BANJARMASIN, klikkalsel.com – Masyarakat Banjar, khususnya di wilayah pahuluan, Kalimantan Selatan (Kalsel) cukup kental dengan ilmu kedigjayaan. Dalam bahasa umum disebut ilmu kesaktian.
Hal tersebut merupakan bagian dari budaya Kalsel yang tidak bisa dipisahkan di lingkungan masyarakat.
Menurut, sejarawan dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) di Banjarmasin, Mansyur mengatakan, salah satu tujuannya agar tubuh pemilik atau pengguna kesaktian itu bisa taguh (kebal), disegani orang dan hal lainnya.
“Dari sumber penelitian kita, cara memperolehnya bervariasi. Mulai bauntalan (untalan), barajah, bamandi-mandi (mandi), mangaji, atau balampah (bertapa),” jelasnya, Senin (30/10/2023).
Satu diantara adalah barajah atau istilah lainnya bawafak. Hingga sekarang, pada wilayah pahuluan diyakini banyak Tuan Guru yang dipercaya bisa marajah atau membuat wafak.
Rajah atau wafak merupakan sebuah tulisan. Kalau dalam seni Islam mirip lukisan atau kaligrafi.
Teknik penulisannya dengan huruf, angka, dan simbol-simbol. Tetapi tidak sembarangan karena ada sarat dan maknanya yang mengandung rahasia.
“Maknanya hanya bisa dipahami orang-orang tertentu,” ujarnya.
Dalam catatan sejarah, terdapat wafak paling fenomenal yang dipakai Pangeran Antasari dalam Perang Banjar (1859-1863).
“Dari tulisan Willem Adriaan van Rees, De Bandjermasinsche Krijg van 1859-1863 terbit tahun 1865, terdapat gambar djimat of talisman (wafak) Pangeran Antasari dalam Perang Banjar yang terdiri dari satu buah wafak,” ungkapnya.
“Pada sumber lain dalam J.H. Maronier dalam Pictures of the Tropics (1967), dirilis enam buah gambar djimat of talisman (wafak),” sambungnya.
Gambar wafak itu, awalnya dikumpulkan oleh P.A.C.H.T.H Werdmüller von Elgg, tahun 1862 yaitu diantaranya milik Pangeran Antasari, Aminullah dan Pangeran Tonko Brahim (Pangeran Tuanku Ibrahim) serta para tokoh dalam Perang Banjar tahun 1859-1863.
Apabila ditelusuri lebih jauh, kata Mansyur, pada tanggal 28 April tahun 1767. Juga digunakan dalam penyerangan orang Inggris di bawah kepemimpinan Beeckman.
Dimana sekitar 300 orang Biaju menggunakan jimat dan membakar benteng pertahanan Inggris di sekitar wilayah Sungai Barito.
“Demikian juga dalam kasus di Kampung Moening (sekarang wilayah Rantau), Van Schendel bersama Kapten Graas serta kepala peleton lain diserang secara tiba tiba oleh pasukan dengan memakai tombak dan menggunakan wafak atau jimat,” jelasnya.
Penggunaan jimat yang berisi mantra dan angka bertuliskan ayat Al Quran memang menjadi karakteristik umum gerakan pada masa lampau.
“Beratib beamal. P.J. Veth, dalam tulisannya “Het beratip beamal in Bandjermasin” (1856), memaparkan bahwa Jimat-jimat, latihan kekebalan, tenaga dalam dan kesaktian lainnya pada situasi normal merupakan aspek kurang penting dalam persyarikatan walaupun punya daya tarik kuat,” kata Mansyur.
Lebih lanjut, dalam beberapa kasus laporan resmi Hindia Belanda menyebutkan, bahwa menjelang pemberontakan orang banyak mendatangi syaikh-syaikh tarekat yang punya nama sebagai ahli kesaktian, untuk minta dibaiat oleh mereka.
“Veth juga memaparkan bahwa terdapat kasus yang menarik adalah pemberontakan anti-Belanda di daerah
Banjarmasin sekitar tahun 1860-an,” ujarnya.
Baca Juga : Pengenalan Sejarah Islam di Kalsel, Puluhan Siswa SD di Tabalong Antusias Tonton Al-Banjari
Baca Juga : Jelujur Massal Kain Sasirangan Ukir Sejarah Peradaban Bangsa Indonesia dengan Pecahkan Rekor LEPRID
Pemberontakan itu, sudah berlanjut beberapa tahun ketika seorang guru mulai mengajar amalan yang dinamakan “beratip be`amal”.
“Veth menuliskannya sebagai varian amalan tarekat Sammaniyah. Orang berbondong bondong datang dan diberikan jimat-jimat,” tuturnya.
Kemudian, kata Mansyur, menurut Mujiburrahman (2013), satu hal yang sangat menonjol di masyarakat Banjar pada Abad ke-19 adalah gerakan keagamaan yang disebut Beratib Beamal, yang telah menjadi organisasi perlawanan militan melawan kekuasaan Belanda.
Tercatat beberapa kasus penyerangan terhadap Belanda di Amuntai, Kelua dan Kandangan, yang dilakukan oleh para
pengikut Beratib Beamal. Mereka menyerang dengan penuh keberanian, karena yakin apa yang dilakukannya adalah jihad fi sabilillah.
“Dilaporkan juga bahwa mereka membawa jimat-jimat,” ungkap Mansyur.
Berbeda dengan veth, dasarkan sebuah laporan Belanda, Sjamsuddin (2001) memperkirakan gerakan Beratib Beamal itu kemungkinan besar pengikut dari aliran Tarekat Naqsyabandiyah.
Sementara itu, Bruinessen berpendapat mereka adalah pengikut Tarekat Sammaniyah dengan alasan salah seorang anak Pangeran Antasari bernama Gusti Muhammad Seman adalah pengikut tarekat ini.
“Apapun nama tarekat itu, yang jelas adalah bahwa pada Abad ke-19, gerakan tasawuf di Banjarmasin bukan sekadar ajaran spiritual belaka, melainkan sudah menjadi gerakan
sosial,” tuturnya.
Dijelaskan Mansyur, Tarekat Naqsyabandiyah yang dianut pengikut gerakan Beratib Beamal memang merupakan satu dari dua tarekat yang paling ditakuti penjajah Belanda di Nusantara pada massa itu.
Menurut Mansyur, mengambil dari riwayat Azyumardi Azra, kedua tarekat yang paling dikhawatirkan Pemerintah Hindia Belanda itu adalah Tarekat Qadariyah dan Tarekat Naqsyabandiyah.
Lantas, mengapa penjajah takut terhadap dua tarekat tasawuf
itu?
Menurut Mansyur, kekhawatiran Belanda terhadap gerakan yang dimotori tarekat memang sangat beralasan. Sebab, begitu banyak perlawanan dan gerakan menentang penjajahan yang dipimpin Tokoh tarekat atau pengikut tarekat tertentu.
“Karena itulah, tarekat mendapatkan pengawasan khusus dari Belanda,” jelasnya.
Kemudian lagi, kata Mansyur, menurut Bruinessen, antara tasawuf dan tarekat memang terdapat dua persepsi yang bertolak belakang. Para pejabat penjajah Belanda, Prancis, Italia, dan Inggris lazim mencurigai tarekat karena dalam pandangan mereka, fanatisme kepada guru dengan mudah berubah menjadi fanatisme politik.
Lalu, tarekat Naqsyabandiyah, dalam Ensiklopedi Islam, tersebar ke Nusantara pada abad ke-19 M.
“Tarekat ini mengalami perkembangan pesat terutama ketika menghadapi Pemerintah Hindia Belanda,” tuturnya.
Annemerie Schimmel dalam Mystical Dimensions of Islam, mengemukakan tarekat bisa digalang untuk menyusun
kekuatan guna menandingi kekuatan lain.
Selain gerakan Beratib Beamal di wilayah Borneo (Kalimantan) bagian selatan sekitar arau Kalsel tahun 1859-1861, pada Juli 1888, wilayah Anyer di Banten Jawa Barat dilanda pemberontakan dipimpin oleh para ulama dan kiai.
Mengenai wafak, makin bermakna karena memiliki bentuk kaligrafi, geometrik dan pengulangan yang menjadi ciri khas seni Islam cukup nampak.
Bila dianalisa ternyata kekhasan seni Islam pada wafak ini tidak sepenuhnya meniru dari kekhasan seni Islam.