Opini  

Implementasi Blunder Kebijakan Publik

Kadarisman.

Oleh: Kadarisman
(Mahasiswa Pasca Sarjana Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lambung Mangkurat)

PSBB tahap dua di Kota Banjarmasin menuai blunder di tataran implementasi kebijakan. Setelah sebelumnya mencuatkan kontraproduktif antara Kasatpol PP dengan Walikota, kini beredar video viral antara petugas PSBB yang berjaga di batas Kota Banjarmasin dengan warganya.

Pada tayangan video, bagaimana wajah kebijakan tanpa ruh, gagal dijalankan dalam tataran implementasinya di lapangan. Perilaku implementator kebijakan selama ini menjadi penyumbang terbesar distorsi kebijakan itu sendiri.

Harus diakui kebijakan yang baik saja belum cukup. Birokrat kedodoran dalam semangat menghadirkan paradigma New Public Service. Rakyat bukan sekadar pelanggan sebagaimana konsep di dalam New Public Management. Tapi tuan dari bagian kebaikan dari tujuan kebijakan.

Seringkali petugas berlindung di balik tingkat kejenuhannya, untuk menjustifikasi betapa attitude nya memang kedodoran, lalu meminta publik untuk memaklumkan. Tapi yang pasti dan jelas, tak dapat tidak dikatakan sikap itu adalah pantulan cerminan wajah penghuni alam “gaib” birokrat sebenarnya.

Kebijakan lahir dari nilai moral yang kemudian menjadi ruh dari kebijkan. Itu yang harus melandasi pengabilan keputusan, kepemimpinan, manajemen dan organisasi dalam pengelolaan berpemerintah. Jika nilai ini gagal dimaknai, maka selamat datang di negara “Ambyar”

Membicarakan kebijakan dalam perspektif New Public Service (NPS) adalah bagaimana memandang kebijakan bagian dari pengakuan atas warga negara dalam posisi yang sangat penting dalam pemerintahan yang dijalankan secara demokratis. Jati diri warga negara harus dipandang sebagai pelibatan nilai, kepercayaan dan kepedulian.

Denhard dan Denhard yang bermazhab pada model NPS mengatakan, warga negara adalah owner of government. Kepentingan publik bukan dipandang sebagai agregasi pribadi atau kepentingan kekuasaan melainkan sebagai hasil dialog dalam mencari nilai dan kepentingan bersama.

Negara harus memberikan kepastian ruang perubahan dalam memandang apa yang dimaksud dengan kepentingan masyarakat. Bagaimana cara kepentingan tersebut diselenggarakan serta bagaimana administrator publik menjalankan tugasnya memenuhi kepentingan masyarakat.

Dengan demikian penerapan PSBB dapat diletakkan pada orientasi pelayanan kepada citizen sebagai pemilik kedaulatan. Abdi negara yang memandang selain itu hanya akan menyisakan stigma dan tidak akan mencapai sasaran yang sesungguhnya dari kebijakan itu sendiri.

Dalam terminologi Islam bahwa kebijakan harus ada dalam koridor amarma’ruf nahi munkar. Bagaimana tujuan kebaikan dalam kebijakan dapat tersampaikan dan diimplementasikan tanpa mereduksi nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Sehingga kemudian aparat penyelenggara negara dapat menegaskan wajah yang menjadi bagian rahmatan lil’alamin.

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah, lemah lembut dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl: 125).

Nilai-nilai ini harus ada dalam implementasi kebijakan. Karena arogansi rentan memicu perlawanan dari kebijakan yang dibuat sangat baik sekali pun. Apalagi kebijakan itu lahir dari sebuah “mengakali” untuk menghindari kewajiban “menunaikan” apa yang menjadi hak rakyat.

Bukankah PSBB ini produk “mengakali” rakyat. Rakyat diminta untuk “bahinip” di rumah saja, sementara pemerintah terhindar dari kewajibannya mengonpensaai dari kebijakannya. Ada UU karantina dengan segala konsekuensinya tetapi itu tak digunakan. Jadi wajar kemudian PSBB ini tidak begitu efektif dan mendapatkan penilaian miring banyak pihak.

Kebijakan harus dapat diaktualisasikan dalam konsep excellent Service. Ia tak hanya menuntut implementator memiliki ability atau kemampuan membangun komunikasi yang efektif pemerintahan tetapi juga mesti memiliki attitude.

Attitude atau sikap tak dapat dilepaskan dari kebijakan kepada maksud melayani masyarakat. Attitude harus menjadi representatif nilai-nilai iman, moral dan ketuhanan, juga wujud menghadirkan negara dalam setiap tindakan, sehingga serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan warga pengguna dapat memenuhi dari definisi pelayanan publik.

Video viral itu sama sekali melawan dimensi-dimensi pelayanan publik yang sudah lama menjadi bahasan para pakar. Bagaimana tidak, kita sama sekali tidak melihat ada unsur reaponsivenes atau juga empati. Birokrat implementator harus tampil sebagai wujud sejati yang layak menjadikan dirinya sebagai wujud negara sekaligus wujud dari kedaulatan rakyat atas dirinya.

Revolusi mental yang digaungkan sejak 6 atau 7 tahun lalu itu kemana? Kini tak lebih dari jargon kepentingan sempit elit penjual nilai moral, sehingga kebijakan publik selalu menuai blunder.*

Tinggalkan Balasan