Akademisi: Kasus “Mama Khas Banjar” Jadi Pelajaran Pahit, Edukasi Konsumen dan Pengawasan Mutu Mendesak di Kalsel

Firli pemilik toko Mama Khas Banjar saat menjalani persidangan. (Mada)

BANJARBARU, klikkalsel.com – Eksistensi Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Kalimantan Selatan menjadi sorotan tajam akademisi. Kasus viral “Toko Mama Khas Banjar” yang diduga menjual produk kedaluwarsa tanpa tanggal masa berlaku, bahkan berbau tak sedap, menjadi contoh nyata bagaimana lemahnya pengawasan mutu dan minimnya edukasi konsumen di lapangan.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Intan Kalsel, sekaligus praktisi hukum, Dr. Fauzan Ramon menegaskan bahwa Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, meski sudah berusia 26 tahun dan belum pernah direvisi, substansinya tetap kuat dan relevan.

“UU Perlindungan Konsumen ini sudah berusia 26 tahun dan belum pernah direvisi. Namun, substansinya tetap kuat dan relevan,” ujar Dr. Fauzan.

Ia juga melayangkan kritik keras terhadap adanya intervensi politis dalam penegakan hukum kasus “Toko Mama,” termasuk kehadiran seorang Menteri yang dinilainya “tidak pada tempatnya” dalam proses peradilan.

Baca Juga : Polemik Penegakan Hukum UMKM “Mama Khas Banjar”: Persepsi Publik Terbentuk Lewat Pembingkaian Media Sosial

Baca Juga : FORDA VII Kalsel 2025 Resmi Dibuka, 6 Ribu Lebih Pegiat KORMI Ramaikan Ajang Olahraga Rekreasi

Sementara itu, Lukman Simanjuntak, pengawas barang beredar dari Dinas Perdagangan Kalsel, menjelaskan bahwa pihaknya secara rutin melakukan edukasi dan pengawasan. Meskipun demikian, fokus utama saat ini masih terbatas pada sektor elektronik, pakaian, dan bahan bangunan.

“Untuk produk makanan, kami biasanya intens saat mendekati Hari Besar Keagamaan Nasional,” terang Lukman.

Lukman juga tak henti-hentinya menekankan pentingnya konsumen menjadi cerdas dan teliti, terutama dalam membaca label, tanggal kedaluwarsa, serta komposisi produk. “Konsumen harus tahu hak dan kewajibannya, sementara pelaku usaha wajib jujur dan memenuhi standar yang berlaku,” tegasnya.

Para akademisi ini juga menyentuh isu krusial seperti perlindungan hukum terhadap merek dagang (HAKI) dan tanggung jawab ritel terkait penjualan barang kedaluwarsa. Bahwa pelaku usaha dapat mendaftarkan mereknya ke Kemenkumham untuk menghindari penyalahgunaan. Selain itu, ritel bertanggung jawab penuh jika tetap menjual produk yang sudah tidak layak konsumsi.

“Jika merasa dirugikan, konsumen punya jalur hukum, termasuk melalui BPSK secara gratis. Penegakan hukum jangan diintervensi,” tandasnya. (Mada)

Editor: Abadi