Pengamat Hukum : Proses Pidana Anak Tidak Boleh Diperlambat

Dekan FH Uniska Dr Afif Khalid

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Beberapa waktu lalu banyak anak-anak di bawah umur di Kota Banjarmasin berhadapan hukum dengan berbagai kasus yang menjeratnya.

Lantas bagaimana proses hukum yang dapat berproses semestinya terhadap anak di bawah umur atau masih berstatus sebagai pelajar.

Pakar hukum dari Akademisi Uniska, Dr Afif Khalid menyampaikan, proses hukum terhadap anak dibawah umur jelas berbeda dengan orang dewasa.

“Ketentuan tentang sistem peradilan pidana anak telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA),” jelasnya, Selasa (19/9/2023).

Baca Juga 7.631 Narapidana dan Anak Binaan se-Kalsel Menerima Remisi di Momen HUT ke-78 RI

Baca Juga Remisi 17 Agustus, Sejumlah Narapidana di Rutan dan Lapas Tanjung Menghirup Udara Bebas

Menurut Pasal 71 Angka 4 UU SPPA, kata Afif, pidana yang dijatuhkan kepada anak di bawah umur dilarang melanggar harkat dan martabat si anak.

Pidana pokok bagi anak di bawah umur meliputi pidana peringatan dan pidana dengan syarat.

“Pidana peringatan merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan anak,” ujarnya.

Adapun pidana dengan syarat dapat dijatuhkan oleh hakim dalam hal pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 tahun.

“Dalam putusan pengadilan mengenai pidana dengan syarat, ditentukan syarat umum dan syarat khusus,” tuturnya.

Namun, sebelum itu juga ada proses penyelesaian melalui metode restorative justice. Sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama-sama.

“Untuk menyelesaikan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan,” imbuhnya.

Akan tetapi, jika upaya restorative justice atau upaya kekeluargaan tidak ada titik temunya, maka aparat penegak hukum wajib memproses kasus tersebut dan proses pidana itu tidak boleh diperlambat karena aturan dalam KUHP.

“Jika kasus itu belum diproses artinya ada problem di aparat penegak hukum,” tuturnya.

Lebih lanjut restorative justice itu, kata Afif bisa dilaksanakan jika dianggap pidana ringan. Namun, jika kasusnya penusukan atau tergolong penganiayaan berat dan tidak ada damai dari kedua belah pihak maka itu wajib berproses pidana.

“Jika upaya mediasi restorative justice mentok, maka proses hukum wajib dijalankan, penegak hukum tidak boleh memperlambat,” ungkapnya.

“Restorative justice bisa dilaksanakan apabila kasus ringan misalnya pencurian, penganiayaan ringan, dan lainnya,” sambungnya.

Dalam hukum pidana tidak ada istilah pemaaf, jadi proses hukum harus dijalankan sesuai dengan undang-undang.

Berbeda dengan hukum islam, jika pihak korban memaafkan maka bisa terlepas dari sanksi hukuman.

Hanya saja jika pelakunya adalah anak-anak (dibawah umur 18 tahun) maka hukumnya 1/3 dari orang dewasa seperti apa yang sudah diamanatkan Undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak.

“Ini harus diproses, karena ini kasus di bawah 18 tahun, maka ancaman hukumannya 1/3 nya dari orang dewasa,” pungkasnya. (airlangga)

Editor: Abadi