Kisah Sumiati, 37 Tahun Lalu Berjuang Menjaga Kelestarian Pegunungan Meratus

PEGUNUNGAN Meratus merupakan suatu kawasan yang sangat kaya akan sumber daya alam serta kearifan lokalnya.

Membentang dari Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah hingga Kalimantan Selatan, Pegunungan Meratus bukan hanya menarik minat kaum petualangan untuk menjelajahinya.

Namun juga kerap kali dijadikan sebagai ladang keuntungan oleh pihak koorporasi maupun oknum-oknum tidak bertanggung jawab.

Kondisi ini tentu saja membuat sebagian masyarakatnya yang berada di sekitar Pegunungan Meratus harus berjuang dengan segala upaya agar tanah nenek moyang mereka dapat selalu terjaga kelestariannya.

Perjuangan itu dilakukan salah satunya oleh Sumiati, warga Desa Alat, Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan.

Wanita paruh baya yang kini berusia 65 tahun ini mengaku, sudah sejak 37 tahun lalu berjuang bersama sejumlah warga yang mendukung pergerakannya untuk tetap menjaga kelestarian Pegunungan Meratus.

Perjuangan Sumiati dimulai sejak tahun 1982. Kala itu ia memulai tugas barunya sebagai Kepala Desa Pantai Mangkiling yang saat ini disebut Desa Datar Ajab. Salah satu desa yang berada di kaki Pegunungan Meratus, Kecamatan Hantakan, Kabupaten HST, Kalimantan Selatan.

Pegunungan Meratus potensi menjadi wisata Alam. (Net)

Sejak menjalankan tugasnya tersebut, Sumiati yang saat itu masih berusia 25 tahun sudah dihadapkan dengan adanya aktifitas dari salah satu perusahaan Hak Pengusaan Hutan (HPH) yang melakukan penebangan pohon secara besar-besaran di wilayahnya.

Kepada klikkalsel.com, Sumiati menceritakan, aktifitas penebangan pohon secara besar-besaran sudah mulai terjadi pada, 1981 hingga 1982 di Gunung Sigaling. Kawasan yang berada cukup jauh dari Desa Pantai Mangkiling, Pegununungan Meratus.

“Setelah itu dari 1983 merambat ke Pantai Mangkiling, desa Datar Ajab sekarang,” katanya saat di temui di Desa Alat, Kecamatan Hantakan, Hulu Sungai Tengah, Minggu (24/1/2021).

Sumiati mengungkapkan, dari 1983 itu, aktifitas penebangan pohon terus saja meluas. Tak terhitung lagi berapa banyak batang pohon yang sudah ditebang.

Meski yang ia tahu, hutan yang menjadi lokasi penebangan tersebut adalah kawasan hutan lindung.

Sumiati yang khawatir dengan kondisi itu lalu bersama sejumlah warga lainnya mencoba menghentikan aktifitas penebangan pohon besar-besaran itu.

Karena menurutnya, jika aktifitas penebangan pohon secara besar-besar terus dilanjutkan maka akan mengakibatkan rusaknya sebagian ekologi di Pegunungan Meratus.

Namun kala itu, nasib baik sempat tak berpihak kepada Sumiati dan warganya, pihak perusahaan justru menuduh aktifitas masyarakat yang sering memindah-mindah ladangnya sebagai pemicu kerusakan pegunungan meratus.

“Awalnya pihak perusahaan yang mengadukan kami. Jadi kalau misalnya ada musibah apa itu akibat masyarakat yang ladang berpindah. Padahal bukan seperti itu, kami ladang berpindah punya aturan setiap lima tahun balik lagi ke awal. Jadi tidak memperluas wilayah, jadi berputar di situ-situ saja,” ujarnya.

Meski sempat dituduh oleh pihak perusahaan, perjuangan Sumiati kala itu untuk menjaga kelestarian Pegunungan Meratus tak berhenti.

Memasuki tahun 1986, Sumiati dibantu sejumlah wartawan dari mancanegara yang turut mendukung pergerakannya meminta agar pihak perusahaan untuk segera menghentikan aktifitas penebangannya.

Atas dasar itu, pihak perusahaan pun lalu sepakat untuk mengadakan pertemuan dengan warga dan para wartawan.

“Kami ditemukan dengan perusahaan tersebut. Saat itu pertemuannya dihadiri kurang lebih oleh 100 orang,” ungkap Sumiati.

Setelah melalui perjuangan panjang dan berkat kegigihan Sumiati serta warga yang juga turut dibantu sejumlah wartawan dari manca negara, akhirnya di tahun 1986 itu, aktifitas penebangan di Pegunungan Meratus dapat dihentikan.

“1986 itu terakhir, kalau tidak dibantu sama wartawan saya pasti kewalahan,” ucapnya.

Pasca ditinggal pergi oleh pihak perusahaan HPH pada 1986, Pegunungan Meratus kembali terjaga kelestariannya.

Konflik antara warga dengan pihak perusahaan pun dapat terhindarkan.

Kemudian tepat pada 1999, jabatan Sumiati sebagai Kepala Desa Pantai Mangkalip berakhir. 17 tahun dirinya menjabat banyak menyisahkan catatan sejarah penting perjuangannya mempertahankan kelestarian Pegunungan Meratus.

Usai menjadi kepala desa, Sumiati melanjutkan hidupnya sebagai petani karet. Namun dirinya masih tetap menjadi sosok pejuang lingkungan.

Sejak menjadi petani karet, Sumiati yang mengira sudah tidak ada lagi aktifitas penebangan pohon, ternyata kembali terjadi pada 2015.

Bukan dilakukan pihak perusahaan, melainkan oleh oknum warga pendatang yang menebang pohon secara ilegal dan tidak mengetahui status hutan lindung.

“Mereka kurang tau kalau itu hutan lindung. Hanya kita sampaikan kalau jangan lagi menggawi (menebang) disitu. Disitu hutan diperjuangkan,” tutur Sumiati.

Menurut Sumiati, warga lokal di sekitar Pegununungan Meratus tidak mungkin melakukan penebangan pohon secara sembarangan.

Seandainya pun melakukan penebangan, itu hanya untuk kebutuhan pribadi warga lokal itu sendiri, bukan untuk dijual kembali.

“Kalau orang lokal menebang hanya untuk keperluan pribadi seperti membangun rumah. Kalau pendatang kemungkinan menebang untuk mereka jual kembali,” ujarnya.

Sumiati juga menduga, oknum warga pendatang yang melakukan penebangan pohon secara ilegal itu dibayar oleh pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari Pegunungan Meratus.

Pihak yang mengeksploitasi kekayaan alam Pegunungan Meratus tidak secara terang-terangan namun dengan memanfaatkan tangan orang lain.

“Namanya masyarakat kalau ada pembeli tidak peduli dia,” ucap Sumiati.

Namun begitu, Sumiati tetap berusaha sebisa mungkin menegur siapapun yang mencoba merusak kehidupan hayati di Pegunungan Meratus. Meski terkadang lebih sering tegurannya tak hiraukan oleh para pelaku.

“Pernah berhenti sebentar paling lama setahun, setelah itu lanjut lagi penebangannya. Karena itu tadi, ada yang membelinya, kalau seandainya tidak ada yang membeli tidak mungkin masyarakat menebang,” katanya.

Penebangan secara ilegal oleh oknum warga pendatang ini terus berlanjut hingga 2020. Perkiraan Sumiati sudah puluhan hektar hutan yang menjadi korban penebangan secara liar.

Saat ditanyakan, andil pemerintah setempat dalam menangani tentang adanya penebangan pohon secara liar, Sumiati hanya dapat menghela napas panjang.

“Ada membantu tapi kalau menurut peribahasa orang bahari disambat mati ibu kada disambat mati bapak. (Ada membantu tapi kalau menurut peribasa orang dulu, diungkap mati ibu, tidak diungkap mati bapak) ,” katanya.

Saat ini menginjak usianya yang sudah mencapai 65 tahun, Sumiati hanya dapat meminta tolong kepada semua pihak untuk bersama-sama menjaga kelestarian Pegunungan Meratus terlebih kepada mereka yang memiliki wewenang.

“Kepada pejabat penegak hukum, pemerintah daerah, provinsi sampai pemerintah pusat tolong bantu jagakan hutan kami pegunungan meratus ini,” harapnya.

Sumiati berjanji, dirinya akan terus berjuang menjaga kelestarian Pegunungan Meratus selama masih memiliki daya dan upaya.

Dirinya ingin anak cucunya kelak masih dapat menikmati indahnya alam Pengunungan Meratus.

“Kalau semua dihabiskan ke mana nanti mereka, itu saja pikiran saya. Kita bukan mau mencari kekayaan, hidup sederhana saja sudah rasa bahagia,” ungkap Sumiati.

Sumiati juga berharap masih dapat dipertemukan dengan para wartawan mancanegara yang dulu membantunya menjaga kelestarian Pegunungan Meratus.

“Tolong panggilkan kawan-kawan yang membantu kami dulu waktu tahun 86. Para wartawan mancanegara waktu pertemuan dengan pihak perusahaan. Tolong lihat saya sekarang sudah mulai merasa sangat rawan,” tuturnya penuh harap.(arif)

Editor : Amran

Tinggalkan Balasan