BANJARMASIN, klikkalsel.com – Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia menggelar sosialisasi Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri di Kalsel.
Kegiatan sosialisasi yang dilaksanakan di Ballroom Swissbell Hotel Banjarmasin ini turut dihadiri, anggota DPR RI terpilih Rifqinizami Karsayuda sebagai keynotspeak.
Wakil Ketua LSF RI, Ervan Ismail, mengatakan bahwa, budaya sensor mandiri ini adalah upaya untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif tayangan film.
Kendati demikian, pihaknya juga terus mendorong setiap daerah agar potensi budaya, adat istiadat serta sesuatu yang terkait dengan nilai kearifan lokal bisa diangkat ke pentas Nasional melalui sebuah film.
“Kita tahu sendiri bahwa film-film yang datang dari Kalsel itu sangat kaya. Namun tinggal bagaimana film itu harus dikemas dengan sedemikan rupa agar nilai komersilnya juga ada,” ucapnya.
Melalui sosialisasi ini juga, pihak LSF ingin membangkitkan sikap kritis masyarakat Banjarmasin khususnya Kalsel, agar ketika menonton film atau konten tayangan bisa memilah mana yang positif dan mana yang negatif.
Baca Juga Dispersip Tanbu Nonbar Film Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
Baca Juga Film Jendela Seribu Sungai Anjlok, Penjualan Tiket Tak Sebanding dengan Nilai Produksi
“Satu film itu misalnya ada memiliki nilai-nilai yang baik tentu kita apresiasi. Tapi manakala film itu belum memiliki muatan yang pas untuk usia tertentu, misalnya anak-anak atau remaja maka adegan kekerasan atau sensualitas itu masih belum pantas untuk mereka,” tuturnya.
“Jadi itu perlu didampingi, agar mereka memiliki daya tolak yang berasal dari diri mereka itu sendiri atau lingkungan keluarga. Sehingga harapannya pengaruh film tadi bisa mereka seleksi sesuai dengan usianya,” lanjutnya.
Sementara itu, Ervan juga mengatakan bahwa selama tahun 2023, ada sebanyak 41 ribu judul film di Indonesia yang terkena sensor film, baik dibioskop maupun di layar kaca televisi serta sebagian jaringan informatika.

Puluhan ribu film yang terkena sensor karena terdapat muatan kekerasan atau sensual, namun tidak sesuai dengan usia. Sehingga ada beberapa catatan dan revisi yang diberikan pada film-film tersebut.
“Misalnya untuk usia 13 tahun atau remaja, itu seperti apa,” ungkapnya.
Akan tetapi, dengan perkembangan teknologi sekarang, Ia mengaku sulit untuk membendung hal itu. Alhasil, pihaknya pun menggandeng seluruh stakeholder terkait, agar masyarakat memiliki kesadaran kritis untuk memilah film atau konten-konten negatif secara mandiri.
Untuk di Kalsel sendiri, Ia menyampaikan bahwa sejauh ini tidak ada film yang terkena sensor film. Baik itu yang tayang di televisi maupun dilayar bioskop. Hanya menurutnya, perlu dikemas lagi agar memiliki nilai komersil.
“Kalsel punya beberapa film, misalnya yang sempat hits tembus box ofifice itu film Saranjana. Tidak ada yang terkena sensor atau dianggap bersamalah. Termasuk tayangan di televisi semuanya mengangkat unsur daerah,” tandasnya.(fachrul)
Editor : Amran