BALANGAN, klikkalsel.com – Berdiri megah membelah aliran Sungai Balangan di Desa Hilir Pasar, Kecamatan Lampihong, Kabupaten Balangan, sebuah jembatan besi tua menyimpan kisah panjang yang terlupakan zaman.
Jembatan Baja Eksotis dari Knutange Prancis yang Berdiri Kokoh di Balangan Sejak 1931. Dikenal sebagai Lampihong Ijzeren Bruggen atau Jembatan Besi Lampihong, infrastruktur peninggalan kolonial Belanda ini diyakini menjadi jembatan tertua di Balangan dan kini kembali menarik perhatian setelah ditetapkan sebagai Cagar Budaya tingkat Kabupaten pada tahun 2024.
Dijelaskan Mansyur sejarawan Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Jembatan itu bukan sekadar penghubung antara dua desa. Desa Hilir Pasar dan Simpang Tiga tetapi saksi bisu dari dinamika sejarah, perdagangan, bahkan kekuatan militer kolonial Hindia Belanda pada awal abad ke-20.
“Jembatan Lampihong ini bukan hanya struktur fisik, tapi juga simbol modernitas kolonial yang diperkenalkan Belanda ke pedalaman Kalimantan Selatan,” ungkap Mansyur, Senin (8/7/2025).
Menurutnya, keunikan jembatan itu, tak hanya terletak pada desainnya yang memadukan konstruksi beton, baja, dan kayu ulin, tetapi juga asal material yang digunakan. Di antara balok baja tua, terukir jelas tulisan “S.N. KNUTANGE P.N. XII 24” penanda bahwa baja jembatan ini dibuat oleh Societe Nouvelle des Aciéries de Knutange, sebuah pabrik baja prestisius dari Lorraine, Prancis.
“Inilah anomali menariknya. Di masa kolonial, mayoritas baja jembatan diimpor dari pabrik di Belanda, namun baja Lampihong ini justru berasal dari Prancis. Kemungkinan besar karena pertimbangan kualitas dan waktu distribusi,” jelasnya.
Ukiran angka “XII 24” diduga menunjukkan waktu produksi baja, yakni Desember 1924, jauh sebelum proyek jalan dan jembatan dimulai pada 1929.
Dokumen kolonial menyebutkan, pembangunan jembatan ini resmi dianggarkan melalui Keputusan Pemerintah tanggal 1 Oktober 1928 No. 12 dengan total anggaran awal f 75.000, kemudian ditambah f 8.700 pada 1933 karena kondisi tanah yang buruk memaksa desain ulang struktur lereng.
Berdasarkan arsip Nota van Overgave van Resident van Suchtelen (1931–1933), proyek ini tidak diserahkan kepada perusahaan swasta, tetapi dikelola langsung oleh Dinas Burgerlijke Openbare Werken (B.O.W.) cikal bakal Dinas PUPR sekarang.
Jembatan Lampihong diklasifikasikan sebagai ijzeren bruggen atau jembatan besi, dengan rangka baja sepanjang 35 meter, dua abutmen sepanjang 8 meter, dan sambungan yang menggunakan teknik keling (riveted connections) khas era pra-las.
Dari segi teknik sipil, struktur ini mencerminkan kemajuan teknologi Eropa yang dibawa langsung ke wilayah tropis Hindia Belanda.
Baca Juga : Geopark Meratus Resmi Mendunia, Kalsel Torehkan Sejarah Baru
Baca Juga : Sejarah Kelam Pelacuran di Banjarmasin Era 1960-an
Di sisi Simpang Tiga, sekitar 50 meter dari jembatan, berdiri rumah tua milik H. Sjoekoer bin H. Helit. Berdasarkan arsip surat izin mendirikan rumah tertanggal 1937, rumah ini dulunya digunakan untuk aktivitas perdagangan karet dan bahkan pernah menjadi markas tentara sekutu.
“Dari rumah ini, kita bisa tarik garis ke belakang bahwa daerah ini sudah menjadi pusat aktivitas penting sejak sebelum jembatan dibangun,” ujar Mansyur.
“Letaknya strategis di jalur penghubung antara Martapura – Kandangan – Amuntai – Barabai pada masa itu,” sambungnya.
Pembangunan Jembatan Lampihong terjadi di masa arsitektur kolonial Fase Modernisasi (akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20), di mana Belanda mulai menggunakan gaya Art Deco dan Neo-Klasik dalam pembangunan infrastruktur penting.
Inilah masa ketika konstruksi tidak hanya mempertimbangkan kekuatan teknis, tetapi juga estetika dan daya tahan terhadap iklim tropis.
“Yang menarik, baja-baja seperti ini biasanya digunakan di Jawa atau Sumatera. Keberadaan jembatan ini di Lampihong menandakan bahwa daerah ini dulu punya nilai strategis tinggi bagi pemerintah kolonial,” kata Mansyur.
Meskipun kini statusnya telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya, masih banyak hal yang belum terungkap secara rinci, seperti metode pengangkutan baja dari Prancis, proses pemasangan abutmen, hingga teknologi yang digunakan saat pembangunan.
“Apakah waktu itu sudah digunakan excavator, ataukah semua masih manual? Bagaimana metode topografi dan perancangan awal jembatan. Ini semua bisa jadi bahan kajian mendalam dari sisi teknik sipil dan sejarah industri kolonial,” ucap Mansyur.
Kini, hampir satu abad sejak berdiri, Jembatan Besi Lampihong tetap berfungsi dan menjadi ikon lokal yang perlu dilestarikan. Pemerintah Kabupaten Balangan diharapkan bisa menggandeng pihak akademisi dan konservator untuk melakukan restorasi struktural dan penguatan narasi sejarahnya.
“Jembatan ini adalah monumen hidup. Ia bukan hanya menghubungkan dua desa, tapi juga dua masa: masa lalu kolonial dan masa depan warisan sejarah kita,” pungkasnya. (airlangga)
Editor: Abadi





