TANJUNG, Klikkalsel.com – Pemilu 2024 untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR RI, DPRD provinsi, kota dan kabupaten, serta anggota DPRD RI sudah semakin mendekat.
Pertarungan wacana dari bakal calon figur presiden sudah lebih dulu menghangat dalam perbincangan konstituen. Namun tidak kalah menarik dalam perebutan kursi di DPRD.
Sedangkan di Banua sendiri utak atik calon anggota legislatif dan penempatan dapilnya terus bergulir, dengan tujuan agar figur yang diajukan dapat meraih kursi di dapilnya masing-masing.
Lantas bagaimana partai politik menyusun calegnya agar mampu meraup suara di pileg nanti? Pemerhati politik Banua, Kadarisman memberikan tipsnya.
Menurut Kadarisman, sistem pemilu dengan proporsional terbuka memiliki konsekuensi politik berbiaya tinggi, sehingga calon legislatif yang mempunyai kekayaan memiliki peran strategis merebut kursi di dapil yang ia berkontestasi.
Lanjutnya, memasang caleg dengan faktor banyak uang dan royal berpotensi terpilih. Maka faktor pertamanya ialah kekayaan dan royal.
“Sistem proporsional terbuka menjadikan ajang pileg sebagai sebuah transaksional kepentingan sesaat yang berbasis kepada kebutuhan ekonomi, sehingga sebagai bangsa kita masih kesulitan mencari wakil rakyat yang memiliki kapasitas dan kemampuan memperjuangkan kebijakan untuk kebaikan bersama,” ujarnya Selasa (31/1/2022).
Baca Juga Politisasi Politik Identitas Oleh: Kadarisman (Pemerhati Politik Banua)
Baca Juga Politik Identitas Bawa Pengaruh Besar di Pencalonan DPD RI Dapil Kalsel
“Orang kaya masih begitu mudah memperdaya pemilih kita dengan uangnya,” tambah Kadarisman.
Hal kedua, menurut dosen luar biasa di beberapa perguruan tinggi swasta di Banua Anam ini adalah faktor keterkenalan.
Figur-figur yang populer memiliki potensi keberuntungan dan kemungkinan lebih besar dipilih oleh masyarakat dibanding yang tidak populer.
“Jadi jangan heran kalau partai politik doyan memasang caleg dari kalangan artis, kalau di level nasional. Namun untuk di Banua populer bisa muncul dari aktivis sosial, pernah menduduki jabatan publik, atau penceramah,” bebernya.
Faktor ketiga, menurut alumni UMPR dan ULM tersebut keterpilihan juga bisa dipengaruhi oleh stratifikasi sosial yang ada di dalam entitas masyarakat tertentu. Seumpamanya di masyarakat Banjar, kalangan habaib dan ulama memiliki daya tarik masyarakat yang mayoritas muslim.
“Karena itu tak sedikit nasab kehabiban itu dilekatkan sebagai nama, padahal habib sejatinya bukan sebuah nama bagi seseorang. Tapi karena itu strategis, maka dimintalah kepada pengadilan agar habib disematkan sebagai nama,” ungkapnya.
Menurutnya, hal tersebut tak salah, namun itu bagian strategi dalam pemilihan. Saat ini masih berlaku di kalangan masyarakat konservatif seperti di daerah Kalsel.
“Sementara di masyarakat modern, tidak berlaku, karena yang dipandang adalah kapasitas dan kapabilitas,” ujar Kadarisman.
Namun ada satu yang tidak kalah hebat, yakni Caleg memiliki kebaikan hati yang bergerak mengedukasi dan advokasi secara konsisten tanpa pandang musim.
“Orang yang hatinya baik akan selalu muncul dalam persoalan warga yang membutuhkan. Dia hadir tidak ketika musim pemilu, tetapi di setiap musim tanpa melihat tendensi politik apapun,” tutupnya. (dilah)
Editor: Abadi