Polemik “Mama Khas Banjar” Bergulir, Akademisi Hukum ULM Soroti Intervensi Opini Publik dan Ranah Politik

Akademiai Fakultas Hukum ULM, Daady Fahmanasie. (Istimewa)

BANJARBARU, klikkalsel.co. – Polemik seputar kasus yang melibatkan seorang ibu rumah tangga khas Banjar “Mama Khas Banjar” terus bergulir dan menarik perhatian luas.

Kasus yang awalnya berkutat pada dugaan pelanggaran hukum ini, kini merambah ranah media sosial, opini publik, hingga akhirnya menyentuh ranah politik melalui pembahasan di DPRD dan bahkan tanggapan dari kementerian.
Menanggapi fenomena yang kian meluas ini,

Dadi Fahma Nadie, seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) sekaligus praktisi hukum, menyampaikan refleksi mendalam. Beliau menyoroti bagaimana kasus yang tengah berproses di pengadilan justru menyita energi media sosial, opini publik masyarakat dan terakhir sampai ke ranah politik.

Menurutnya, perkembangan ini justru mengaburkan esensi dari proses hukum yang seharusnya berjalan secara adil dan independen.

“Kasus yang dibicarakan atau tengah menjadi pembahasan publik tersebut justru secara hukum sudah memasuki tahap persidangan yang merupakan ranah pengadilan, sehingga ranah pengadilan lah yang menjadi penentu kepastian hukumnya serta keadilan,” tegas Dadi Fahma Nadie.

Baca Juga Sidang Perdana Pengusaha Ikan Asin Banjarbaru Diwarnai Unjuk Rasa, Praperadilan Dipertanyakan

Baca Juga Sidang Perdana Pembunuhan Wartawati di Banjarbaru Digelar di Pengadilan Militer, Terdakwa Tak Ajukan Eksepsi

Lebih lanjut, beliau mengingatkan pentingnya menjaga independensi peradilan dari berbagai bentuk intervensi, termasuk tekanan opini publik.

Suasana toko mama khas banjar yang tutup karena berpolemik hukum. (Istimewa)

“Peradilan janganlah diintervensi bahkan digiring dengan opini publik sehingga kemudian seolah bisa dipengaruhi. Sesungguhnya secara hukum peradilan itu independen, tidak bisa dia dicemari hal-hal samar-samar atau bias apalagi opini publik yang menjurus pada penghakiman baik dari media atau dari publik,” terangnya.

Menyikapi keterlibatan Kementerian dalam polemik ini, Dadi Fahma Nadie berpendapat bahwa seharusnya kementerian tidak sampai membuat konten yang seolah-olah memastikan pelaku tidak bersalah atau menyinggung soal restorative justice (RJ) di luar koridor hukum yang berlaku.

“Kementerian tidak offside sampai sedemikian rupa serta membuat konten yang kemudian memastikan bahwa seolah pelaku tidak bersalah atau kemudian soal restorative justice,” ujarnya lelaki yang menjabat sebagai Founder Kelinik Hukum DF ini.

Dadi Fahma Nadie menekankan bahwa pendekatan restorative justice semestinya berada dalam koridor hukum, bukan dalam kerangka politis. Kehadiran Kementerian UMKM dalam polemik ini, menurutnya, justru kontraproduktif.

“Mestinya untuk menetralisir berisik-berisik tentang kasus Mama Banjar ini justru hormati kasus yang bergulir di pengadilan sebagaimana mestinya,” tuturnya.

Beliau menambahkan bahwa kerangka restorative justice dalam kasus ini, menurut pengamatannya, sudah terjadi pada tahap penegakan hukum di mana pelaku telah dibebaskan. Namun, terkait kepastian hukum, pengadilanlah yang memiliki kewenangan untuk memutuskan.

“Kerangka RJ sudah terjadi menurut hemat saya pada posisi penegakan hukum di mana pelaku sudah dibebaskan, namun terkait kepastian hukum prosesnya maka pengadilan lah nanti yang memutuskan sehingga kasus ini berjalan dengan seimbang, adil, dan bermartabat, tidak dengan politis,” pungkas Dadi Fahmanadie. (Mada)

Editor: Abadi