumah itu,” sambungnya.

Lebih lanjut kata Mansyur, rumah Pambakal Era Sultan Adam berusia sekitar 179 tahun, rumah balai bini menjadi saksi bisu penyelenggaraan birokrasi pemerintahan masa Kesultanan Banjar yang kemudian berlanjut pasca penguasaan Hindia Belanda tahun 1860.

Ada kemungkinan besar pemilik rumah H Sanudin memiliki hubungan kekerabatan dengan Kesultanan Banjar sehingga diberikan amanah menjadi pambakal.

Sebagai pembanding model rumah itu adalah rumah Kepala Distrik Margasari di depan Rumah Balai Bini yang didokumentasikan pemerintah Hindia Belanda sekitar tahun 1920.

“Dalam perkembangan dan dinamika Masyarakat Banjar, model rumah itu kemudian dibangun dan dipergunakan bagi masyarakat kebanyakan,” tuturnya.

Bagi masyarakat Suku Banjar, kata Mansyur bentuk rumah panggung adalah bentuk rumah yang paling ideal mengingat kondisi geografis yang cenderung di dataran rendah sangat memerlukan bentuk-bentuk rumah panggung.

Hak itu seiring dengan wilayah kekuasaan Pambakal Haji Sanudin pada masa itu cukup luas.

Baca Juga : Arba Mustamir Hari Turunnya Ribuan Bala Bencana, Ini Pesan Abah Guru Sekumpul

Baca Juga : Sejarah Stadion 17 Mei, Dibangun di Atas Tanah Lapang Bekas Sungai

“Apabila dibandingkan dengan catatan kolonial Hindia Belanda pada tahun 1890, Distrik Banjarmasin dengan Kota Banjarmasin sebagai ibu kota terdapat 32 buah kampung,” imbuhnya.

Satu diantaranya adalah Kampung Pangambangan dan Sungai Lulut. Jadi kemungkinan besar Pambakal Sanudin yang menjadi penyelenggara birokrasi di Kampung itu sesuai jabatannya.

Dari sumber lain dituliskan bahwa Wilayah Distrik Banjarmasin meliputi bagian dari Muara Sungai Barito sehingga Kampung Sungai Saluang (sekarang termasuk wilayah Barito Kuala) dan Kampung Sungai Tabuk (sekarang wilayah kabupaten Banjar) dengan wilayah inti Kota Banjarmasin.

“Diperkirakan H Sanudin dalam birokrasi pemerintahannya menjadi bawahan dari Ronggo. Ronggo adalah kepala orang-orang Banjar pada zaman Belanda,” jelasnya.

Pangkat sederajat Ronggo, tapi untuk golongan warga Arab dan Cina pada masa itu adalah Kapten Arab dan Kapten Cina.

Pada dekade tahun 1870-an, Ronggo adalah pemimpin masyarakat pribumi dalam satu onderafdeeling.

Pangkat yang pernah digunakan dalam bekas wilayah negara dependensi Kesultanan Banjar di bawah pemerintahan Hindia Belanda dari yang tertinggi sampai yang di bawahnya, diantaranya Regent (dihapuskan tahun 1884), kemudian Temonggong, selanjutnya Ronggo (dihapuskan 1905) serta Kiai dan Demang.

“Adapun Ronggo yang memerintah era itu adalah Pangeran Toemenggoeng Tanoe Karsa (30 Juni 1864), kemudian Raden Tomenggong Soeria Kasoema (6 Agustus 1876-1893) serta Ronggo Kiai Mas Djaja Samoedra (24 Maret 1893),” ungkapnya.

Diperkirakan sesuai dengan jabatannya sebagai Pambakal, diperkirakan H Sanudin bertanggung jawab kepada Ronggo dan mendapat gelar Kiai sehingga bergelar lengkap Kiai H. Sanudin.

Tempat Persembunyian Pejuang BPRIK
Rumah Pambakal H. Sanoedin yang berbentuk rumah Balai Bini ini juga memiliki nilai historis pada era Revolusi Fisik tahun 1945-1949.

Rumah ini dipergunakan sebagai satu diantara tempat persembunyian pemuda pejuang Badan Pemberontakan Rakyat Kalimantan (BPRK) di Banjarmasin yang menentang kembalinya Belanda yang ingin berkuasa kembali di Kalimantan Selatan.

Pada era itu rumah Balai Bini ditempati putera H Sanudin, yaitu H Anang Syakrani yang juga berprofesi sebagai pedagang.

Terdapat rentetan peristiwa yang menjadi latar belakang sehingga rumah ini kemudian dijadikan sebagai bagian tempat persembunyian para pejuang banua.

Wilayah Banjarmasin yang merupakan pusat konsolidasi kekuatan Belanda, bagian pemuda dari Persatuan Rakyat Indonesia (PRI) atau dikenal sebagai pemuda PRI dalam perundingan-perundingan antara tanggal 16-19 Oktober 1945 membentuk Badan Pemberontakan Rakyat Kalimantan (BPRK), di luar TKR yang ada, diketuai oleh A. Ruslan.

Program pokok dari BPRK agar dalam waktu singkat merealisasikan pemerintah Republik Indonesia di Banjarmasin seperti pernyataan yang telah diumumkan dalam suatu Kongres Pemuda Rakyat (Pemuda PRI).

Anggota-anggota BPRK sebagian besar adalah para pemuda dan di antaranya beberapa orang bekas Heiho. Untuk dapat berfungsi organisasi ini yang terdiri dari Dewan Penasihat.

“Markas Besar, Bagian Pertahanan dan Tenaga Pimpinan Kelaskaran, Badan Kontak dan Perlengkapan. Markas Besar BPRK di tempatkan di kampung Pengambangan,” ceritanya.

Oleh karena NICA telah mengetahui tempat kedudukan BPRIK yang menjadikan Pasar Lama sebagai Markas Besar BPRIK dipindahkan Ke Pengambangan atau Banua Anyar. Lalu, pada 4 November Belanda menyerang asrama eks Heiho di kota Banjarmasin.

Serangan Belanda ini mendapat perlawanan meskipun hanya dengan beberapa pucuk senjata ringan saja.

Akibatnya serangan tersebut Eks Heiho terpaksa meninggalkan kota dan bergabung ke Pengambangan tempat Markas Besar BPRIK yang baru.

Pada wilayah Pengambangan telah terkumpul para pemuda pejuang yang tergabung dalam badan perjuangan Sabilillah beranggotakan 99 orang di bawah pimpinan Panglima Malil Tafair dan Wakilnya Utuh Buaya.

“Persenjataan mereka terdiri dari senjata tradisional seperti keris, parang, tombak dan sebagainya. Puncaknya adalah peristiwa 9 November 1945,” ujarnya.

Serangan balasan terhadap Markas BPRIK di Pengambangan kemudian dilakukan Belanda pada tanggal 12-13 November dengan Kapal “Kelua”, tetapi para pejuang sempat menyembunyikan diri.

Pada kurun waktu inilah yang diperkirakan rumah Balai Bini kemudian dijadikan sebagai tempat persembunyian pejuang BPRIK.

Selanjutnya Belanda melakukan penangkapan terhadap penduduk Pengambangan yang dicurigai ikut terlibat dalam peristiwa tersebut. Karena itu banyak pimpinan BPRIK yang melarikan diri ke daerah Hulu Sungai dan daerah lainnya.

“Sebagian lagi tertangkap, antara lain M. Amin Effendi sendiri,” jelasnya.

Apabila dibandingkan dengan kondisi sekarang rumah Balai Bini hanya berjarak sekitar 20 meter dari lokasi tanda peringatan di desa Pengambangan berupa Tugu 9 November, lokasi markas BPRK.

“Karena itulah sangat memungkinkan sebagai tempat persembunyian pejuang Banjar era itu,” pungkasnya. (airlangga)

Editor: Abadi