Pusat Bantuan Hukum Peradi MTP-BJB Kecewa Terdakwa Asusila di Tanah Laut divonis 9 Bulan

Sidanag Putusan Perkara Asusila di PN Banjarmasin

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Pusat Bantuan Hukum Peradi MTP-BJB mengaku sedikit kecewa dengan putusan Pengadilan Negeri (PN) Banjarmasin yang memvonis 9 bulan penjara kepada terdakwa kasus tindak pidana asusila di bawah umur yang terjadi di Kabupaten Tanah Laut 2019 silam.

Hal tersebut diutarakan Ketua Pusat Bantuan Hukum Peradi MTP-BJB, Samsul Bahri seusai persidangan dengan agenda putusan perkara asusila di PN Banjarmasin, Kamis (20/1/2022). atas korbanya MR (13) dan terdakwanya MA (17) yang ditahan di Sel Tahti polda Kalsel.

Kekecewaan itu muncul lantaran sebelumnya terdakwa MA, diketahui telah dituntut jaksa dengan hukuman 8 tahun pidana penjara, namun dalam persidangan Hakim Tunggal, Febrian Ali hanya menjatuhkan vonis hukuman 9 bulan penjara dan 3 bulan pelatihan kerja.

“Kecewa dengan putusan tadi karena jauh sekali dari tuntutan jaksa yang 8 tahun menjadi 9 bulan,” ujarnya seusai sidang.

Ketua Pusat Bantuan Hukum Peradi MTP-BJB Samsul Bahri

Menurutnya, putusan tersebut didasari karena salah satu bukti yang diajukan pihak korban tidak terungkap di dalam persidangan.

“Contohnya masalah sperma dengan ludah. Itu memang secara administrasi terlihat, tapi dalam persidangan tidak ada dokter yang menjelaskan,” sebutnya.

“Jadi jika bicara tentang aspek kekerasan seksual, tadi itu adalah pencabulan. Kalau membuka celana itu diakui oleh terdakwa,” sambungnya.

Atas dasar itulah, menurutnya majelis hakim hanya memberikan vonis 9 bulan hukuman pidana penjara dan 3 bulan pelatihan kerja.

Ditambahkan Hastati, anggota Pusat Bantuan Hukum Peradi MTP-BJB mengatakan, dalam persidangan tersebut seharusnya yang dimunculkan adalah fakta.

“Namun korban adalah orang berkebutuhan khusus dirasa ia tidak memiliki kemampuan untuk memunculkan fakta itu,” ujarnya.

Kemudian dari fakta tentang sperma dan ludah itu, ujarnya dokter yang memeriksa dengan dokter yang hadir di persidangan orangnya berbeda.

“Jadi keterangan dokter periksa dengan dokter yang hadir di persidangan itu tidak sama,” imbuhnya.

Hal itulah menurutnya menyebabkan tuntutan jaksa tercover yang seharusnya fakta-fakta di lapangan terungkap di persidangan menjadi tidak terungkap.

“Perlu digaris bawahi dari penjelasan hakim tunggal bahwa melihat korban dan terdakwa adalah sama sama anak di bawah umur. Jadi hanya Restorative Justicenya yang berlaku,” jelasnya.

Disamping itu, Jaksa Penuntut Umum, Masrita menanggapi putusan dari majelis hakim tunggal PN Banjarmasin mengaku pikir-pikir atas putusan tersebut.

“Pikir-pikir dulu dan dikoordinasikan dengan pimpinan,” ujarnya.

Sekedar diketahui, Faizah guru korban MR menjelaskan perkara tersebut terjadi pada Bulan Mei 2019 silam dan sempat tertahan selama 2 tahun lebih di Polda Kalsel.

Namun setelah kerjasama dengan Pusat Bantuan Hukum Peradi MTP-BJB kasus tersebut dapat berlanjut.

“Alhamdulilah setelah 2 tahun saya kerjasama dengan Peradi langsung ada tindak lanjut,” pungkasnya.(airlangga)

Editor: Abadi