Budaya  

Asal Usul Gelar Nanang dan Galuh Banjar Hingga sebutan Suanang serta Utuh

Mansyur, Penelitu Sejarah dari Lemnaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (LKS2B) Kalimantan

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Bagi warga Kalimantan Selatan khususnya di Kota Banjarmasin, gelar atau sebutan Nanang dan Galuh Banjar sudah menjadi hal yang tidak asing untuk memanggil laki-laki dan perempuan.

Apalagi di era modern ini, gelar Nanang dan Galuh Banjar menjadi sebutan bagi Duta Wisata di sejumlah daerah Kalimantan Selatan (Kalsel) dan menjadi icon pemuda pemudi yang melestarikan budaya dan pariwisata daerah.

Nanang adalah gelar untuk laki-laki, dan Galuh adalah gelar untuk perempuan. Lalu bagaimana sejarah nama nanang dan galuh Banjar itu muncul?

Peneliti sejarah dari Lembaga Kajian Sejarah, Sosial, dan Budaya (LKS2B) Kalimantan, Mansyur mengatakan, banyak versi asal nama Nanang Galuh itu.

“Versi pertama, Nanang berasal dari kata lanang atau Bahasa Melayu yang artinya laki-laki. Sementara Galuh artinya perak, ratna, dan intan,” jelasnya, Jumat (6/10/2023) kepada klikkalsel.com

Kemudian, pada versi kedua, Nanang atau Anang adalah suatu gelar bangsawan di Kesultanan Banjar. Nanang merupakan gelaran turun-temurun untuk anak lelaki Adipati dari Banua Lima dan anak cucu orang sepuluh Amuntai.

Semula gelar ini diperuntukan untuk kerabat Ampu Jatmaka, pendiri Negara Dipa (Amuntai) dan tidak boleh untuk kerabat dari istrinya.

“Sedangkan gelar Kiai merupakan gelar untuk kepala distrik yang baru diangkat,” ujarnya.

Keturunan kepala distrik belum berhak menyandang gelar Anang kecuali setelah turun temurun beberapa generasi memegang jabatan Kiai.

“Mengenai kapan dimulainya pemakaian nanang galuh, dapat ditelusuri kembali dalam Hikayat Banjar yang tahun 1663,” ungkapnya.

Dalam hikayat dituliskan, kata Mansyur terdapat penamaan Nanang sebagai bagian keluarga bangsawan. Dalam Sejarah Banjar, awal orang yang bergelar Nanang (Anang) diantaranya Nanang Sarang, tokoh etnis Biaju yang menikah dengan Gusti Nurasat, adik Sultan Musta’in Billah sehingga dianugerahi gelar Nanang.

Sultan Musta’in Billah sendiri adalah Sultan Banjar keempat yang memerintah antara tahun 1595-1642.

“Sementara itu, menurut Andin Ansyarullah, dalam tulisannya tentang penelusuran jejak nama Andin dan Rama, mengemukakan sejarah dari nama Rama-Andin dan Anang-Aluh merupakan sebuah sejarah perjalanan sebagian masyarakat Banjar,” tuturnya.

Dua kelompok ini berperan kuat dalam masyarakat Banjar, dari awal kesultanan terbentuk hingga saat ini.

Menurut Mansyur, memang Andin-Rama dan Anang-Aluh tidaklah sepopuler gelar kebangsawanan Banjar lainnya seperti Pangeran, Gusti atau Antung, yang masih terus dipertahankan oleh banyak keturunannya secara turun temurun.

Hal yang demikian juga diperkirakan terjadi pada gelar Anang-Aluh di wilayah Daha Negara yang kemudian oleh Raja Banua lima Kiai Adipati Singasari ibukota yang dipindah ke Banua Sungai Banar dekat amuntai.

Baca Juga : Izlal Dan Farah Resmi Sandang Gelar Nanang Galuh Kebudayaan Banjarbaru

Baca Juga : Hari Kesaktian Pancasila, Berikut Sejarahnya

Gelar Nanang dan Galuh dulunya, bukan hanya sebagai sebutan bagi anak laki-laki dan perempuan dalam keseharian semata.

Merujuk pada sejarah silam dalam “Hikayat Banjar” zaman kesultanan Banjar, Nanang atau Anang adalah
suatu gelar bangsawan di Kesultanan Banjar.

Dalam perkembangannya, Nanang atau Anang merupakan gelar turun – temurun untuk anak lelaki Adipati dari Banua Lima dan anak cucu orang Sepuluh Amuntai.

“Hal lainnya, menurut Humaidi (2016), semula gelar Nanang ini diperuntukkan bagi kerabat Ampu Jatmika, pendiri Negara Dipa (Amuntai) dan tidak boleh untuk kerabat dari istrinya,” ungkapnya.

Sedangkan Kiai merupakan gelar untuk kepala distrik, setingkat kecamatan pada zamannya yang baru diangkat.

Keturunan kepala distrik belum berhak menyandang gelar Anang atau Nanang kecuali setelah turun temurun beberapa generasi memegang jabatan Kiai.

Bagi keturunan perempuan dari Adipati Banua Lima dan juga anak Cucu Orang Sepuluh Amuntai, disebut dengan gelar “Aluh atau Galuh”.

Jika dihubungkan dengan gelar pada ajang Nanang-Galuh, memang tidak ada dasar untuk mengaitkannya dengan deretan keturunan Kesultanan Banjar.

“Namun, jika kita bisa memaknai, maka menyandang gelar Nanang-Galuh saat ini, berarti sebagai suatu kehormatan dan suatu pengabdian diantara banyak warga yang tidak bisa seenaknya menyandang gelar yang diakui tersebut,” imbuhnya.

Seiring perkembangan zaman, di sebagian daerah Kalimantan Selatan sebelum bayi mendapatkan namanya melalui proses batasmiyah, bayi tersebut dipanggil dengan panggilan khas masyarakat Banjar itu.

Sebutan ini di lingkungan kerabat dekatnya dapat saja terus melekat kepada anak itu meskipun telah diberi nama pada ritual batasmiyah.

Nama yang diberikan oleh orangtua tetap muncul dan digunakan di kehidupan sehari-hari. Meskipun
demikian, sebutan nanang dan aluh ini kadang-kadang tetap melekat di depan nama aslinya.

“Sebutan ini juga digunakan pada anak-anak yang belum dikenal namanya. Namun, pada kasus ini terdapat tambahan kata su di depannya sehingga menjadi su anang atau su aluh,” telasnya lagi.

Pada wilayah pahuluan, nama yang digunakan agak berbeda dengan nama yang telah disebutkan sebelumnya. Nama nanang dan galuh biasanya digunakan oleh masyarakat Banjar yang tinggal di sekitar Banjarmasin, Martapura, dan Pelaihari.

Daerah pahuluan merupakan daerah yang termasuk dalam daerah aliran sungai-sungai yang merupakan cabang sungai Negara.

Daerah ini dinamakan pahuluan, sedangkan masyarakat banjar yang tinggal di daerah ini disebut orang pahuluan.

Daerah yang dikategorikan dalam kelompok ini meliputi daerah Hulu Sungai di Kalsel, yaitu Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, dan Hulu Sungai Utara, serta Tabalong.

Nama panggilan di daerah ini adalah utuh bagi anak laki-laki. Kata ini kemungkinan berasal dari kata butuh yang dalam bahasa Banjar berarti kemaluan laki-laki.

“Adapun nama panggilan bagi anak perempuan tidak jauh berbeda, yakni aluh. Nama-nama ini merupakan panggilan khas masyarakat Banjar yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari,” pungkasnya. (airlangga)

Editor: Abadi